Dua Sisi yang Saling Melengkapi

7 HARI TANTANGAN MENULIS-DAY 2

Orang-orang tahu kami selalu bersama. Dimanapun ada saya, di situ pasti ada Nana. Bagai tumbuk dengan tutup, bagai sepsang sandal yang tak terpisahkan.
Aku mengenalnya sebagai gadis bersuara bagus saat kami menjadi siswa baru di salah satu SMP di kotaku. Gadis berperawakan kurus tinggi ini memang sosok yang ramah dan mudah beradaptasi. Dia mengambil hati banyak orang dalam waktu sekejap. Penampilan kami hampir bertolak belakang. Aku gemuk, pendek, dan sangat susah untuk berbaur dengan orang-ornag baru. Tapi, bersama nana aku terasa lengkap, dia menyelamatkanku dari kekauan.
Tiga tahun duduk di bangku yang bersebelahan saat SMP, rupanya cukup membuat aku dan Nana semakin dekat. Kami mengikuti banyak ekstrakurikuler yang sama. Mulai dari OSIS, jurnalis, pramuka, Go Green, dan masih banyak lagi. Ketika hendak masuk ke jenjang yang lebih tinggi, sebenarnya kami memiliki pilihan sekolah yang berbeda. Sayangnya, takdir pada akhirnya melemparkan kita di sekolah yang sama. MAN Gondanglegi. Sekolah itu akhirnya kembali mempertemukan kami. Namun, kami tak bisa sellau bersama.
Nana sempat tertegun ketika mengetahui kami tidak satu kelas lagi. Aku pun cukup lemas ketika mendapati nama kelas kita berbeda. Bagaimana bisa? Batinku. Jarak kelas kita cukup jauh, sehingga sangat jrang aku bertemu Nana. Dia aktif sebagai anggota OSIS, dan aku aktif sebagai anggota Jurnalis. Kesibukan kita sama-sama membuat kita lupa untuk bertemu.
Tapi, satu hal yang aku ingat. Nana selalu stand by di kelasku pagi-pagi buta hanya untuk bercerita. Curhat tentang banyak hal yang dia pendam seminggu lamanya. Dia rela menungguku datang dan duduk di pelataran kelas hanya untuk mendpat teman bercerita. Biasanya, kalau dia sudah curhat, baru akan selesai ketika guru kelasku datang.
Ya, begitulah. Namun, takdir membawa kita kembali bersatu saat kelas XI. Pada akhirnya, kami memilih jurusan yang sama. Kelas Bahasa. Kami kembali satu bangku, dan bercerita banyak hal setiap hari. Berbagi bekal setiap hari, berbagi canda setiap hari. Nana tetap dengan hobi menyanyinya dan aku dengan hobiku sendiri.
Kita sudah sangat sibuk di kelas sebelas ini. Kami sama-sama menjabat sebagai ketua di organisasi yang berbeda. Namun, hal itu justru membuat kami semakin rukun. Saling bahu membahu. Jika nana ada kesulitan membuat surat atau LPJ dia selalu meminta bantuanku. Pun kalau aku butuh sesorng untuk mengantarkanku fotocopy, Nana selalu ada. Pernah suatu ketika dia akan mengikuti lomba pidato, kesibukannya menjadikan dirinya tidak memiliki waktu untuk membuat teks pidato. Jadilah aku yang membuatkannya. Berjam-jam menemani dia latihan juga pernah. Bahkan untuk setiap lombanya, aku selalu ikut merasa deg-degan.
Saat sweet 17th ku, ada moment ter-sweet antara aku dan Nana. Tiga hari menjelang ulang tahunku, dia harus berangkat ke luar kota untuk mengikuti lomba speech tingkat provinsi. Dia akan pulang lima hari kemudian. Sebelum berangkat terjadilah drama-drama perpisahan antara aku dan dia. Lucu kalau diingat, padahal juga hanya untuk beberapa hari. Nana meninggalkan sepucuk surat untukku sebagai wakil dirinya yang tidak bisa menemani di hari special 17 tahunku. Nana berjanji akan memberiku hadiah saat dia pulang. Aku menangis saat membacanya. Bukan karena apa-apa, tpai karena saking terharunya Nana bikin surat khusus buat aku, padahal sebelumnya tidak pernah.
Setiap salah satu dari kami yang ulang tahun, moment kebersamaan selalu diusahakan untuk ada. Entah hanya untuk makan bersama atau hanya untuk berbincang ringan. Kami hanya ingin menua bersama.

Ketika akhirnya aku dan nana lulus dari Aliyah, tak bisa ditawar lagi, perpisahan kami di depan mata. Sebenarnya kampus impian kami sama, hanya saja takdir tidak mengizinkan kami bersatu. Nana harus merelakan diri untuk mendaftar di kampus lain. saat aku tahu dia tidak diterima di kampus impian kami, sempat tersebit perasaan sedih dan kehilangan dalam diriku. Entah bagaimana hubungan persahbatan kami nantinya. Aku mulai berpikir bahwa kemungkinan terburuk adalah kita tidak akan bersama lagi. Namun ternyata aku salah. Sekalipun di kampus yang berbeda, Nana masih sering menyambangiku ke kampus. Masih sering jalan bareng, masih bisa ngasih surprise ke kampusku saat aku ulang tahun, dan masih banyak lagi. Saat ini, dia menjadi duta kampus, dan aku memutuskan untuk mondok di salah satu pesantren dekat kampusku. Kesibukan kami jelas berbeda, ritme kegiatan kami pun berbeda. Tapi, kami selalu meluangkan waktu meski hanya sekedar menanyakan kabar di sosial media. Kami menyadari keterbatasan waktu yang kami miliki, tapi kami tidak eprnah kehilangan satu pun cerita hidup satu sama lain. 

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Resensi Novel “Hujan” Karangan Tere Liye

Perjuangan Tanpa Batas Sang Jenderal (Review Film Jenderal Soedirman)

Kirab Haul Mbah Sogol: Momentum Memutar Ulang Sejarah