Lembar-lembar Terakhir (Part 2)

MAN GONDANGLEGI, Juli 2014
Siswa kelas X yang naik kelas XI berebut melihat papan pengumuman yang terpasang di mading sebelah UKS pagi itu. Begitu pula dengan diriku, saat itu aku berlari bersama Yukha untuk melihat berada di jurusan apa nama kita. Sesuai harapan, aku diterima di jurusan bahasa. Dari XH, hanya aku saja yang berada di sana. Teman-temanku yang lain ada di jurusan IPS, Agama, dan sebagian besar di IPA.
Yukha, teman sebangkuku - yang mulai aku sayangi - masuk IPA 1, aku masih ingat betul betapa ekspresinya menggambarkan keraguan. Seperti sebuah ketakutan untuk memasuki jurusan barunya. Dia pernah bilang padaku bahwa dia berharap bisa masuk jurusan IPS, meskipun di pilihan pertamanya adalah IPA. But, takdir berkata lain, dia harus menjalani hari-hari berikutnya di kelas IPA 1.
Hari itu juga, kita berpelukan menangis mengucapkan kata perpisahan, dan saling mendoakan semoga kita nyaman berada di kelas baru kita. Selamat tinggal XH, selamat tinggal teman-teman, selamat tinggal Pak Hend, dan selamat tinggal ilmu eksak :D *tawajahat*.
Personil BARAYA (Bahasa, Sastra, Karya) bersama Wali Kelas

Cerita baruku dimulai. Lagi-lagi, aku berada dalam komunitas yang minor. Satu kelas hanya berisi 19 orang. Tapi, aku bahagia karena bisa satu kelas dan satu bangku lagi sama Nana. Tapi, kelas kecilku kali ini berbeda. Saat MTs, aku akui masuk kelas bahasa lumayan sulit dan harus menjalani interview tambahan, XH pun hanya diperuntukkan bagi anak-anak yang memang dipersiapkan mengikuti olimpiade, dan aku beruntung saja bisa berada di sana. Sedangkan jurusan bahasa?
Diakui atau tidak, aku yakin tak banyak yang berminat mengambil jurusan itu. Kalau pun ada yang masuk ke sana mungkin karena mereka tidak diterima di jurusan lain, alasan lain karena mereka malas dengan pelajaran menghitung, atau bisa jadi karena malas belajar. Kenyataan bahwa jurusan bahasa memiliki catatan merah tidak bisa dipungkiri lagi. Awalanya aku berfikir memang anak bahasa berkarakter ‘urakan’, wajar menurutku. Karena di MTs dulu kelas bahasa juga dicap kelas teramai.
Sisi lain yang aku amati dari kakak kelasku jurusan bahasa adalah karakter mereka yang 'nakal' (dalam arti kias). Saat ujian, aku pernah satu kelas dengan mereka. Dan ya... mereka kompak. Kompak berkolusi dengan banyak cara. Alasan lain adalah karena bahasa tidak memiliki bahasa asing seperti Jerman, Perancis, Jepang atau Bahasa asing lainnya. Bahasa asing yang dimiliki jurusan ini adalah Bahasa Arab, mungkin itu bukan hal asing bagi anak MAN. Tapi, ada hal lain yang baru aku ketahui saat aku di tengah perjalanan kenapa siswa jurusan bahasa seperti itu.
Saat masa awal pembelajaran dimuali, setiap guru yang mengenaliku selalu bertanya "Kamu dari XH kan? Kenapa masuk bahasa? Kok nggak masuk IPA?" awalnya aku biasa saja. Tapi, lama-lama aku geram juga. Dalam hati aku berfikir, what's wrong with language progam? Apa yang salah jika aku masuk kelas bahasa? Apa alumni XH haram masuk jurusan Bahasa?
Dalam hati aku bertekad mengubah citra jurusan ini. Entah bagaimana caranya. Aku bertekad menjadi siswa yang bisa dibanggakan meskipun aku jurusan bahasa. Anak-anak lain boleh mendapat kecaman negatif tapi, aku tidak akan membiarkan itu melekat padaku. Karena aku memilih jurusan ini lillah. Karena memang minat dan kemampuanku di sana. Aku tidak ingin lari dari pelajaran eksak sekalipun aku sudah dibuat muak olehnya. Aku bisa saja masuk IPA jika aku mau. Tapi, apa salah jika aku memilih mengembangkan apa yang sudah aku miliki dan aku senangi? Saat itu aku yakin akan ada X factor yang akan bisa aku tunjukkan sebagai pembuktian bahwa “Aku, Anak jurusan bahasa yang bisa dibanggakan dengan bidang bahasaku.”
Waktu berjalan, dan dua orang temanku mengundurkan diri. Tapi, setelah itu diganti dengan Mahbubi dari kelas agama, dan Zulmi dari IPS. Kita tetap ber-19 hingga suatu masalah menimpa dua orang temanku hingga mereka drop out. Jadilah kami ber17 hingga akhir hayat. (sampai lulus maksudnya)
When we were together :)

Semester 3 pertengahan, aku mulai merasakan kebosanan. Banyak jam kosong, banyak pula waktu terbuang sia-sia, dan teman-temanku santai saja menanggapinya, (bertolak belakang banget sama budayaku di kelas sepuluh), aku juga sulit mendapatkan buku paket untuk mapel jurusan bahasa, LKS tidak lengkap tapi bayarnya tetap, *ini jujur*, tak ada buku paket Bahasa Asing, (padahal pelajaran ini sulit dipahami oleh siswa awam sepertiku), dan parahnya aku harus ngebut setoran juz ‘amma dan doa-doa karena SKU ku masih suci saat naik kelas (masalah ini juga dialami teman-temanku sesama alumni XH).
Hal lain yang membuat aku geram adalah saat pelajaran Antropologi. Aku benar-benar penasaran dengan pelajaran itu dan rasa ingin tahuku yang menggebu-gebu harus terpatahkan ketika guruku *nama disensor* masuk kelas dengan penjelasan yang tidak jelas. Setiap kali masuk kelas, bukan malah menjelaskan tapi, juatru bercerita masa sekolahnya, anaknya, dan kebanyakan sih kosong. Saat UAS, udah deh pakai ilmu taawudz (lagi). GAADA LKS dan mau baca buku paket males. Hahaha... Semester 4, antropologi berganti guru. Guru legendaris di MAN, tapi beliau sangat lembut dan penyabar. Sampai-sampai aku selalu ketiduran saat didekte. *setiap pelajaran selalu didekte banyak materi* walhasil, bukuku penuh dengan coretan, bukan cacatan. *Iyalah, kan aku nulisnya sambil bermimpi* sebagai gantinya, aku harus me-resume materi mulai awal ketika menjelang UN.
Beruntungnya, satu bulan kemudian tepat di bulan Februari seorang guru baru tiba-tiba masuk kelas *nama disensor* :D Dia guru antropologi baru, meskipun bukan sarjana antropologi tapi lumayan membawa perubahan lah. Guru muda, jadi wajar kalau masih bersemangat dan bisa bikin suasana kelas jadi menyenangkan sekalipun sudah siang. Sayangnya, guru ini tidak pernah absen masuk kelas *eh, pernah dua kali sih. Itu pun karena sakit, nggak boleh bicara dan harus bedrest. Tangannya patah tulang aja masih ngotot ngajar lho.* Guru inilah yang akhirnya membuka pengetahuanku tentang antropologi, buku catatanku jadi penuh, dan bisa mengerjakan dengan baik saat ujian. Aku juga pernah dapat nilai 203 lho saat UTS, dan diraport pernah dapat nilai 99 *nanggung ya* :-D
Dari semua yang aku alami, aku jadi bisa menyimpulkan bahwa kakak-kakak bahasa dulu contekan karena memang mereka tak bisa menguasai materi. Bahasa tidak didukung dengan buku penunjang yang cukup, guru yang sesuai bidang, dan terlebih banyak jam kosong di kelas mereka. Itu dulu, sekarang? Alhamdulillah semua menjadi lebih baik. Kita mendapat perlakuan yang sama dengan jurusan lain. Apalagi K13 bukunya sebarek di perpustakaan, tinggal siswanya mau baca apa enggak. 
Hal baru yang didapat jurusanku adalah rekaman mufradat. Proyek ini digagas oleh salah seorang PPL UIN Maliki Malang. Kami berhasil merilis satu album yang berisi 6 lagu. Banyak cibiran dan polemik saat lagu itu kami launching, tapi, biar saja. Kami menutup telinga rapat-rapat, saat itulah kami bisa unjuk gigi, dan membusungkan dada, membuat jurusan lain merasa iri.
23 maret 2015
Hari itu menjadi hari bersejarah untukku. Salah satu cerpenku dimuat di koran. Heboh? Jelas! Karena ini kali pertama bagiku dan sekolahku. Impianku terwujud. Anak bahasa ini bisa membuktikan bahwa dirinya berkesempatan menuai sesuatu yang tak banyak dipikirkan orang. Meski prestasi itu tak berarti apa-apa bagi sekolahku, tapi, bagiku satu prestasi kecil itu bisa membuat nama jurusan bahasa sedikit terangkat. Aku bisa menyimpulkan bahwa ketika kita menekuni sesuatu akan ada jalan untuk menoreh keberhasilan dari sana. Jika ada yang bilang "Wajar jurusan bahasa bisa dimuat karyanya" maka aku harus bilang "Berarti aku layak dong masuk jurusan Bahasa? Karena kemampuanku, bukan karena lari dari pelajaran eksak?"
sweet 17 :)

Di kelas Bahasa juga punya siswi dengan segudang prestasi yang bisa dibanggakan 'Nana', ada Laila yang tahfidz, Choy yang supel dan heboh, kalau dia udah nge-MC cetar banget deh, Mahbubi yang bergelut di albanjari (Bubi juga pandai berpuisi dan akting lho), Zulmi si manga addict (kadang juga absurd), Geraldo yang game holic banget (tapi dia baik lho mau aku suruh download-in film :D), Aan yang sering dibully gara-gara gabisa bilang ‘eRRR’ (kadang-kadang, waktu pelajaran TIK Pak Agung suka ngajarin Aan latihan bilang ‘eRRR’ :D), ada si Rempong, eh salah, maksudnya Nurul Masyrifah yang pinter kaligrafi dan lukis (Rempong ini SPGnya film korea di kelas :P), ada Nia (baca : Enyak) yang ngefans banget sama Aliando :D, Nurul Windi yang pinter gambar komik, Sevan si pendiam yang menghanyutkan, Wildan yang seneng banget sama Pramuka (Wildan ini kalau ada keperluan di kelas tanpa banyak kata langsung dibelikan), ada juga Ofa (panggil dia cimit atau Siti :D) dan Amalina yang dibilang kembar, Dana yang suka nggak nyambung kalau diajak ngomong (tapi duitnya anak ini banyak lho, kalau dia beli jajan, minta aja pasti dikasih), Meylan yang gampang gopoh dan dermawan (kalau dia habis kiriman, seharian satu kelas bisa makan jajan sampai kenyang), dan yang pasti ada BIBI (lebi kece dipanggi ‘bude’) yang konon katanya Judes dan Cerewet (ini pernah dinyatakan secara resmi oleh Pak Agung saat beliau jadi pembina upacara) :D :D. Kami berbeda, tapi, perbedaan itulah yang menjadikan kami berwarna. Sempurna!
Satu hal yang aku banggakan dari teman-teman sekelasku 'sekalipun orang lain bilang kita kompak, tapi, kita tak pernah berkongsi saat ujian'. Budaya mencontek itu akhirnya hilang dari kelasku. Selama dua tahun bersama, aku tidak pernah mendapati teman-temanku heboh minta contekan. Sekalipun ada PR yang belum mereka kerjakan, sekalipun ujian berlangsung dengan sangat sulit. Bagi kami, yang terpenting adalah barokah, biar pun nilai pas-pasan asal hasil sendiri. *ini kesepakatan tak tertulis* Sampai UNBK pun mereka memegang komitmen ini dan sama sekali tak minta bantuan walau soalnya sama.

Aku juga bahagia dengan sifat teman-temanku yang gabisa move on dari masa kecil. Kita sering bernostalgia permainan masa kecil kami, main ‘abc an’, nyanyi lagu anak-anak, menghafalkan iklan di TV *Fina pemimpinnya*, nonton kartun Teletubies, lip sing sambil menari *imitasi girlband dan boyband gitu*, akting reality show Dua Dunia *Mahbubi tokoh utamanya, Choy MCnya, Zulmi pawangnya, Dana kameramennya, yang lain jadi audiens* dan kami menyukai lagu-lagu awal 20-an (gara-gara saat pelajaran sastra Indo suruh menganalisis lagu-lagu lawas).
Setiap nonton film, film itu harus mengandung unsur budaya, konfliknya bagus, nggak banyak percintaan, dan memiliki nilai moral. *Film romantis dilihat secara individual*. Kalau filmnya bikin nangis, cowok-cewek pasti nangis semua. Uniknya lagi, cowok dan cewek di kelas kami berlaku kesetaraan gender. Jadi, bisa saling toleransi dan anti geng-gengan (kebanyakan sih cowok yang ngalah :D). Yang bikin aku terharu adalah saat menjelang UN, temen-temenku mendadak antusias belajar. Ketika guru tak ada mereka rela bikin kelompok belajar sendiri yang dipandu oleh teman kami sendiri, semua juga antusias hadir lho, gaada kata ‘gabisa dateng’ atau ‘males’. Saat simulasi UNBK, teman-teman juga ngotot minta jam tambahan mapel UN, padahal anak jurusan lain jam kosong
Tapi, bukan berarti kami tidak punya catatan merah. Seperti teman kami *nama disensor* yang sering keluar masuk tatib, ada juga yang sering banget nggak masuk yang bikin satu kelas bingung *nama disensor lagi*, kena razia hp juga pernah, ada yang laptopnya pernah disita karena bermain game saat di kelas *nama disensor juga*, dan kami satu kelas pernah berbuat kesalahan bersama pada guru TIK kami, gara-gara saat harus ke Lab. Komputer kami justru makan-makan di kelas, jadilah perseteruan hebat saat itu *majas hiperbola* tapi beruntungnya, saat kejadian itu aku sedang dapat dispensasi lomba mading 3D. kesalahan lain yang pernah kami buat bersama adalah saat ujian praktik Quran Hadist *tidak kuat mau cerita huaaaa!* dari kesalahan-kesalahan itu kami belajar untuk memecahkannya bersama, mengubah diri menjadi lebih baik, dan membuat rasa solidaritas kami semakin kuat. Maafkan kami yaaa semuanya! :)
Sayangnya, teman-temanku tidak memiliki kepercayaan diri yang tinggi, seringkali minder ketika berada di luar kelas. Padahal mereka berpotensi menjadi lebih hebat dari diri mereka saat ini.
Ketika kebanyakan orang mendewakan anak-anak jurusan lain, IPA misalnya. Kami sadar bahwa kami bukan tandingan mereka, secara kecerdasan jelas mereka lebih baik, secara nilai mereka memang lebih bagus. Tak ada yang bisa kami unggulkan dari jurusan kami. Tapi, kami berusaha menjadi yang tersolid, menjadi yang terbaik bukan untuk dujunjung tinggi. Melainkan, untuk menghormati diri kami sendiri dan menunjukkan pada orang lain bahwa siswa Bahasa tak ‘seburuk’ yang mereka pikirkan. Meskipun tidak banyak orang yang mengenal kami dengan baik.
Perasaan senasib seperjuangan yang kami rasakan - sama-sama menjadi yang tersisih - membuat kami berusaha berubah menjadi murid yang menyenangkan. Kami berusaha jujur, berusaha menghindari masalah tatib, berusaha menghormati orang lain, dan berusaha menjaga hubungan baik dengan adik kelas dan guru kami. Meski kami tahu kami tak sesempurna anak dari jurusan lain, setidaknya kami sudah mencobanya. Biar orang lain memberikan penilaiannya masing-masing. Nilai akademik bisa saja menipu, tapi, kebersamaan dan rasa saling memiliki tak bisa dimanipulasi.
Kami berusaha membangun itu dua tahun lamanya. Setiap ada yang lara satu kelas merasakannya. Begitu pun kami berusaha membahagiakan Bu Muyas, wali kelas kami. Ibu kami yang selama dua tahun membela kami, menasihati kami setiap hari.
Makan bersama BARAYA, GINGHAM, ARCHIPELAGO

Akhirnya, dengan bahagia aku ucapkan terima kasih kepada teman-teman, guru-guruku di kelas bahasa, Bu Muyas, dan adik-adik Gingham, Archipelago, kakak Ledguess. Tetep rukun sampai kapanpun ya… Thanks untuk 2 tahun yang berharga bersama Kalian.

Apa kisahku berhenti di sampai di sini? Tidak! Ada kisah menarik dari sisi lain di luar keberadaanku sebagai anggota kelas. Kisahku di organisasi Jurnalistik lebih menarik untuk diceritakan, hujan tawa, tangis, lelah, dan dari sanalah aku mendapat kesempatan untuk berkembang lebih cepat dari yang aku bayangkan. Ingin tahu kisahnya? Nantikan di episode selanjutnya! Thank you for reading J J

Comments

Popular posts from this blog

Resensi Novel “Hujan” Karangan Tere Liye

Perjuangan Tanpa Batas Sang Jenderal (Review Film Jenderal Soedirman)

Kirab Haul Mbah Sogol: Momentum Memutar Ulang Sejarah