Posts

Showing posts from October, 2015

Rebahan Mukena Merah

Berujung sajadah diatas gelisah Berbalut noda berakhir neraka Berdawai dusta Terhina nista Ku katupkan pelupuk mata hati Agar tiada lagi syahwat menjerat Diatas kesucian yang tersirat Kucoba menghindar namun takut memudar Kalah akan kuatnya hasrat syetan Untuk mengelabuhi diri ini dalam wujudmu Senjaku menyapa dengan kesalahan itu Kesalahan terbesar akan kebohongan Yang membuatku terlihat tak berdaya Tak dapat terpungkiri jikalau ku ingin melepas semua ini Jerat hati yang menyakiti Sendi-sendi keimanan semakin rapuh Hanya karena ku menyayangimu Dan tak bisa untuk mengendalikan hasratku untuk tak melihatmu Dibalik rebahan mukena ini Terlihat segores tinta warna merah di atas kertas itu Berlumur penuh dosa Hanya karena untaian kata yang menggoyah jiwa Dan tak dapat mengelak akan nafsu Yang dibisikkan oleh syetan Pantaskah ku bermukena jika ku melihatmu dengan tatapan dosa? Pantaskah ku duduk di atas sajadah  jika ku membaca untaian hati

Sekolah Untuk Si Kembar

“ Andai pendidikan dan Ujian Nasional di negeri pertiwi ini tidak menyedot biaya selangit kepada rakyat, mungkin akan banyak anak-anak desa yang senasib denganku yang menjadi pemuda intelek. Tapi itu hanya andai, andai negeri ini mendengar, andai negeri ini tahu, seberapa ia tertinggal dari para tetangganya. Andai negeri ini melihat, betapa banyak bocah harapan bangsa yang belajar di pinggiran kali karena tak sanggup membayar administrasi.” dalam wisudah yang penuh haru dan isak tangis itu, adik bungsu Sholeh membacakan tulisan terakhir kakaknya. Betapa sang kakak peduli terhadap pendidikan. Betapa sang kakak ingin memiliki ijazah SMP. ***  “Nak, sudah pulang? Laku berapa gorengannya?” ibu menyambut kedatangan Sholeh diambang pintu. Diciumnya tangan ibu sambil memberikan uang hasil jualannya. “Maaf, Bu. Sholeh ndak bisa keliling jauh. Jadinya, gorengan kita Cuma laku sedikit.” Tuturnya lembut. Ibu hanya tersenyum sebari mengelus lembut kepala putra sulungnya. “Ayo sarapan! Ad

Perenunganku yang Pernah Tersesat

Tuhan, terima kasih untuk dua tahun berharga yang Kau berikan padaku, Aku sadar, tak semua kebahagiaan membuat hati nyaman, tenang. Tak semua prestasi dan aktualisasi diri membuat seseorang berarti. Dua tahun, waktu yang singkat bagiku. Namun, aku mendapat banyak hal di sana. Teman baru, kehidupan yang baru, guru baru, dan pengalaman yang lebih menarik dari yang aku dapat sebelumnya. Juga kesadaran yang seringkali muncul tanpa ku sadari. Aku telah meraih apa yang aku inginkan selama dua tahun yang singkat itu. Menjadi seorang pimred, memiliki piala, mengikuti LKTI Nasional, menerbitkan karya di media massa, menulis di blog, menjadi aktivis berbagai organisasi, menjadi juara kelas, dan masih banyak lagi. Semua itu nyatanya membuatku merasa hampa. Ada sesuatu yang aku lupakan dan tak sering ku banggakan. Hafalan Al Qur’an. Sebuah mimpi mulia ibuku. Berkat do’anya setiap malam, akhirnya Allah memberiku hidayah untuk menghafalkan Kalam Suci itu. Aku tak tahu dari mana hidayah it