Ramadlan ala Pondok'an VS Rumahan
Ramadlan tahun ini (1438) H terasa berbeda bagiku, of course. Ini
pertama kalinya menghabiskan ramadlan di tanah rantau. Menyandang status santri
dan buka sahur bersama setiap hari. Euforia menyambut ramadlan sangat terasa
ketika berada di pondok. Segala sesuatu kita persiapkan jauh-jauh hari. Mulai
dari membiasakan diri bangun shalat malam, membersihkan pondok secara
menyeluruh (Ro’an Akbar), menyiapkan mental untuk menghadapi jadwal ngaji yang
berlipat-lipat, dan banyak lagi.
Ketika ramadlan tiba, rasa haru sempat menyelimuti diriku. Home sick
pastilah. Biasanya sahur buka selalu diladeni ibu, sekarang harus nyiapin
semuanya sendiri. Kebetulan, aku tidak mengikuti sepuluh hari pertama, karena
ada jatah bulanan. Jadi, aku hanya merasakan bahwa ramadlan waktu kita mengaji
lebih banyak, itu saja. Barulah setelah hari ke sebelas. Aku merasakan betapa
luar biasa ramadlan di pondok. Bayangkan saja, kita harus naik-turun dari
lantai 4 ke lantai 1 kurang lebih 7-8 kali sehari. Mulai dari shalat malam,
shalat shubuh, setoran pagi, kajian dhuha atau kajian kitab dhuhur, setoran
sore, shalat maghrib, shalat terawih, tadarus, belum lagi kalau kita mau pergi
atau piket ndalem. Awalnya have fun aja. Eh tiba-tiba kaki udah terasa bengkak
semua. :D
Hal lain yang bikin aku lumayan shock adalah shalat terawih yang
menggunakan surat-surat panjang. Kalau di pondok, sehari 1 juz. Jadi setiap
rakaat satu halaman. Kalau di masjid, sehari setengah halaman. Hm, bisa
dibayangkan bosennya waktu pertama kali terawih, karena biasanya hanya
surat-surat pendek. Butuh waktu satu jam untuk melewati shalat terawih. Tapi,
sekali lagi semuanya terasa nikmat, kami melaluinya bersama dengan semangat
mengagungkan ramadlan. Paling seru kalau kebagian jatah shala terawih di
masjid, karena tebak-tebakan siapa imamnya. :D nggak kalah menarik, aku pengalaman
lain adalah ketika aku ditunjuk menjadi imam terawih di pondok. Aku harus
membaca separuh awal juz 30 bil ghoib. Saking nervousnya - karena makmumku udah
banyak yang khatam-, aku sampai shalat terawih 3 rakaat dua kali
berturut-turut. Jadi, malam itu kami yang jamaah di pondok terawih sebanyak 25
rakaat plus witir. :D
Ada ramadlan couple yang juga sempat menarik perhatianku. Jadi kami
dipasangkan dengan santri lain untuk saling ‘nyemak’ tadarus. Sebelum pulang,
kami ditarget sudah harus mengkhatamkan 30 Juz. Jadi, biarpun sudah malam dan
wajib tadarus, kami merasa enjoy aja. Terlebih jika ada camilan yang tiba-tiba
datang menghampiri. Barulah menjelang malam 21, semua sudah disibukkan dengan
packing barangnya masing-masing. Mulai ada yang ngeluh “Aduh, lama banget
pulangnya,” mulai kendor semangatnya, tapi kami masih diwajibkan Ro’an akbar
sekali lagi. Ya, begitulah kehidupan ramadlan di pondok. Sekalipun kegiatan
monoton tapi terasa menyenangkan, karena semuanya satu tujuan.
Namun, semua euforia itu seakan hilang ketika aku kembali ke rumah.
Malam 22 aku pulang dan rasanya sepi sekali. Keesokan malamnya, aku shalat
terawih di langgar yang biasanya hanya berisi jamaah putri, dan kebetulan aku
diutus menjadi imam terawih. Betapa miris rasanya melihat hanya ada 6 orang
yang shalat terawih di langgar itu. Tadarus pun hanya dua tiga orang. Tak
masalah jika seandainya 6 orang itu adalah pemuda-pemuda kampung. Tapi, 6 orang
itu adalah generasi nenek-nenek yang bisa dikatakan untuk berdiri saja susah.
Fenomena tersebut berlanjut hingga shalat terawih terakhir.
Dulu, waktu aku masih kecil langgar itu penuh. Mulai dari nenek-nenek
hinga krucil-krucil yang masih belajar jalan. Meski aku dulu sering dimarahi
sama pemilik langgar gara-gara guyon, tapi aku tak pernah kapok datang ke langgar.
Menenteng mukenah dan sajadah sambil kejar-kejaran dengan teman sepermainan.
Tapi, kemana mereka sekarang?
Jawabannya, mereka bekerja, sebagian lagi tidak terawih karena ibunya
juga tidak terawih. Sungguh malang, batinku. Mungkin mereka tidak sadar bahwa
mereka melewatkan malam-malam yang penuh barakah, yang belum tentu mereka
jumpai tahun depan. Kondisi masyarakat sekarang mengatakan bahwa diri mereka
orang modern, tapi mereka justru ditelan oleh ke-modern-an mereka sendiri.
kalau dulu orang beralasan ‘membuat kue’ utnuk hari raya. Tapi sekarang? Zaman
sekarang hanya satu dua orang yang membuat kue sendiri. buat apa beli kalau di
toko sudah lengkap? Bukankah mereka suka dengan yang ‘Nggak pake ribet’?
Mereka yang telah bekerja, seakan mabuk rupiah. di toko-toko, para
pegawai tentu diiming-iming bayaran yang berlipat asal mau berjaga hingga
malam. Tak usah munafik, tentu semua orang butuh uang menjelang lebaran. Tapi,
sekali lagi. Apa rupiah bisa menjamin kedamian dalam hati mereka? Apa rupiah
bisa menjamin mereka bisa berjumpa ramadlan tahun depan? Tidak sama sekali!
Dulu, aku merasa biasa saja melihat fenomena itu. Tapi, ketika akhirnya
aku mengalami fase kehidupan di pondok, -meski baru setahun- akhrnya aku
merasa, “ini tugas rumah para santri, para alumni pondok pesantren”. Membangun
masyarakat madani, tidak hanya modern secara teknologi dan gaya hidup, tapi
juga secara pemikiran dan tentu dari sisi kesadran sebagai makhluk beragama. Kebanyakan
santri setelah merasakan zona nyaman berada di pondok, mereka tidak bisa terjun
ke masyarakat untuk membenahi. Mereka hanya membawa kebermanfaatan bagi diri
mereka sendiri, tidak bagi umat. Lalu, untuk apa ilmu yang mereka pelajari
bertahun-tahun? Pasti ada celah dan jalan untuk membenahi lingkungan sekitar. So,
buat Kalian yang masih baru seumur jagung di pondok? Belajar mengendalikan
lingkungan sekitar agar terbiasa di masyarakat.
Kembali lagi, kerja, it’s an important thing to do. Tapi,
ibadah the most important thing. Aku jadi berfikir, dulu aku selalu
menjadi cibiran tetangga ketika memutuskan kuliah dan mondok. Katanya
menghabiskan uang, dan segala macam. Lebih baik bekerja menghasilkan uang,
membantu orang tua, dan sebagainya. Itu dalih mereka. Namun, jika dikembalikan
pada fenomena ini, aku merasa menjadi manusia beruntung, masih bisa melewati
ramadlan dengan kenikmatan dan kedamaian beribadah. Seandainya orang tuaku pun
tiada, mereka akan bahagia bisa melihatku berbuat kebaikan, karena mereka juga
akan kecipratan kebaikan itu. Tapi, dengan mereka yang bekerja dan melupakan
ibadah??? Wallahu a’lam.
Jika fenomena ini hanya terjadi di kampung saya, semoga bisa menjadi
pelajaran buat kita semua. Suatu masa nanti, fenomena ini akan terjadi dimana
saja, buktikan bahwa Anda bisa menjadi agen prubahan dan agen muslim yang baik!
J
Keren mbak qolbi tulisannya. Menginspirasi dan menyadarkan aku banget. Bener kita harus membenahi masyarakat bukan cuman diri sendiri. Mungkin masalah ada pada praktiknya yg susah hehehe
ReplyDeleteItsnahm