Perjuangan Tanpa Batas Sang Jenderal (Review Film Jenderal Soedirman)
Judul Film :
Jenderal Soedirman
Sutradara : Viva
Westi
Penulis Naskah : Tubagus
Deddy
Pemain : Adipati
Dolken, Annisa Hertami, Ibnu Jamil, Baim Wong,
Tayang :
Agustus 2015
“Kekuatan senjata bukan lagi yang
utama. Perang bukan lagi melawan penjajah semata, tetapi, melawan kejahatan.
Saya yakin dengan izin Allah, meski kita terbatas peluru, senjata, meski kita
kedinginan, kelaparan seperti sekarang, tapi kita mempunyai niat yang mulia,
niat yang akan memenangkan peperangan ini. Ini bukan lagi soal keadaan diri,
tapi ini soal perjuangan demi rakyat dan Negara yang kita cintai,” Jenderal
Sudirman.
Sebuah film kolosal yang
menceritakan perjuangan seorang jenderal dalam memimpin perang gerilya tahun
1948. Film ini diawali dengan sedikit cuplikan proses pengangkatan Soedirman
sebagai seorang jenderal yang dipilih oleh pimpinan-pimpinan TKR daerah. Saat
Belanda telah menduduki Jogja, Soekarno meminta Soedirman untuk tinggal di Istana
Negara supaya aman dan bisa mendapat perawatan dari dokter Belanda. Tetapi,
dengan penyakit TBC yang dideritanya, dan satu paru-paru yang dimilikinya, Soedirman
memilih untuk memimpin gerilya ke arah timur. Melewati bukit, sungai, dihantam
hujan, badai, dengan senjata dan pasukan seadanya.
Soedirman mengatakan, bahwa gerilya
adalah perang menggunakan taktik, untuk menguras tenaga musuh, bukan lari dari
penjajah. Film ini seolah mewakili keadaan yang terjadi pada saat itu. Dengan
semangat juangnya, dalam memimpin gerilya Soedirman ditandu hingga berganti
tandu sampai empat kali. Soedirman dan rombongannya beberapa kali singgah di
rumah penduduk untuk beristirahat dan harus bergerilya lagi ketika telah
diketahui musuh.
Salah seorang tentaranya pada saat
itu mencoba berkhianat dan melaporkan keberadaan Soedirman kepada Belanda. Akan
tetapi, dengan menggunakan taktik, Soedirman menyamar sebagai seorang kyai yang
tahlil bersama santrinya, sehingga pengkhianat itulah yang mati tertembak
belanda karena dianggap telah memberikan berita palsu.
Pada akhir cerita tentang gerilya,
ada sebuah adegan yang benar-benar menyentuh nurani. Diceritakan, Karsani,
salah seorang tentara yang berlatar belakang sebagai rakyat biasa tertembak
Belanda ketika hendak mengantarkan surat Soedirman ke Raja jogja. Diakhir
hayatnya, Karsani mengucapkan “Merdeka! Merdeka! Merdeka!” hingga nafas
terakhirnya. Ia pun dimakamkan secara terhormat layaknya seorang pahlawan.
Akhir dalam film ini menceritakan
berakhirnya gerilya pada Mei 1949 dan Soedirman kembali ke Jogja, lalu
menyerahkan kekuasaan Jenderalnya kepada Soekarno sebagai panglima tertinggi.
Soedirman meninggal beberapa bulan kemudian akibat sakitnya yang semakin parah.
Film ini mengajarkan tentang
perjuangan tanpa batas seorang pecinta negeri. Soedirman yang rela berjuang,
ikhlas dan optimis akan kemenangannya, juga pasukannya yang siap bertempur
dengan bermodalkan keberanian semata. Sang Jenderal juga tetap menghormati
presiden sebagai pemerintahan sipil. Hal ini ditunjukkan ketika Soekarno mengingkari
janjinya dan enggan ikut bergerilya, Soedirman mengatakan, “Biarlah saya yang
memimpin gerilya ini. Apa perintah terakhir Anda kepada saya?” inilah patriotik sejati. Dengan segala
keterbatasannya, Soedirman menunjukkan bahwa dia bisa membela negeri ini.
Keberhasilan film ini juga atas
dukungan para pemain yang memainkan perannya secara totalitas. Adipati Dolken
sebagai pemeran Soedirman mengatakan bahwa dirinya harus menjalani pelatihan
militer selama dua minggu dan menghitamkan kulit agar bisa mendapat chemistry seorang Soedirman. Pemeran
tentara Belanda juga dimainkan oleh orang asli Belanda dengan Bahasa Belanda
pula. Setiap adegan dalam film berdurasi 2 jam ini seolah turut mengajak
penonton untuk ikut bergerilya. Masuk keluar hutan, kehujanan, kepanasan,
kedinginan, dan kelaparan. Diiringi dengan soundtrack
dan efek musik yang semakin menghidupkan cerita.
Sangat disayangkan karena film ini
tidak menceritakan secara mendetail biografi Soedirman. Sosok istri dan
anak-anaknya hanya dimunculkan sekali, sehingga penonton tidak mengetahui sifat
Sang Jenderal terhadap keluarganya.
Film yang sangat sayang untuk
dilewatkan. Terlebih bagi generasi muda yang jarang mengenal sosok pahlawan
Indonesia. Film yang menvisualisasikan materi sejarah tentang gerilya tersebut layak
diacungi jempol atas keberhasilannya menceritakan secara detail kronologi
peristiwa yang terjadi pada saat itu. (azz)
Comments
Post a Comment