Teman Sosmed = Orang Asing ???
7 HARI TANTANGAN MENULIS - DAY 4
Berbicara soal teman di media sosial, aku
jadi teringat kutipan dalam kumcer karangan Farida Susanti “Tidak ada orang
asing di dunia ini,” kalimat itulah yang akhirnya mengantarkanku pada
pertemanan dengannya. Orang asing yang membuktikan bahwa kalimat itu benar
adanya.
Semenjak menggunakan media sosial, terutama
facebook, aku paling selektif dalam mengkonfirmasi pertemanan. Sebelum memencet
tombol confirm aku pasti stalking foto profil dan berandanya. Jika
dia terlihat baik, maka akan segera aku konfirm. Meski aku tahu bahwa status
maupun foto tidak menjamin kebaikan dia yang sebenarnya. Namun, aku tidak
pernah ingat –bahkan sampai sekarang- kapan aku mengkonfirmasi pertemanannya. Pun
tidak menyadari sejak kapan kita berteman di facebook. Hanya aku mendapati dia
seringkali menginbox dan mengomentari statusku. Karena aku tidak mengenal akun
dengan nama itu, maka aku tak pernah membalas komentar maupun pesannya. Hingga suatu
hari, dia mengomentari statusku dan berkata “Salam ya ke Mbak Dia (nama samaran).”
Begitu membacanya, aku memastikan sekali lagi
bahwa aku tidak mengenal orang ini. Mbak Dia adalah teman pondok yang satu
kamar denganku. Suatu ketika, mbak dia memberitahuku bahwa ada temannya yang
ingin berkenalan denganku dan meminta pin BB. Hanya saja, aku tidak menggunakan
BBM dan sejak itu dia tidak pernah muncul lagi. Mungkin dia melacakku
berdasarkan nama. Aku pun menanyai Mbak Dia dan dia mengatakan bahwa lelaki
yang berkomentar itu adalah dia yang waktu itu ingin mengajakku kenalan.
Atas dasar pertemananku dan Mbak Dia, aku
pun mencoba berlaku baik padanya, aku membalas chatnya, aku membalas
komentarnya, hampir setiap hari kita mengobrol via facebook, Instagram, what’sapp.
Aku berprasangka baik padanya karena dia adalah teman dari teman kamarku
sendiri. Usia kita terpaut jauh, sekitar 6 tahunan. Bagiku, menemukan teman
yang berusia lebih tua dan memiliki pikiran yang dewasa adalah sebuah kebetulan
yang patut disyukuri. Seringkali kita terlibat pembicaraan yang berakhir pada
perdebatan tak berujung.
Saking seringnya ngobrol via dumay, kadang
terbersit keinginan untuk bertemu langsung dengannya. Sekalipun aku tahu
kemungkinan itu hanay sepersekian persen. Aku sangat penasaran dengan gaya
bicaranya. Kita seringkali salah paham karena bahasa tulis tidak bisa mewakili
ekspresi dan gaya bicaraku. Lawan bicaraku tentu saja bisa salah paham,
menganggap candaanku adalah sesuatu yang serius. Dengan bertemu, mungkin kita
akan saling memahami bagaimana gaya bicara satu sama lain. Sehingga kita bisa
meminimalisir kesalahpahaman. Motif lain dari pertemuan –yang jika ditakdirkan
Tuhan- adalah untuk membuktikan bahwa memang benar tidak ada ‘orang asing’ di
dunia ini.
Comments
Post a Comment