Perjodohan, Masihkah Relevan? Hati Suhita Menjawab
Banyak sisi yang
dapat dijadikan bahan kajian dalam novel Hati Suhita karya Khilma Anis ini. Meski
berlatar belakang kehidupan darah biru pesantren, namun penulis hanya
menceritakan sebagian kecil saja kehidupan pesantren. Bahkan bisa dikatakan
bahwa cerita dalam hanya
berfokus pada masalah
tokoh Gus Biru dan Suhita.
Dari nama kedua tokoh
saja sudah menarik. Nama Abu Raihan Al Birruni harus bersanding dengan nama
Alina Suhita. Dua nama tokoh yang sama-sama memiliki kegigihan namun berlatar
belakang budaya yang berbeda, arab dan jawa. Ketika dua insan ini disatukan,
tak urung perang batin pun terjadi.
Alina Suhita atau
Alin merupakan anak dari Kyai Jabar yang sejak MTs telah "diwekas"
oleh Kyai Hanan -orang
tua Gus Biru- untuk
dijadikan mantu. Bukan hanya telah
dipersunting sejak dini, Alin tumbuh dalam kontrol keluarga Kyai Hanan. Ia
harus kuliah, mondok sesuai keinginan mereka. Maka tak heran, ketika ia menikah
dengan Gus Biru, Alin sudah
bisa memegang kendali pesantren Al
Anwar dan menjadi kepala sekolah SMP meski dirinya
tidak kuliah hingga lulus.
Bertolak belakang
dengan itu, Gus Birru justru tumbuh sebagai seseorang yang berjiwa liberal. Ia
dilepas untuk kuliah di Yogyakarta dan menjadi aktivis pergerakan. Dirinya
tidak pernah berkecimpung dalam
urusan pesantren. Ia justru mendirikan sebuah kafe dan penerbitan karena
minatnya terhadap
sastra dan organisasi yang tinggi.
Diceritakan, bahwa bacaan yang dibaca Gus
Biru adalah karangan filsuf
barat seperti Bertrand Russell, sedangkan
Suhita lebih menyukai buku-buku filsuf Jawa seperti Ronggowarsito.
Dalam usia 7 purnama
pernikahan mereka, penderitaan lebih tergambar dari sudut pandang Suhita. Tidak
pernah ada interaksi di antara keduanya. Suhita yang memiliki prinsip mikul duwur mendem jero menerima
perjodohan mereka dengan lapang dada. Ia mulai belajar mencintai Gus Biru sejak
awal. Namun, Gus biru justru tak acuh dan merasa terpaksa menerima perjodohan
itu.
Pertanyaan yang
muncul di benak saya adalah "Mengapa Gus Biru mau menerima perjodohan tersebut?"
Bisa Anda bayangkan, ketika seorang
lelaki gagah berambut gondrong,
ketika di kampus berorasi panjang lebar dengan mengumandangkan ayat ilahi, menuntut
hak asasi di sana-sini, membiarkan jiwa liberalnya keluar, dan mendobrak segala
kemapanan ritme khas keluarga
pesantren, namun hak untuk
menentukan pasangan hidup justru terampas dari dalam dirinya.
Di sinilah jiwa khas
ala pesantren itu muncul. Nriman dan tawadlu adalah kunci dari penerimaan Gus Biru
meskipun masih terpaksa pada awalnya.
Dia tidak akan menentang keputusan orang
tuanya, terlebih Suhita adalah perempuan dengan rupa yang ayu seperti menjangan
ketawan dan pemikiran yang verdas, meski agak konservatif. Perang
batin yg dirasakan Gus
Biru adalah ketika dia masih
memikirkan Ratna Rengganis, kekasih idealnya, namun yang dihadapinya adalah
Suhita.
Sebagai
wanita jawa dan berlatar belakang hafidzah, suhita diwejangi untuk tapa. Wanita iku sejatine wani
tapa. Berani bertapa, tirakat. Konsep ini merupakan khas santri
yang bisa meredam nafsu amarahnya. Pengabdian
suhita dilandasi dengan ikhlas, dia memiliki jimat berupa Alqurannya yang di kemudian
hari menjadi senjata yang bisa menaklukkan hati Gus Biru.
Kembali kepada pertanyaan
apakah perjodohan masih relevan, jawaban saya
adalah masih. Tokoh ini tentu berlatar belakang waktu era sekarang. Dilihat
dari pemilihan profesi Gus
Biru dan nuansa kafe yang
dibuat olehnya. Ditambah
dengan lokasi-lokasi yg dijadikan
setting tambahan
seperti Loe
Min Ttu dan kedai Oen yang merupakan tempat hits akhir-akhir ini.
Jika ada yang berkata
bahwa ini sudah bukan zaman Siti Nurbaya, maka saya justru
berhadapan dengan kenyataan bahwa di dalam tradisi pesantren, perjodohan itu
masih berlangsung. Bukan untuk maksud buruk, namun untuk memilihkan pasangan
hidup yang sekufu, yang sejalan. Alasan lain adalah karena wanita, yang berhak
menentukan pernikahannya adalah kedua orang tua. Tradisi perjodohan juga sangat akrab dijumpai pada keluarga ndalem, atau keturunan para kyai untuk memilih
menantu yang dapat menjalankan perannya di pesantren. Hal itu pula yang
tergambar dalam novel Hati Suhita. Namun, bukan berarti kultur di pesantren
membentuk jiwa perempuan yang tidak berani melawan lho, ya. Justru dari sana
perempuan dapat mengerti batasan dan tempat di mana dirinya bisa berkiprah. Bagi
Kalian yang sedang menempuh pendidikan di pesantren dan tidak sempat mengenyam
pendidikan formal, Suhita bisa menjadi figur yang baik. Ngajio ae seng istiqomah, urip bakal digampangno. Istiqomah lan tirakate ojo lali! Kurang lebih
seperti itu pesan moral dari Suhita.
Terlepas dari konteks perjodohan, bagi saya novel ini
adalah novel yang kaya akan filsafat Jawa. Adanya glosarium di halaman belakang
bisa menambah kosakata kejawen saya. Hal
ini tidak lepas dari referensi bacaan Khilma Anis yang juga ia cantumkan di bagian
belakang. Meski saya merasa kecewa karena perang batin Suhita hanya berlangsung
7 bulan, namun bagi saya novel ini tetap menjadi bacaan yang recommended.
Ke istiqomhan meluluhkan hati
ReplyDelete#heuheu