Lembar-lembar Terakhir (Part 3)

Aku pernah memiliki impian yang bisa dibilang ambisius dan tak tahu tujuannya apa. Apa itu? Menjadi pimred mandagi.
bersama redaktur OASE periode 2013 - 2014

Yaps, percaya nggak percaya, Kalian harus percaya. Dulu, waktu MTs, aku juga wartawan sekolah. Awalnya hanya ikut-ikutan temen sekelas. Jurnalistik itu apa aku juga tidak tahu menahu. Pokoknya waktu itu di kelas banyak yang ikut, ya udah aku ikut. Tapi, siapa sangka justru yang ikut-ikutan ini jadi kecantol beneran. Di tengah perjalanan, banyak temenku yang mengundurkan diri, hingga akhirnya saat kelas delapan, aku terpilih jadi pimred (karena nggak ada lagi yang bisa dipilih :D)

Jadilah aku pimred Majalah MASANEGA, dengan segala ketidaktahuan dan yah, aku menjalankan organisasiku se-jalannya aja. Waktu rubrikasi majalah, apa kata pembinaku, waktu desain majalah, apa kata pembinaku, waktu cetak, apa kata pembinaku juga. Pokoknya tahu beres. *Satu catatan lagi saat aku jadi pimred masanega aku nggak secerewet sekarang lho, meski aku nggak gampang ngasih dispen izin ke anggotaku saat ada tugas. Kalau waktunya deadline aku tagih dengan cara halus juga. Hahaha :D *
rindu tteman-teman jurnalis M_Magz :) Ayoo temukan wajah saya! :D
Hingga saat aku kelas Sembilan, ada teman sekelas yang satu pondok sama anak MANDAGI bilang “Aku habis lihat majalah MANDAGI lho, bagus majalahnya.” Waktu itu yang dia ceritakan majalah edisi 7. Karena saat itu aku ilfiil banget sama nama MANDAGI (gara-gara dipaksa masuk sana sama ibuku, ceritanya ada di part I) makanya dimataku saat itu majalahnya biasa saja. Nggak ada yang istimewa. Padahal memang bagus sih desainnya
Sampai tercetuslah sebuah omongan yang sepertinya mengutukku sampai hari ini. Saat itu aku spontan bilang, “Alah, majalah kayak gini aja lho, nanti kalau aku ada di MANDAGI, aku yang jadi pimrednya. Lebih bagus majalahnya.” *Swerr waktu itu aku bilang gitu* tujuannya sih saat itu buat menghibur diri aja, biar aku ada semangat masuk ke sana. Meski terlihat ambisius dan gila jabatan, tapi, saat itu sama sekali tidak terpikir kalau aku bakal jadi pimred beneran.
Kutukan kedua yang bikin aku jungkir balik di jurnalis adalah kejadian ini. Waktu aku berkunjung ke MANDAGI bersama teman-temanku, aku melihat mading yang lebar di lobi, tapi, dia gundul. nggak ada isinya maksudnya. saat berdiri di depan mading itu aku bilang, “Nanti kalau aku masuk ke sini, mading itu bakal aku ubah jadi bagus.” Yups. Ambisius kan? Kan aku sudah bilang, hanya dengan ambisi-ambisi gila itulah aku ada semangat masuk MAN. setidaknya, ada sesuatu yang bisa bikin aku lupa kalau aku masuk MAN dengan terpaksa. Dua pernyataanku itulah yang akhirnya dikabulkan oleh Allah. Kun fayakun, jadilah aku seperti yang aku ucapkan. *Aku menyebut ini kutukan :D*
MAN Gondanglegi, Agustus 2013
Ganti mading pertama di MANDAGI. ini gegara temenku Choy yang sok-sokan mengkritisi mading –yang saat itu koma- ke pimred yang namanya Mas Tain. Jadi, si Choy datang ke Mas Tain dan berkata “Mas, madinge kok nggak ganti-ganti seh?” tanpa komentar, Mas Tain langsung ngasih Choy uang dan bilang “Ini uangnya, ganti madingnya. 50 ribu cukup kan?” *GUBRAKKK* sialnya, Choy ngajakin Nana dan lebih sial lagi karena Nana akhirnya narik aku juga. Did you know, alasan mereka berdua buat ngerayu aku begini, “Aduh, Bi. Kamu lak mantan pimred a... kamu lebih tahu madingnya mau dijadiin apa.” Dengan wajah kebingungan wa melas gitu deh. Walhasil, atas nama rasa belas kasih mantan wartawan sekolah, aku bantu mereka. Tapi siapa sangka justru mereka mendorongku ke jurang maut.
Choy dan Nana, temanku yang pintar ngomong sejak saat itu, mereka ngasih tahu Mas Tain kalau aku pimred di MASANEGA pada zaman dahulu kala. Hal ini berakibat fatal saat ada pemilihan ketua mading dan pemilihan-pemilihan berikutnya.
MAN Gondanglegi *Tanggalnya lupa* :D
Pertemuan pertama ekstra jurnalistik cukup membuat aku tercengang. Iyalah, yang hadir setengah mushalla penuh. Seperti biasa, pertemuan pertama pastilah ada sambutan dari pembina.
Pembinanya tak lain tak bukan adalah wali kelasku XH, (baca: Pak Hend). Saat di kelas Yukha bilang “Ini lho, Bi pembinanya jurnalis,” (Part I) aku langsung merespon “Oh ya?” langsung ada sambungan dari dalam hatiku “Gimana caranya aku bisa mudah jadi pimred kalau pembinanya jutek gini? Pasti juga sulit bernegosiasi dan nyari jalan nepotisme,” Hehe :D Kurang lebih kayak gitu lah yang aku pikirkan. Tapi, siapa sangka justru menjadi akhir yang memilukan ketika aku bisa berhubungan baik dengan beliau. *penyesalan selalu datang terlambat* tapi, aku jadi pimred bukan karena nepotisme lho ya…
Ini lho yang namanya Pak Hend :) 

Singkat cerita, di pertemuan pertama itu Pak Hend bilang, “Saya harapkan dari semua yang ada di sini memiliki buku harian di rumah. Karena menulis itu hanya butuh kebiasaan. Masalah teori menulis, mungkin nanti saya sampaikan satu pertemuan selesai.” *Iyalah satu pertemuan selesai, kan pertemuan-pertemuan selanjutnya pembinanya izin nggak masuk :D* beliau juga menyampaikan “Nanti, saya juga berharap dari anggota ekstra jurnalis ada yang aktif ikut lomba menulis, blablabl…” kalimat demi kalimat aku perhatikan dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. :D Walhasil, di kemudian hari aku melakukan juga apa yang beliau sampaikan. *bagian aku ceritakan kalau kapan-kapan kalau masih ada umur yaaa ;)
MAN Gondanglegi, 9 Oktober 2013
Sore itu pemilihan ketua mading di pertemuan kedua ekstrakurikuler jurnalistik. Tempatnya di kelas XII Bahasa. Aku dicalonkan oleh Mas Tain bersama dua kandidat lain. Aneh juga ketika aku berfikir kenapa harus kelas X yang dicalonkan ketua? Proses pemilihan secara voting itu berjalan lancar dan aman. Aku dan kandidat dari kelas XI mendapatkan suara sama.
Sampai akhirnya Choy dan Nana datang *Lagi-lagi mereka jadi biangnya* saat akan segera diputuskan siapa ketuanya. Malangnya nasibku ketika mereka berdua langsung menjatuhkan suaranya kepadaku. Diputuskanlah Azizatul Qolbi menjadi ketua mading periode 2014 berdasarkan voting dengan memperoleh 16 suara. *SIALLL*
Saat itu sempet syok juga, hellow, ini mading koma sudah bertahun-tahun dan aku harus menghidupkannya kembali. Lebih parah lagi Karena kau harus buat proposal dan LPJ khusus pembaharuan mading. Omegattt! *satu pernyataan jadi kenyataan*
Dan tahukan Kalian, setelah pertemuan kedua itu, Choy dan Nana tak lagi tampak batang hidungnya di jurnalistik. Alasannya karena sibuk OSIS. Sampai akhirnya mereka menyatakan KELUAR DARI JURNALISTIK sebelum sempat merasakan penindasanku! Tinggallah aku seorang diri meratapi nasib *kasarnya sih, aku diakali mereka*
Menghidupkan mading itu tak semudah membalikkan cover majalah :D :D aku harus mencari dana sendiri, membuat proposal sendiri, LPJ sendiri, dan seniorku nggak ada yang bisa ngajarin aku bikin proposal secara benar *Ups keceplosan* ya, bisa dibilang aku kembali melangkah dari nol. Ditambah dengan ketiadaan tenaga yang minim untuk ganti mading.
Selama aku jadi ketua mading, sering aku hanya mengganti mading itu berdua dengan Yukha (temenku ini berjasa banyak membantu dan mendampingiku selama aku menjadi wartawan sekolah), bahkan aku pernah ganti mading sendiri! Nggak perlu bagus sih, *soalnya aku nggak begitu kreatif bikin properti, hiasan ini itu* yang penting madingnya ganti wajah, dan orang-orang bisa membaca. Beres!
Temenku Yukha dan penampakan mading. :D

Senengnya kalau pas banyak teman yang udah pada kepo tanya “Kapan madingnya ganti?” Terus, kalau kita ganti mading, Pak Ady yang paling sering menghampiri kita dan dengan pertanyaan “Temanya apa sekarang?” Seninnya, kalau sudah selesai dipasang, aku pernah (eh, pernah apa sering ya :D) lihat Pak Ady baca madingnya. Itu tuh sesuatu banget lho, beneran! Mading kita selalu bagus kan, Pak? Waks :D (Waktu itu aku masih nggak ngeh kalau Pak Ady juga pimred waktu SMA) :D Kalo pembinaku, kira-kira pernah baca mading nggak ya? :D
Setiap mading yang kita kerjakan dengan ala kadarnya itu dibaca orang, di situlah letak kepuasan kita. Meski kita tahu mading kita nggak banyak memberikan tambahan ilmu, tapi, setidaknya masih ada yang mau mengapresiasi kerja keras kita. FYI: Nggak mudah dan nggak murah lho mengganti mading segede itu.
Mading itu akhirnya juga menjadi saksi dihari ulang tahunku yang ke – 17. Teman-teman jurnalis secara gerilya, menempelkan ucapan ‘Sanah Hilwa’ dan wish-nya mereka buat aku di mading yang ada di lobi itu. Pas pagi, udah banyak anak di sana dan mereka pada ngucapin ‘Happy Birthday’ aku pikir dari mana mereka tahu? Eh ternyata, tulisan segede gitu pastinya bikin orang penasaran lah. Walaupun agak malu-maluin tapi makasih ya, Teman-teman. Kalian luar biasah berani menempel itu tanpa berfikir akibat dan komentar orang. *Kalian pikir ini mading pribadi Kalian apa?* :D :D :D
Gazebo, 16 Desember 2013
Siang itu bisa dikatakan tangga kedua yang harus aku naiki di jurnalis setelah pemilihan ketua mading. Dengan tiba-tiba setelah mengikuti tes menulis dan interview kakak-kakak senior di jurnalis mengumpulkan para nama terpilih yang akan menjadi redaktur OASE 2014 dan memberitahukan jabatan mereka. Dibacakanlah nama kita satu persatu beserta jabatan yang akan kita emban.
“Pemimpin Redaksi, Fitriyah Mahdali, blablabla”
(Dari kanan) pimred, redpel, editor, bendahara. aku paling muda dan palingimut ya ?? :D
“Redaktur Pelaksana, Azizatul Qolbi.” Mataku langsung terbelalak seketika itu. “What? Redaktur pelaksana? Nggak salah nih?” (berkata dalam hati) *aku dulu masih belum alay pemirsa* Pas dengar namaku disebut sebagai redaktur pelaksana rasanya langsung pengen kabur aja. Meski aku nggak tahu job description yang sebenarnya dari redaktur pelaksana, tapi, aku paham kalau tugasnya redpel itu semacam sie. Giat OP gitu lah kalau di pramuka, dia bisa jadi yang terjun ke lapangan, menjadi wakil pimredlah gampangannya. Karena di sini nggak ada wakil pemimpin redaksi.
Setelah pengumuman itu, dua hari selanjutnya kita sertijab, hangout, makan-makan, dan berkunjung ke Radar Malang. Sekali lagi, diusiaku yang masih muda di jurnalis MANDAGI, aku harus ditimpa kesialan. Iyalah sial, saat di Radar Malang, seorang wartawan bernama Kholid Amrullah langsung bilang dihadapan audiens “… Sebenarnya saya ini temannya Qolbi. blablabla”sambil nunjuk daku. Semua mata langsung tertuju padaku. Oh nooo! Gara-gara ucapannya itu, aku diberondong pertanyaan sama rekan-rekan saat sampai di madrasah.
*Cerita singkatnya* Pak Kholid itu kenal aku sejak MTs saat ngisi diklat jurnalis di sana. Waktu itu dia baca cerpenku yang ada di majalah dan langsung bilang “Mana yang bikin cerpen ini? Cerpennya bagus. Hidup!” begitulah komentarnya. Jadilah kita kenal dan sering juga komen cerpen yang aku posting di FB.
Terus aku juga pernah ikut komunitas menulis, Malang Menulis namanya yang dirintisnya bersama para penulis Kota Malang. Karena ternyata aku anggota termuda (waktu itu masih MTs dan masih pendiam, gampang minder) akhirnya aku nggak pernah lagi hadir. :D niatnya mau kembali lagi pas Aliyah. Eh sampai lulus nggak kembali juga. :D Tapi, dikemudian hari aku diuntungkan dengan perkenalan itu. :D
Pas kunjungan ke Radar Malang :)

Mushalla, 8 Januari 2014
Pertemuan pertama redaktur yang baru dilantik bersama pembina dilangsungkan. Waktu itu aku masih belum akrab sama Mbak Pimred, temenku hanya Yukha. Nggak ada kalimat dari pembinaku yang bisa aku tangkap sore itu. Soalnya aku nggak fokus dan bingung harus ngapain, gimana caranya menjalin hubungan baik dengan Mbak Pimred, yang sama sekali tak aku kenal? Pokoknya pertemuan pertama itu masih belum menghasilkan hasil bagi diriku :D
Waktu berjalan, tanpa menunggu waktu lama aku bisa berhubungan baik dengan pimredku. Aku memanggilnya Syarifah. Pada akhirnya, tugas redpel yang aku emban adalah menjadi penyambung lidah pimred ke pembina, pun sebaliknya pembina ke pimred. *ini karena aku satu-satunya pengurus harian yang bisa bawa hp. Yang lain anak pondok*
Suka duka menjadi redpel sekaligus merangkap jabatan sebagai ketua mading plus pengurus di Pramuka, Laskar Anak, anggota mading 3D, dan saat itu aku masih di XH membuatku harus ekstra jungkir balik. Keseringan sih izin di Pramuka. Karena hari rapatnya sama. Dari menjadi redpel itulah aku belajar organisasi jurnalis yang sebenarnya. Mulai dari rubrikasi, menyusun agenda kegiatan, mengedit, mendesain, nyari percetakan, distribusi, nagih tugas ke teman-teman, semua kita lakukan sendiri. “Kalian tatap muka dengan saya hanya 3 kali selama 1 semester. Awal menentukan tema majalah, di tengah saat proses editing, dan di akhir kalau majalah sudah selesai di desain.” Begitulah yang sering disampaikan Pak Hend. Pertanda kalau kita harus mandiri guys!
 Momen berharga bagi pengurus harian itu adalah saat nego harga dan menyerahkan desain ke percetakan. Saat itulah kita bisa refreshing, jalan-jalan, makan-makan gratis, setelah 4 bulan bergulat dengan berita, profil, artikel, serba-serbi, hunting foto, ngasih semangat desainer biar cepet selesai. Terlebih editornya hanya 1 orang, jadi kalau udah mepet deadline kita bagi tugas editing.
Suatu ketika, saat menyelesaikan majalah edisi 10, kita harus bolak-balik MAN – UIN Press buat ngontrol, revisi, karena desain diserahkan pihak percetakan. Pada dasarnya pengumpulan artikel udah molor dari deadline, dan itu waktunya mepet banget sama waktu terbit. Kebetulan juga pas UAS. Pernah pas hujan deres banget dan kita sampai MAN jam setengah 8. Itu sesuatu banget lho! Udah gitu angkot kuning kalau malam mahal lagi. Belajar dari pengalaman itu, akhirnya kita nekat bawa sepeda motor *ini gerilya* aku yang baru boleh bawa sepeda ke skolah langsung mencoba adrenalin ke UIN Press.
Aku pergi sama Syarifah. *Nggak tahu deh gimana takutnya dia waktu aku bonceng* di Gadang, kita kejenglong sampai mau jatuh, terus mau nyrempet orang juga, kehujanan, ditambah kesasar sampai jauh. Berkat kenekatan itulah aku berani bersepeda jauh dan tahu jalan di Kota Malang. Jadi ketagihan sampai sekarang. :D *Dalam hal ini aku berterima kasih pada sepeda motor tuaku. Meski ia keluaran 98-an tapi dia berjasa banget buat aku, (Mulai melankolis)* Beberapa hari kemudian, aku dan Syarifah jatuh sakit karena kehujanan dan keanginan, :D
Dari berbagai kejadian itulah, akhirnya aku nggak ada pikiran mau jadi pimred, meski sudah ada lampu hijau. Kalaupun saat itu aku bukan redpel, mungkin aku juga ogah-ogahan mengerjakan tugas majalah. Bikin berita, profil, nulis artikel, liputan, itu nggak semudah yang Kalian bayangkan. Apalagi kalau tugas sekolah numpuk, udah deh pengen say good bye aja ke jurnalis. Di jurnalis juga pada kenyataannya nggak se-enak yang dibayangkan orang. Tapi, berhubung aku redpel, jadi nggak bisa kabur L kalau aku kabur, apa kata dunia?
*Udah capek ngetik*

Ini masih separuh perjalananku di jurnalis. Ceritaku lebih menarik ketika aku sendiri yang menjabat jadi pimred. What? Jadi pimred? Iyya. Pernyataan pertamaku dikabulkan juga oleh Yang Maha Kuasa. Kasusnya sama dengan saat MTs. Aku dipilih Karena nggak ada kandidat lain. Hahaha :D benarkah? Masih ingin tahu? Nantikan di episode berikutnya! J Thank you for reading J

Comments

  1. Nostalgia kalo baca cerpenmu bi..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ceileee yang punya banyak kenangan juga di jurnalis.. share juga dong :D

      Delete
  2. πŸ˜‚ good luck dek, lanjutkan!!!
    πŸ‘πŸ‘πŸ‘

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Resensi Novel “Hujan” Karangan Tere Liye

Perjuangan Tanpa Batas Sang Jenderal (Review Film Jenderal Soedirman)

Kirab Haul Mbah Sogol: Momentum Memutar Ulang Sejarah