Alinkah Alea?

“Alin tunggu!” Mey berlari tergopoh menyusulku. “Aku bareng pulang ya!” ucapnya ketika sampai di sampingku. Aku mengangguk dan terus berjalan.
“Eh, Lin. Aku mau curhat nih ke kamu.” kata Mey dengan wajah kusut.
“Curhat apa?”
“Ferdi punya seret admirer!” langkahku langsung terhenti. Permen yang kumakan terasa berhenti di tekakku.
“Kenapa berhenti?” tanya Mey.
“Tidak apa-apa. Ayo cepetan pulang, keburu hujan nih!” ajakku mengalihkan pembicaraan.
“Pokoknya aku penasaran sama cewek yang naksir Ferdi. Semua orang di kampus kan udah tahu kalau Ferdi itu pacar aku. Berani banget dia main sambar begitu saja.”
“Emang Kalian sudah pacaran?”
“Ya… Ya… belum. Tapi, kan kita udah punya komitmen. Tinggal tunggu waktunya dia nembak aku.” Mey terus mengomel sesampainya di kos. Kupingku sampai dibuat panas olehnya. Sudah dua jam yang lalu dia memulai cerita ini, dan belum selesai sampai sekarang.
“Udahlah, Mey. Yang penting Ferdinya nggak kepincut sama tuh cewek kan? Ngapain diributin sih?” aku mulai geram mendengar keluhan Mey.
Mey ngambek dan keluar kos. Entah kemana perginya dia setelah itu. Aku mendengus pelan dan tersenyum kecut, “Berhati-hatilah dengan cinta, Mey.”
***
Seorang wanita cantik diam-diam menaruh setangkai bunga di atas mobil sedan milik Ferdi. Dia mengendap-endap sambil menoleh kanan-kiri. Beberapa hari yang lalu, dia mengirim surat tanpa nama. Seminggu lalu, di mobil yang sama dia menaruh blackforest kesukaan lelaki yang dikasihinya.
“Sudah selesai?”
“Sudah beres kok, meskipun gue nggak habis fikir saja lelaki dikasih bunga. Kenapa nggak Loe kasih syal, topi, atau apalah gitu yang biasa dibeli cowok.
“Gue mau mencintai dia dengan cara yang lain.”
 “Sekarang gue tanya sama Loe ya, kenapa Kamu tetep suka sama Ferdi sedangkan Kamu sendiri tahu Ferdi itu pacarnya Mey.” Tanya seorang wanita cantik yang tengah duduk di cafe kampus.
“Siapa bilang mereka pacaran? Kita sama-sama tidak tahu Ferdi akan menikah dengan siapa suatu saat nanti. Selama hal itu belum terjadi, masih ada kemungkinan bagiku untuk dicintainya.”
Klien cantik itu kemudian memberinya kotak berwarna coklat berpita untuk ditaruh di mobil ferdi, seperti biasa. Kurir itu sempat mengintipnya. Dilihatnya sebuah boneka usang dan pistol mainan yang sudah tidak bisa dimainkan lagi. Tanpa bertanya mengapa benda itu, dia segera meninggalkan benda itu sebelum ada yang melihat. Tapi, dia terlambat, di sisi lain yang tidak diketahuinya, seorang gadis tengah memerhatikan gerak-geriknya.
***
Mey pulang dengan wajah kusut dan basah kuyup. Aku yakin dia melupakan jas hujannya lagi di rumah. “Kehujanan lagi, Mey?” tanyaku memastikan.
Bukannya menjawab, yang ditanya justru menenggelamkan diri dalam selimut.
“Ganti baju dulu lah, Mey. Baru tidur. Bisa masuk angin Kamu.” Mey tetap diam dan malah ku dengar isak tangis. “Kamu menangis, Mey? Kenapa?” Mey bangun dan langsung memelukku.
“Aku tahu seret admirernya Ferdi.” kata mey terseduh-seduh. Aku diam. Mey tahu? Benarkah?
“Aku tahu waktu dia menaruh box coklat di mobilnya Ferdi.” tambah Mey. Aku tetap tidak menanggapi, aku hanya mengelus rambutnya, Mey semakin tenggelam dalam pelukanku.
“Maafkan aku, Mey,” ucapku lirih.
***
“Kamu akan memberi apalagi pada Ferdi hari ini?”kurir dan klien memang selalu mengadakan pertemuan di cafe kampus seusai menyelesaikan kuliah. Ferdi yang anak teknik tentu akan pulang lebih sore dari mereka.
“Ini.” Kliennya menyodorkan handuk berwarna putih tulang yang berbordir nama Ferdi. Lagi-lagi, sang kurir harus menyimpan rasa penasaran dibalik setiap benda yang diberikan kliennya pada ferdi.
“Handuk ini aku yang buat. Dulu, aku belajar memintal dan membordir. Aku belajar untuk ferdi. Handuk ini sempat dipakai ferdi, tapi, kemudian tertinggal di rumahku ketika dia bermain di rumahku untuk terakhir kali. Sebelum dia pindah ke Surabaya tanpa sepengetahuanku.”
“Lalu Kamu menyusulnya ke sini? Ke surabaya hanya untuk bertemu ferdi? Klise.”
“Tidak. Aku tidak tahu kalau dia kuliah di sini. Mungkin memang Tuhan menakdirkan kita untuk bertemu kembali. Menjelaskan sesuatu yang terus aku tanyakan padaNya siang malam.”kurir itu tersenyum mendengar penjelasan kliennya. Sekarang semuanya sudah jelas. Dia bukan seret admirer biasa.
“Semoga Ferdi bisa menepati janjinya padamu,” lalu kurir itu beranjak untuk meletakkan barang titipan kliennya.
Tak lama, kurir kembali dengan wajah sumringah. Dia berlari kecil menuju cafe tempat nongkrong mereka. Di tangannya, sebuah amplop kecil dikibarkannya sebagai tanda kemenangan. Sang klien hanya tersenyum. Sebari menduga apa yang dibawa kurir kesayangannya.
“Dia menulis surat untukmu,” teriak kurir dari kejauhan.
Senyum sang klien semakin lebar, wajahnya kemerah-merahan.
“Tidak hanya mendapatkan surat, aku juga bertemu dengannya secara langsung.” Jelas kurir sambil memberikan suratnya.
Setelah merayakan keberhasilan mereka, sang klien membuka suratnya perlahan dan membacanya kata demi kata. Senyumnya terus terukir di bibir merah mudanya. “Dia mengajakku bertemu malam ini.”
“Oh ya? Selamat! Kalau gitu, ayo kita ke salon sekarang! Kamu harus jadi bidadari cantik malam ini.” Pekik sang kurir alay. Tidak heran lah kalau dia cantik. Dia memang sering mejeng ke salon.
Sang klien yang sedang jatuh cinta mengiyakan saja ajakan sang kurir. Toh, tidak ada salahnya membumbuhi wajah lugunya dengan sedikit bedak, lipstik, atau apalah itu.
“Widya, terima kasih ya,” ucapnya pada klien yang membantunya selama ini. “Keberhasilan ini tidak akan tercapai tanpa bantuan Kamu.”
Krringgg.... kringg.... kring..... tiba-tiba ringtone hp wanita seret admirer itu berbunyi.
“Alin! Kamu dimana? Ferdi kecelakaan, aku ada di rumah sakit sekarang. Kamu ke sini, ya!” Mey menangis histeris. Meskipun hanya mendengar melalui telepon, dia tahu persis bagaimana reaksi sahabatnya yang gampang panik itu.
“Apa? Kecelakaan?”Alin menutup mulutnya yang ternganga. Dia sama terkejutnya dengan Mey.
***
“Alin! Ferdi belum sadar!” Mey langsung menghambur ke pelukanku saat aku datang.
“Kamu ngapain ke sini? Pergi Kamu, Widya! Pergi!” Mey yang menduga bahwa Widya adalah seret admirer kekasihnya langsung mencoba mengusir Widya. Aku langsung menenangkan Mey dan mencoba membujuknya untuk tenang.
“Mey. Mey. Mey! Sudahlah! Widya nggak salah dalam hal ini!” aku menengahi. “Mending Kamu ke kamar mandi dulu deh. Cuci wajah kamu dan menenangkan diri dulu sejenak. Kamu terlalu panik. Ferdi will be okay!” Mey mengangguk dan dan bergegas ke kamar mandi.
Dari balik jendela kamar UGD, aku melihat Ferdi mulai membuka matanya. “Ferdi!” aku langsung berlari masuk.
“Ferdi! Kamu sudah sadar! Syukurlah.” Ucapku sambil menggenggam tangan Ferdi yang dingin.
“Kamu ngapain ke sini, Lin?” tanya Ferdi pelan.
Aku mengambil secarik kertas pemberian ferdi tadi siang. “Aku Alea, Fer! Alea Putri Saralin. Alea putri kecilnya pangeran Ferdi!” jawabku sambil meneteskan air mata. Sungguh, aku benar-benar mendapatkan cintaku kembali sore ini. Ferdi tersenyum dan sama menangisnya. Kita sama-sama bahagia saling menemukan kembali.
“Alea, maafin aku. Aku nggak bisa ngenalin Kamu selama ini!” ucap Ferdi tertatih.
Aku hanya tersenyum dan langsung memeluknya. “Aku nggak mau kehilangan Kamu lagi pangeran! Kamu harus menepati janjimu untuk menikah denganku! Aku sudah 25 tahun sekarang!” kami sama-sama tertawa kecil dibalut dengan air mata bahagia. Ferdi berusaha mengelus rambutku yang menempel di dadanya. Tangannya yang dipasangi infus terasa kaku di kepalaku. Tak apa, aku mencintai pangeranku meskipun jika dia lumpuh dan tak bisa memelukku. Yang penting aku masih bisa memeluknya.
Saat yang bersamaan, Mey masuk ke kamar dan langsung menyambarku.
“Pengkhianat, Kamu Alin! Pengkhianat! Teman macam apa, Kamu? Bulshit!” mey mengamuk dan menamparku. “Sumpah, aku nggak nyangka Kamu akan setega ini sama aku! Padahal Kamu tahu, Ferdi itu cinta pertamaku! Aku cerita padamu tentang seret admirer itu, ternyata aku salah! Kamu adalah seret admirer itu! Aku benci Kamu, Alin! BENCI!!!” mey terus berteriak. Emosinya tak terkendalikan.
“Mey, aku bisa jelasin semuanya! Kamu harus mendengarkan penjelasanku dulu!”
“Kamu Jahat, Alin! Kamu jahat!” mey langsung ditarik widya keluar. Dari kejauhan, aku masih mendengar suara dia menghujatku. Aku mengerti perasaannya. Maafkan aku, Mey! Ferdi menatapku iba.
“Kamu pasti sudah berjuang batin selama ini untuk bisa menjumpai saat seperti sekarang? Iya kan?” aku mengangguk. “Andai aku bisa lebih peka. Kamu dan Mey pasti tidak akan bertengkar seperti ini.”
Aku tersenyum kecil sambil mengusap air mataku, “Dia perlu waktu, Ferdi. Kamu juga kamu berhak menentukan siapa yang akan Kamu pilih. Aku, Mey, atau yang lain.”  Ferdi ikut tersenyum.
“Untuk apa aku memilih yang lain, ketika Alea yang aku cari selama belasan tahun sudah aku temukan di sini?” kami pun tersenyum dan tertawa kecil sesaat kemudian.

Sidorejo, 5/2/16

Comments

Popular posts from this blog

Resensi Novel “Hujan” Karangan Tere Liye

Perjuangan Tanpa Batas Sang Jenderal (Review Film Jenderal Soedirman)

Kirab Haul Mbah Sogol: Momentum Memutar Ulang Sejarah