Posts

Showing posts from 2015

Rebahan Mukena Merah

Berujung sajadah diatas gelisah Berbalut noda berakhir neraka Berdawai dusta Terhina nista Ku katupkan pelupuk mata hati Agar tiada lagi syahwat menjerat Diatas kesucian yang tersirat Kucoba menghindar namun takut memudar Kalah akan kuatnya hasrat syetan Untuk mengelabuhi diri ini dalam wujudmu Senjaku menyapa dengan kesalahan itu Kesalahan terbesar akan kebohongan Yang membuatku terlihat tak berdaya Tak dapat terpungkiri jikalau ku ingin melepas semua ini Jerat hati yang menyakiti Sendi-sendi keimanan semakin rapuh Hanya karena ku menyayangimu Dan tak bisa untuk mengendalikan hasratku untuk tak melihatmu Dibalik rebahan mukena ini Terlihat segores tinta warna merah di atas kertas itu Berlumur penuh dosa Hanya karena untaian kata yang menggoyah jiwa Dan tak dapat mengelak akan nafsu Yang dibisikkan oleh syetan Pantaskah ku bermukena jika ku melihatmu dengan tatapan dosa? Pantaskah ku duduk di atas sajadah  jika ku membaca untaian hati

Sekolah Untuk Si Kembar

“ Andai pendidikan dan Ujian Nasional di negeri pertiwi ini tidak menyedot biaya selangit kepada rakyat, mungkin akan banyak anak-anak desa yang senasib denganku yang menjadi pemuda intelek. Tapi itu hanya andai, andai negeri ini mendengar, andai negeri ini tahu, seberapa ia tertinggal dari para tetangganya. Andai negeri ini melihat, betapa banyak bocah harapan bangsa yang belajar di pinggiran kali karena tak sanggup membayar administrasi.” dalam wisudah yang penuh haru dan isak tangis itu, adik bungsu Sholeh membacakan tulisan terakhir kakaknya. Betapa sang kakak peduli terhadap pendidikan. Betapa sang kakak ingin memiliki ijazah SMP. ***  “Nak, sudah pulang? Laku berapa gorengannya?” ibu menyambut kedatangan Sholeh diambang pintu. Diciumnya tangan ibu sambil memberikan uang hasil jualannya. “Maaf, Bu. Sholeh ndak bisa keliling jauh. Jadinya, gorengan kita Cuma laku sedikit.” Tuturnya lembut. Ibu hanya tersenyum sebari mengelus lembut kepala putra sulungnya. “Ayo sarapan! Ad

Perenunganku yang Pernah Tersesat

Tuhan, terima kasih untuk dua tahun berharga yang Kau berikan padaku, Aku sadar, tak semua kebahagiaan membuat hati nyaman, tenang. Tak semua prestasi dan aktualisasi diri membuat seseorang berarti. Dua tahun, waktu yang singkat bagiku. Namun, aku mendapat banyak hal di sana. Teman baru, kehidupan yang baru, guru baru, dan pengalaman yang lebih menarik dari yang aku dapat sebelumnya. Juga kesadaran yang seringkali muncul tanpa ku sadari. Aku telah meraih apa yang aku inginkan selama dua tahun yang singkat itu. Menjadi seorang pimred, memiliki piala, mengikuti LKTI Nasional, menerbitkan karya di media massa, menulis di blog, menjadi aktivis berbagai organisasi, menjadi juara kelas, dan masih banyak lagi. Semua itu nyatanya membuatku merasa hampa. Ada sesuatu yang aku lupakan dan tak sering ku banggakan. Hafalan Al Qur’an. Sebuah mimpi mulia ibuku. Berkat do’anya setiap malam, akhirnya Allah memberiku hidayah untuk menghafalkan Kalam Suci itu. Aku tak tahu dari mana hidayah it

Saat Ini

Saat ini, aku masih membayangkan hari itu, meski aku baru akan melewatinya beberapa bulan lagi. Ya, beberapa bulang lagi. Peristiwa yang sama pernah merenggut dua kehidupanku. Ketika orang bijak berkata perpisahan bukan akhir dari segalanya, atau setelah perpisahan pasti ada perjumpaan atau yang lain sebagainya. Semua kata orang bijak itu bertentangan dengan apa yang aku alami selama ini. Wisudah, seharusnya menjadi hari paling membahagiakan karena akhirnya kita bisa berada di titik finish perjuangan kita. Tapi, hari itu menjadi hari dimana aku ditinggalkan dan meninggalkan apa yang selama ini aku nikmati. Kau pernah mendengar cerita cinta antara aku dan sahabatku? Dia sahabat yang aku cintai. Aku mencintainya. Ku anggap dirinya separuh dari kehidupan yang aku miliki. Ku berikan apa yang aku miliki dan ku lakukan yang terbaik untuknya di setiap detik yang diberikan oleh tuhan. Aku berdoa bahwa meski kita terpisahkan jarak, kasih sayang kita akan tetap sama. Nyatanya, kita berp

Ma'had Aku Padamu !

Keheningan malam terasa menggugah kalbu. Tersirat dalam benak ini untuk mencari kebenaran tentang adanya pencipta dari semua ini. Ingin rasanya ku menggali ilmu lebih dalam untukku semakin dekat dengan-Nya. Terlihat olehku para santri di pesantren sebelah rumah berlalu lalang pulang dari masjid untuk mengaji. Ingin rasanya ku seperti mereka, menuntut ilmu tanpa dampingan dari kedua orang tuan. Tanpa mengenal waktu dan lelah. “Mama, aku ingin mengaji.” Ungkapku kepada mama. “Alhamdulillah… kalau gitu, ayo sekarang kita ke ruang shalat untuk mengaji!” ajak mama. “Aku nggak mau, Ma. Aku ingin mengaji di pesantren.” “Kalau begitu besok mama akan daftarkan Kamu di Pesantrennya Kyai Halqi. Pesantren di sebelah rumah kita itu!” “Nggak mau. Aku tidak mau jika harus mengaji di pesantren sebelah rumah itu. Itu bukan pesantren, Mama. Itu asrama. Anak yang tinggal di pesantren itu sifatnya tidak seperti anak-anak yang mengaji di pesantrennya Kyai Halqi. Masak iya, anak pesantren b