Lembar-lembar Terakhir (Part 4)

Ruang Jurnalistik November 2014
Sejarah kembali berulang. Aku terpilih sebagai seorang pimred siang itu. Dalam pengambilan suara secara voting aku mendapat nilai terbanyak, *kalau yang ini selisihnya telak dengan kandidat lain* yang dicalonkan saat itu aku, Yukha, dan Fahma. Sesuai prediksi pengurus lama, Yukha jadi redaktur pelaksana dan Fahma jadi editor. Sebenarnya, itu komposisi mendesak, karena nggak ada pilihan lain. Saat aku dicalonkan pun aku tidak tahu berdasarkan skill atau bukan. Yang jelas, saat terpilih itu ada rasa ketakutan dan kekhawatiran dalam hatiku.
Red/OASE 2015 

Impianku dikabulkan oleh Allah. Sayangnya, aku sudah tahu seperti apa keadaan dalam jurnalis sebelum aku menjadi pimred. Ini cukup menguntungkan sebenarnya. Tapi, juga ada rasa khawatir kalau nantinya aku tidak akan membuat kondisi itu menjadi lebih baik. Dengan dukungan penuh dari kakak-kakak, alumni redaktur, dan pembina, aku beranikan diri menerima jabatan itu *toh kalau mau nolak gimana caranya?* Bagi kebanyakan orang, saat aku dinyatakan menjadi pimred sudah bukan hal aneh. Karena nggak tahu kenapa sebelum pemilihan pun sudah ada yang bertanya “Sekarang pimrednya Qolbi kan?”satu tangga lagi aku naiki. Cerita baru pun dimulai.
MAN Gondanglegi Januari 2015
Secara mendadak, serah terima jabatan berlangsung siang itu. Tepat setelah peringatan maulid nabi. Planningnya sertijab sebelum liburan, berhubung kendala biaya, sertijab ditangguhkan. Siang itu bisa dibilang sertijab dadakan. Alasannya karena udah pesen roti, tapi rencana sertijab keluar nggak jadi :D Jadilah kita sertijab secara sederhana saat itu. Saat itu aku melihat pimredku legowo banget ngelepas jurnalis, begitu pun Pak Hend yang kayaknya menerima pimred baru ini dengan sangat bahagia. Mereka tidak tahu kalau aku justru ketar-ketir. :D
Dari ke-17 anggotaku, sebagian besar adalah temanku dari XH. Lainnya kelas X. sebuah keuntungan karena aku sudah berteman baik dengan mereka. Tapi, ada juga sisi lain yang akhirnya aku sesali kenapa beberapa dari mereka harus dipilih oleh para seniorku dulu.
Langkah pertama yang aku lakukan adalah membentuk agenda kegiatan. Mulai dari penentuan tema majalah, rubrikasi, pengumpulan artikel secara berkala, deadline, editing tahap I, II, III, desain, revisi, ke percetakan, finishing, semua terperinci dengan detail. Majalah edisi 11 yang aku garap, mencoba wajah baru. Jika biasanya dalam satu majalah ada beberapa tulisan yang keluar dari tema, maka edisi itu kita buat semua mengarah ke satu tema. *ini sesuai request tersiratnya pembina* meski agak kesulitan karena baru pertama kali, tapi, kita coba sebisa yang kita bisa.
Anggotaku bisa dibilang lumayan disiplin dan tepat waktu. Saat waktunya mengumpulkan, aku selalu mengontrol tulisan mereka. Bagi yang belum selesai saat waktu pengumpulan tiba, siap-siap aja dicerewetin sama pimrednya. Kadang juga rasanya pengen marah kalau udah molor lama *terlebih di rubrik serba-serbi* karena beberapa teman ada yang tidak bisa diajak kerjasama. Tapi, aku selalu menekan diri untuk tidak sampai marah yang keterlaluan. Paling pol kalau sudah jengkel aku jutekin aja kalau rapat. *Maafkan aku ya teman-teman, aku manusia biasa. Ini OTW jadi manusia sabar kok*
Alasan mendasar kenapa aku nggak bisa marahin mereka karena Pak hend pernah menasihatiku, “Jurnalistik itu organisasi hobi, isinya ya para orang-orang yang memang hobi, mau menulis. Kita tidak bisa memaksa orang lain untuk menulis. Buat apa marah-marah karena mereka nggak ngerjakan tugas. Jangan, Bi! Masak kita mau mengorbankan pertemanan yang sudah terjalin hanya karena masalah kecil di organisasi? Masa kita menjalin pertemanan, membutuhkan teman itu lebih lama daripada saat berada di organisasi. Saat kita memiliki jabatan.” Begitulah kurang lebih. Keitka Pak Hend berkata demikian, waktu itu aku masih menjadi redpel dan secara kebetulan beliau tahu kalau aku marah ke kakak-kakak gara-gara molor ngumpulkan tugas. Kalau dipikir, memang 100% betul. Makanya aku menghindari cek-cok sama anggotaku. Kalau pun butuh pelampiasan, aku pasti lari ke Yukha *pelampiasannya bisa dalam bentuk ngomel semaunya ke Yukha, makan bareng, atau sharing* makasih Yukha, teman, redpelku yang pengertian! :*
Majalah edisi 11 kita terbit tepat waktu, bahkan kita hanya perlu dua kali ke UIN. Karena urusan desain sudah beres sebelum dibawa ke sana *Dalam hal ini aku berterima kasih pada Didin* Isi, desain, semuanya sesuai harapan. Meski ada juga beberapa kecacatan.
 Setengah periode berlangsung baik-baik saja meskipun aku mengorbankan kegiatan di pramuka berulang kali. Aku anggap itu sebagai konsekuensi. *Terima kasih pradana dan pradanawati, teman-teman dewan ambalan, dan pembina pramuka yang telah pengertian pada Bibi* barulah di setengah periode terakhir ada beberapa gonjang-ganjing.
Anggotaku mulai sulit dikendalikan. Karena saat itu kita sudah mulai masuk kelas XII. Bimbel udah mulai jalan, pelajran udah mulai ngebut, kepotong UTS, Milad, Tryout, agenda yang padat membuat kita harus ekstra berlari cepat. ditambah lagi kita harus melakukan perekrutan anggota baru dan menyiapkan acara sertijab. Sedangkan anggotaku yang notabene anak-anak smart…. *Lanjutkan sendiri* Proses editing sudah nggak bisa sesuai agenda. Karena pengumpulan tulisan mepet banget dengan deadline. Walhasil semuanya numpuk. Mau nggak mau, aku turun tangan lah. Pelajaran di kelas sementara agak kabur dulu nggak papa :D
Parahnya lagi, desainerku (baca : Didin) mulai menunjukkan gejala give up di awal-awal November. Udah mulai pakai acara kabur-kaburan saat rapat, alasan inilah, itulah. Segala cara kita lakukan untuk membujuk si Didin. Sampai pakai bawa-bawa hati segala :D. akhirnya dengan agak sedikit dipaksa, Didin bersedia mendesain. Meski konsekuensinya, aku dan Yukha harus sering-sering ngasih konsumsi ke nih anak. Konsekuensi lain kita harus nemenin desain *ini biar desainnya cepet dan nggak ditinggal main sosmed* Setiap saat kalau ketemu Didin pasti langsung tanya “Gimana desainnya?” mungkin Didin sampai nggak bisa hidup tenang kali ya… bayangin aja 90 sekian halaman digarap seorang diri dengan penuh paksaaan dan waktu yang singkat. :D
Ini pesannya Pak Hend waktu itu :D :D :D 
Keadaan menegangkan itu berakhir pada saat UAS hari pertama. Curhat dikit ya, H-3 sebelum UAS aku drop lagi. Gejalanya aku rasakan tepat setelah aku ngebut re-edit dan merevisi desain pukul setengah 11 malam, pas kebetulan waktu itu bisa curhat ke Pak hend. Karena beberapa aktivitas yang padat *sok sibuk ya* jadi telat makan, kurang istirahat. Aku mencoba strong untuk tetap masuk Hari Sabtu. Tapi, di kelas justru kayak kain serbet. Nggak kuat ngapa-ngapain. Udah nggak sempet lagi ngontrol desain. Aku percayakan semuanya pada Tuhan dan Didin pokoknya. :D
Senin, dihari pertama UAS, aku masuk sekolah meski dengan kondisi yang menyedihkan. Jalan ke kopsis aja harus dituntun Nana. Meski begitu, aku masih punya tenaga buat nyari Didin ditemani Yukha. :D Pas banget desain sampunya belum selesai. *Rasanya pingin aku makan si Didin saat itu juga* karena nggak punya tenaga buat ngomel, akhirnya aku bujuk dia buat nyeelsain siang itu juga. Dan berhasil!!! Cover depan belakang selesai. Isi tuntas, tinggal nambah halaman. Berhubung udah mepet banget, akhirnya aku iyakan saja untuk menambahkan halaman (Didin kan anak pondok, jadi tidak bisa lembur). Keesokan harinya, file dikirim! Sukses!
Ketika desain sudah selesai :D :D :D 
Tapi, alih-alih berpikir bisa bernafas lega, aku justru mendapat telfon dari orang percetakan dirabu siang. Mereka dengan ringannya bilang, “Dek, file majalahnya nggak bisa dibuka. Soalnya internetnya di sini trouble sejak kemarin. Mungkin sampai beberapa hari.” *GUBRAKKK* (Pada saat momen ini, aku memakai kalimat mujarabnya Pak hend yang pernah beliau katakana padaku saat aku kalah LKTI. Beliau bilang, “Jika ingin menjadi wanita hebat atau kuat, Be Patient!). sabar, Bi. Sabar. Pasti majalahnya selesai kok, dengan berat hati akhirnya aku berkata, “Iya deh, Mbak nggak papa, habis ini saya antarkan filenya.”
Pukul 12.15 aku langsung check out ke Malang diantar Nana *makasih ya Na yang udah mau ikutan jadi korban* (pulanya kita makan di Waroeng Steak and Shake. Itung-itung sambil jalan-jalan lah. Bayar sendiri lho ini :D) berhubung saat itu kondisi badanku belum sehat betul, jadi pas sampai rumah langsung bedrest lagi. UASnya giamna, Bi? Sementara skip dulu. Yang penting sembuh. Tapi, aku bersyukur karena majalah kita terbit tepat waktu dan bisa terdistribusi dengan baik. Semua dah dapat majalah edisi 12 kan? Yang warna merah itu lhoooo.
Ditengah perjalanan, sempat ada kesalapahaman dengan rekan dari komunitas lain *nama disensor* tapi, beruntugnnya hal itu tidak berlangsung lama dan tidak sampai melebar kemana-kemana. Aku jadi bisa mengambil kesimpulan kalau setiap kita akan mengadakan kerjasama, maka kedua pihak harus bertatap muka, dan tidak boleh ada yang dipendam atau disampaikan ke orang lain. Masalah di forum harus diselesaikan diforum. Setelah keluar, masalah itu selesai. Tapi, tidak semudah itu pemirsa.
Tugas terakhirku sebagai seorang pimred adalah menyiapkan generasi penerus. Inilah yang paling sulit untuk aku lakukan. Pemilihan redaktur telah selesai di pertengahan November. Hanya masalah ‘siapa pimrednya’ yang masih harus dicari jawabannya dengan cukup lama. Kesulitannya karena kita nggak memahami betul karakter para calon kandidat. *Mungkin ada keuntungannya juga ya saat tidak ada lagi yang bisa dicalonkan seperti kasusku dulu, karena udah pasti mantab memilih itu seniornya* sampai akhirnya pilihan kita jatuhkan kepada Widhatul Islamiyah setelah melewati tahap tes dan voting. Ibaratnya, kita mengambil kertas undian dan tidak tahu kertas yang kita ambil itu berisi keberuntungan atau kesialan.
Sertijab 2015 :) :) :) 

Setelah tugas terakhir, ternyata masih ada tugas tambahan lagi. Membuat laporan pertanggungjawaban akhir tahun. Oh noooo! Apa itu? “Mumpung Kamu masih ada, Bi.” Begitu kata Pak hend. Adalah kesalahan ketika proposal dan laporan kegiatan selama setahun nggak pernah aku fotocopy. Jadinya kayak waktu itu, ngebut nge-print, berburu tanda tangan, belum lagi membuat pendahuluannya. Ahh sial! Aku harus ngarang dari nol, karena sebelumku nggak ada yang dapat perintah ini. Kembali lagi, Yukha setia menemaniku menyusun lembar demi lembar LPJ tahunan jurnalis. Meski dia hanya menemani nggak ngapa-ngapain itu udah support banget lho. Setidaknya ada temen ngomong :D nggak perlu waktu lama. *iyalah sambil ngebut, karena jurnalis printernya rewel waktu itu, jadi pakai jasa warnet, sama mbak-mbak warnetnya dikira aku sudah skripsi. Waks :D emang banyak banget lho. Hampir seratus halaman lebih* 2 MINGGU LPJ tahunan jurnalis telah terusun rapi. Hanya saja kalau mau revisi dan tanda tangan nunggu hari Sabtu kalau ada Pak Hend. Makanya agak molor finishingnya. Pas udah dijilid, itu rasanya lega banget lho. Sumpah!

Setelah sertijab, aku sadar tugasku masih belum selesai. Bahkan mungkin sampai sekarang. Saat aku menjabat sebagai pimred, aku lupa mengajari adik-adikku tentang me-manage organisasi kita yang masih dalam masa pertumbuhan. Orang lain bisa bilang Jurnalis itu udah mapan, udah berhasil, tapi, siapa yang tahu kebenaran di dalamnya selain orang yang berada di dalam? Aku lupa untuk memberitahu mereka itu semua. Aku terlalu asyik dengan kesibukanku mengurus ini itu. Adik-adik juga lumayan sering menghilang sih waktu itu. Jadi, mungkin sering kelewat dari pengawasanku.
Di 8 majalah itu ada tulisanku di dalamnya.. :) hanya pencapaian kecil yang semoga bisa memacing pencapaian besar :)
Tak ada yang bisa aku ajarkan pada mereka pada akhirnya. Aku hanya bisa membagi pengalaman yang aku dapatkan selama menjadi rekdatur selama 2 tahun. Apa artinya aku bisa menerbitkan 2 majalah secara tepat waktu dan bernilai bagus kalau aku tidak bisa mengajari generasi penerusku hal yang sama? Bukankah OASE akan kembali menjadi buruk? Apa artinya aku bisa menyusun proposal dan LPJ sedemikian rupa jika mengajari mereka menyusun satu proposal saja aku gagal? Bukankah percuma saja?
Tak ada yang bisa aku janjikan pada adik-adikku. Aku hanya bisa berkata kepada mareke “Kalau mau minta bantuan jangan sungkan ke aku.” Meski kenyataannya aku sering meninggalkan mereka begitu saja. Untuk organisasi yang telah turut membesarkan namaku, membantuku mengepakkan sayap menjadi kupu-kupu, aku berharap bisa membalasnya dikemudian hari. Entah bagiamana caranya. Teruntuk pembina jurnalistikku, Pak hend yang telah sangat baik mau membebaskan Bibi melakukan apa saja di jurnalis, dan tak bosan menasihati Bibi, sekaligus mau mendengarkan curhatan Bibi yang berudasi jam-jaman, yang bersedia Bibi recokin lewat sms, wa, terima kasih banyak. Kamsa hamnida, aduh nggak tahu lagi deh gimana caranya ngucapin terima kasih ke Bapak. Kalau aja nggak ada nasihat-nasihat ampuh itu mungkin sekarang saya sudah nggak hidup lagi *Hiperbola*
Adik-adikku yang sekarang menjabat sebagai redaktur, semangat terus ya! Semoga majalah ala Kalian bisa lebih baik dan lebih specta daripada buatan kakak-kakakmu ini. I believe you can make journalist more awesome :D Keep spirit juga buat Pak Hend yang udah memasuki tahun ke-6 menjadi pembina jurnalistik. Without you, I feel nothing lah.. :D :D :D

Ceritanya kayak curhat ya? mulai jenuh? yaps, tenang aja, tinggal 2 episode lagi yang tersisa *kalau banyak-banyak bikin mual :D*. Setelah ini akan ada cerita tentang keluarga baruku di MANDAGI. Selain anggota kelas dan jurnalis. Mereka adalah orang-orang baru yang akhirnya memopulerkan panggilan ‘Bude’ bagi diriku. :D pasti udah nggak asing kan kalau Kalian pernah dengar aku dipanggil Bude? Pengen tahu sebabnya? Nantikan di episode berikutnya. Thank you for reading J

Comments

Popular posts from this blog

Resensi Novel “Hujan” Karangan Tere Liye

Perjuangan Tanpa Batas Sang Jenderal (Review Film Jenderal Soedirman)

Kirab Haul Mbah Sogol: Momentum Memutar Ulang Sejarah