Lembar-lembar Terakhir (Part 1)
MAN Gondanglegi, 1
April 2016
Setiap sesuatu
yang dimulai, pasti akan menemui akhir, dan aku rasa. Hari ini buku-buku
ceritaku mulai memasuki halaman-halaman terakhir. Pagi ini, bersama
teman-temanku kelas XII, dan beberapa guruku, kami mengenang kebersamaan kami
selama bersekolah di MAN Gondanglegi. Menyuarakan kesan masing-masing, dan
terisak mengenang perjalanan dan kebersamaan yang begitu panjang.
Sempat terkejut
saat Pak Ady mengatakan bahwa beliau masih ingat awal perjumpaannya denganku
dulu, waktu itu MOS, dan harus dapat tanda tangan dari guru. Jadilah Pak Ady
sebagai sasaranku. Bermodalkan SKSD, akhirnya aku dapat tanda tangannya. “Tapi,
waktu itu Qolbi masih belum cerewet,” iya, benar sekali. Waktu itu saya masih
kepompong yang belum berani mengepakkan sayap menjadi kupu-kupu.
Tanpa terasa, aku
sudah berada di ujung perjalanan, dan sebentar lagi aku dan teman-teman akan
melewati persimpangan jalan yang berbeda. Sebelum semua itu berakhir, aku ingin
mengenang awal perjalananku hingga aku sampai di titik ini. Membuka kembali
memori yang tersimpan rapi, dan menuliskannya dalam baris-baris kalimat
sederhana.
MAN Gondanglegi,
28 Desember 2012
“Sekarang aku di sini. Aku berpijak. Memandang dengan penuh tatapan
hati, mencari makna dan menelusuri arti. Tanah ini, seolah bergumam selamat
datang padaku. Gedung berwarna kuning kecoklatan yang berdiri kokoh di sini
menatapku tajam, seolah berbicara padaku “Temani aku berdiri di sini.” Namun,
pepohonan yang tumbuh rindang di petakan taman, bersikap terkejut menyambut
kunjungan keduaku kali ini. Mereka enggan menyapa, menggoyangkan sedikit
tangkainya saja mereka malu-malu. Mungkin, ucapan selamat datang untukku adalah
udara panas yang telah mereka rencanakan.”
Kalimat di atas aku tulis tepat pada saat aku berkunjung ke MAN
Gondanglegi untuk yang kedua kalinya. Bersama teman-temanku MTs. Ya, kami
sengaja berkunjung ke sana hanya untuk main-main. Dari kami ber-delapan saat
itu, yang mendaftar hanya 3, dan itu pun karena terpaksa. Aku diantaranya.
Kedatanganku siang itu memang menimbulkan kesan negatif tentang sekolah ini.
Airnya kotor, udaranya panas, gersang, mungkin memang sudah mindsetku
tidak suka dengan sekolah itu. Tapi, mau tidak mau, aku harus bersekolah di
sana.
MANDAGI adalah pilihan kedua orangtuaku, dan untuk membuatku semangat
sekolah, ibuku bilang “Bi, Kamu lulusan MTs Negeri, kelas Bahasa lagi. Kalau
Kamu sekolah di MAN, pasti Kamu bisa menjadi siswa yang unggul. Tapi, kalau
Kamu sekolah di Kota Malang, belum tentu Kamu bisa bersaing dengan
teman-temanmu.” Diakui atau tidak, saat itu nama MAN Gondanglegi masih belum
melambung seperti sekarang ini. Rata-rata, temanku di MTs mendaftar di MAN
hanya sebagai cadangan.
Pengumuman penempatan kelas sudah ditempel pagi itu. Kami siswa baru
berebut melihat nama kami masing-masing. Tak terkecuali aku. Saat menemukan
namaku berada di kelas paling akhir, aku terkejut. “Bagaimana aku bisa berada
di kelas bawah?” pikirku kala itu. Aku mulai dongkol, terlebih aku pisah kelas
dengan karibku, Nana. Saat aku masuk kelas XH yang kecil dan berada di sebelah
ruang guru –saat ini jadi ruang TU- barulah aku menyadari bahwa teman sekelasku
hanya 26 siswa. Lebih terkejut lagi karena di sana ada Rosi, Dewi, Syaiful,
Okita, (mereka memang sudah terkenal golongan superior saat di MTs, jadi
maklumlah kalau saat itu aku agak ketar-ketir). Di sisi lain, aku senang bisa
satu kelas dengan Ilul (Sejak MTs, aku dan Nana berharap di MAN bisa sekelas
dengan dia, karena anak itu terkenal jail dan kocak. Dulu waktu kelas 9, dia
sering menyembunyikan sepatu temannya di kelasku. Tapi, cukup sekali itu aja
aku sekelas sama Ilul. Udah kapok!! :D).
Berada di kelas dengan jumlah minoritas bukan hal baru bagiku. Karena
saat di kelas Bahasa MTs dulu, satu rombel hanya 30 anak, dengan 5 lelaki. Yang
menjadi pertanyaanku, “Kenapa aku bisa masuk kelas XH?” dan sampai saat ini
pertanyaan itu belum terjawab. Konon katanya, kelas ini adalah kelas olimpiade,
dan tempatnya anak-anak superior (kecerdasannya), tapi, jelas aku bukan bagian
dari mereka. IQ ku biasa saja, dan aku malas belajar (hehehe).
Hari pertama seperti biasa perkenalan, tak ada yang istimewa dengan
teman-temanku. Karena 13 diantaranya adalah lulusan MTs yang sama denganku.
Justru yang istimewa adalah saat perkenalan wali kelas.
Pagi itu, seorang bapak guru dengan seragam PNSnya dan tas yang
menggantung di lengan kanannya, plus sepatu hitam mengkilat dan rambut yang
klemis tersisir rapi masuk kelas dengan penuh wibawa (tanpa senyum). Sayangnya,
kesan pertamaku seperti ini “Nih Bapak kayaknya jutek deh, jangan-jangan
orangnya kiler lagi,” *Maafkan saya, Bapak wali kelasku* dan setelah
berkenalan, barulah aku tahu namanya Teguh Hendri Ariyanto, sebut saja Pak
Hend. Sambil berbisik, teman sebangkuku (Yukha) berkata, “Ini lho, Bi
pembinanya jurnalis.” What??? Aku hanya bisa bilang “oohhhh” panjang. *Bagian
ini aku ceritakan di episode selanjutnya ya*
Usai memperkenalkan diri, Pak Hend bercerita tentang ‘Seberapa banyak
manusia memfungsikan otak yang dimilikinya.’ “Ilmuwan seperti Albert Einsten
itu saja hanya menggunakan otaknya sebanyak 3%, bayangkan jika kita bisa
menggunakan otak kita 10%, maka kita bisa menjadi manusia jenius.” Wuush,
begitulah kalimat yang masih bisa ku ingat. Intinya, wali kelas yang baik ini
menyampaikan preambule dan memberikan wejangan agar kita tidak malas belajar,
malas berusaha, malas mencoba, terlebih kita adalah generasi kelas (percobaan)
olimpaide. “Semoga Kelas ini tidak menjadi kelas trial and error” begitu
juga katanya. Belakangan, barulah aku tahu kalau Pak Hend punya banyak cerita
yang mengispirasi, dan setiap pelajaran selalu menyisihkan waktu lebih banyak
untuk bercerita. Cerita-cerita itulah yang akhirnya aku ingat, bukan
pelajarannya. *Gagal fokus* :D Ampuni Bibi, Pak !!!
Di sepuluh H, aku menemukan ‘keistimewaan’ yang mungkin tak akan aku
dapatkan di kelas lain. Seperti pelajaran Kimia 5 jam, Biologi 6 jam, Matematika
6 jam, Fisika 6 jam, Geografi 4 jam, pelajaran keagamaan masing-masing 1 jam,
PKN 1 jam, sosiologi 1 jam, nggak ada pelajaran sejarah dan seni, SKU 1 jam
(itu aja nggak wajib setor hafalan), dan yang bikin terharu adalah, kita
mendapatkan buku panduan super tebal dan modul khusus untuk pelajaran olimpiade.
Setiap hari, aku dipaksa menelan butiran-butiran materi eksak dan
hitungan yang sudah tak ku sukai semenjak MI. Mendapat nilai dibawah 50 rasanya
sudah biasa, saat UAS, mengerjakan 3 soal matematika saja rasanya sudah
pencapaian besar. Kalau UAS kimia dan Fisika, tinggal diarsir tanpa berfikir
(Maklumlah, soal UAS kita berbeda dengan kelas lain, maklum lagi karena Bibi
gamau belajar lebih keras, habisnya kalau belajar suka pusing, hehe). Beruntung
Allah masih memberiku kesempatan mendapat rangking 5 dan 7. Terima kasih Bapak
Ibu guruku XH yang sudah bermurah hati memberikan nilai 8 di raportku.
Pamer buku nih, salah satu buku favoritnya anak XH :D :D |
Tapi, siapa sangka
saat di XH inilah kepompong kecil ini mulai bermetamorfosis. Entah karena alasan
apa aku dipilih mengikuti English Olympiad di UM, IKUT-IKUTAN LKTI :D, pernah
juga terpilih masuk kelompok KSM Geografi (walapun akhirnya nggak jadi :D), dan
dari sanalah aku mulai membuka diri, berkomunikasi dengan banyak orang, dan
akhirnya aku bisa dikenal banyak orang. Karena saat di MTs dulu, aku siswa yang
cenderung ‘Pendiam’ sekalipun aktivis sekolah. Jadi, jangan kaget kalau di MTs
hanya pembina jurnalis dan guru Bahasa Indonesia saja yang mengenaliku. Wali
kelasku saja tidak mengenalku *Curhat sedikit*.
Pengalaman lain yang tak kalah seru adalah
dipilihnya aku menjadi finalis Ning MANDAGI mewakili XH. Secara wajah sih
lumayan lah, tapi secara postur tubuh? aHahah :D demi teman-teman sekelas, aku
merelakan diri daftar menjadi Ning, mengikuti tes, interview, dan FASHION SHOW
di catwalk. Hal yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya. Masih terasa
bagaimana malunya diriku saat itu. Apa aku menang? Jelas tidak lah. Kan aku
sudah bilang aku MANTAN anak pendiam, jadi masih malu-malu. Tidak punya kepercayaan
diri.
Waktu fashion show Gus & Ning *Jelek bgt yaaa :( |
Pahit manisnya
kenangan di XH patut aku syukuri, sampai sekarang, jalinan kekeluargaan kita
masih erat lho. Sebagian besar dari teman-temanku XH akhirnya menjadi bintang
di kelas mereka masing-masing. Mereka menuai prestasi mereka seiring berjalannya
waktu. Bagaimana denganku? Aku masih menjadi siswa yang ‘biasa-biasa’ saja
sampai saat ini. Bisa dibilang, ‘produk gagal’.
Reuni alumni XH :) |
*Nantikan di
episode selanjutnya. J thank
you for reading
Comments
Post a Comment