Kiamat dan Surga Kavlingan



“Kakak, kiamat itu apa?” tanya adikku pada suatu ketika.
Aku tersenyum sebari memandang wajahnya yang lugu. “Menurut Kamu apa, Dik?” jawabku menimpalinya pertanyaan.
Dia menggeleng. “Kata ustadzku, kiamat itu kalau sudah ada peperangan di dunia ini. Kalau sudah ada pembela orang-orang muslim dari penganut agama non islam. Kalau itu sudah terjadi, berarti kiamat sudah dekat. Sekarang itu sudah terjadi, Kak? Di Negara barat sudah ada ancaman akan ada orang-orang Kristen yang membela muslim amerika. Berarti kiatam sudah dekat ya, Kak?” aku memeluknya sebari melebarkan senyum haru. Dia masih kecil, bahkan terlalu kecil untuk mengetahui isu-isu politik di luar sana.
“Berarti Kamu sudah siap kedatangna kiamat dek?” aku memandangnya. Dia pun menangis. Aku tahu arti dari tangisannya. Dia belum siap. Pun dengan diriku.
Aku kemudian mengatakan padanya, “Tak usahlah kita memikirkan kapan kiamat datang kalau itu hanya akan menimbulkan ketakutan dalam diri kita untuk membela kebenaran. Janganlah kita menghiraukan perpecahan dan konflik yang merebak saat ini jika itu hanya membuat kita melupakan orang-orang yang malang di sekitar kita. mereka lebih butuh pertolongna.” Jawabku sambil mengelus rambutnya.
Percakapanku dengan adik bungsuku membuat pikiranku berlarian. Sebagai manusia yang konon dimintai pertanggungjawaban dari Tuhan di alam keabadian, aku masih belum siap memberikan laporan. Sebagai makhluk sosial yang memiliki kecukupan, aku belum bisa banyak membantu orang lain di sekitarku. Lantas, mana yang lebih penting sebenarnya? Kedatangan kiamat atau menjadi manusia yang bermanfaat?
Sebari berpikir, aku melangkahkan kaki pulang. Jarak dari kampus ke rumahku cukup jauh. Biasanya, aku naik angkot, namun kali ini aku ingin mengabadikan kenangan melihat siapa saja sebenarnya yang hidup berdampingan denganku.
Di pinggir jalan, aku melihat seorang pengemis yang menadahkan tangannya pada siapa saja yang lewat. Namun, dia diacuhkan. Seperti ketiadaan dalam ada. Kita tak pernah tahu mana pengemis sungguhan dan mana yang diajadikan lading penghasilan. Yang aku tahu, aku tidak pernah berpikiran untuk peka terhadap mereka, enggan peduli karena mereka lusuh, bau, dan tidak sependidikan denganku. Sungguh, betapa sombongnya diriku.
Di persimpangan selanjutnya, aku menemukan petugas kebersihan mengangkuti sampah. Ku putuskan untuk mengikuti mereka. Coba tanyakan seberapa jauh mereka berjalan sambil menarik gerobaknya yang bau? Tanyakan pada mereka apa bau itu? Bagi mereka, bau sampah adalah bau rupiah. Tak peduli seberapa jorok barang yang mereka pegang. Tak peduli seberapa berat yang mereka Tarik. Bahkan lalat-lalat enggan hinggap pada si petugas sampah. Bau mereka adalah keharuman yang tersembunyi.
“Di akhirat nanti, bau para pejabat yang korup dan manusia-manusia tak bertanggung jawab lebih anyir dan menyengat dari si petugas sampah.” Kata seseorang yang tak sengaja berpapasan denganku. Aku tersenyum, benar juga.
Jangan tanyakan tentang jijik pada mereka, karena bagi mereka, sampah-sampah basah adalah pundi-pundi rupiah. Bahkan, mereka berebut dengan kucing.
Mengisi perut keluarga mereka dengan rupiah yang dihasilkan dari sampah masih kemungkinan membawa barokah. Daripada mencuri ataupun mengemis. Peluh yang membanjiri akan menjadi saksi betapa sulitnya mencari keberkahan dalam hidup ini.
Aku lantas melanjutkan perjalananku. Di piggiran toko, aku melihat banyak pedangang kaki lima, pagi-pagi buta sudah berkelana, memanggul dagangannya, menjajakan dimana saja. Bapak-bapak tua yang sudah tidak seharusnya berebut rupiah. usia mereka sudah seharusnya hanya tinggal menikmati. Tapi, mereka masih bergelut dengan kerasnya dunia, pesaingan dengan pedangang lain, bersenggolan dengan debu, bergumul dengan kesengsaraan. Ketika hari semakin siang dan dagangan mereka masih banyak, mereka hanya tersenyum memandangi. “Mungkin besok laku,” batinnya. Begitu seterusnya, hingga dagangan itu membusuk seiring membusuknya si tua renta yang tak lagi sanggup menopang kerasnya dunia.
Dan aku bercermin, melihat remaja seusiaku yang hanya bisa mematut diri di depan cermin kemewahan, berkaca pada manusia-manusia berjaya sedang gaya kita berasal dari uang orang tua. Ketika makan di restoran, mencoba menu-menu baru yang sedang ngetrend, yang kita beli sebenarnya bukan benda-benda itu. Harga gengsi yang kita beli lebih mahal dari harga makanan yang kita masukkan ke perut. “Mengapa tidak membeli makan di warung pinggir jalan yang lebih murah saja?” suatu ketika, pertanyaan itu dilontarkan oleh guruku. Ya, kita hanya membeli gengsi. Gengsi kalau tidak pernah makan di restoran itu, gengsi kalau tidak pernah mencicipi menu itu. Gengsi kalau ini itu.
Sedang di sisi lain, aku melihat negeri ini secara luas. Tersiar kabar keburukan negeri ini di sana sini. Hamper semua stasiun tv menayangkan keterpurukan ibu pertiwi. Oh ya, apa kabar ibu pertiwi? Ibu yang tak pernah ku temui wajahnya, namun ku kenal baik namanya. Dia pasti sendang menangis. Atau dia sedang tertawa terpingkal-pingkal melihat anak-anak di negerinya mudah sekali diobrak-abrik oknum tak bertanggung jawab? Mungkin juga di sana dia sedang berpesta bersama para pembesar negeri dan enggan mengakui Indonesia sebagai negerinya? apa Indonesia sebegitu memalukan bagi mereka? Siapa yang bisa menjawab pertanyaanku ini?
“Indonesia itu indah sekali ya kak? Dengan hidup di Indonesia aku memiliki teman dengan berbagai agama, dari berbagai daerah.” Ucap adikku suatu ketika. Aku ingat betul bagaimana aku dulu pernah sesuai dengannya. Usia SD, ketika Indonesia masih aman dan damai. Ketika kita bisa belajar menari, menyanyikan lagu daerah, beribadah dengan tenang, diajari tenggang rasa, toleransi, menghrmati. Aku memuji Indonesia. tapi, aku meragukan pelajaran itu diajarkan juga oleh guru-guru sekarang. Atau mungkin, para pembuat onar itu tidak diajari hal-hal seperti itu? Entahalh. Siapa yang bisa menjawab pertanyaanku ini?
Dan para tokoh agama? yah, dimana mereka? Tidak.. tidak… mereka juga sama-sama berjuang, namun entahlah. Terlalu banyak aliran yang mereka pelajari sehingga bingung harus berpegangan pada yang mana. Yang benar justru disalahkan yang salah justru dibenarkan. Yang dulu dipuji justru dimaki, yang harusnya dimaki justru dijunjung tinggi. Ah, memang sebegitu rumitnya negeriku saat ini.
Di alam lain, bisa jadi para tokoh agama sedang berunding membuat kavling di surga yang akan mereka tempati.
Nanti, bisa jadi saat semua orang sudah mati, mereka akan membuat iklan ‘Dijual Surga Kavlingan, harga nego’ karena kita tidak mendapat jatah surga gratis dari tuhan. Kalau mereka tidak sanggup membayar, para tokoh agama akan menjawab dengan mudah “Salah sendiri dulu di dunia tidak berbuat baik.”
“Hahahah…” aku tertawa sendiri membayangkan kelucuan yang akan terjadi setelah kiamat nanti.
“Kak, nanti kalau sudah kiamat kita berhak masuk surga tidak?” adikku ini memang kerap kali mengeluarkan pertanyaan konyol.
“Tergantung perbuatan baik kita, Dik. Tergangung Tuhan juga menilai kebaikan kita bagaimana. Ibarat sekolah, tergantung Tuhan mau memberi nilai lulus atau tidak.”
“Kalau nanti Kakak tidak lulus masuk surga bagaimana?” tanyanya semakin penasaran.
“Ya, kakak akan beli surga kavlingan.” Jawabku sekenanya. Adikku yang lugu lalu memanggil mama “Ma, siapin uang ya, adik sama kakak mau beli surga kavlingan.”

Sementara kau terpingkal-pingkal hingga menangis.

(Dimuat di Radar Malang, 12 Ferbuari 2016)

Comments

Popular posts from this blog

Resensi Novel “Hujan” Karangan Tere Liye

Perjuangan Tanpa Batas Sang Jenderal (Review Film Jenderal Soedirman)

Kirab Haul Mbah Sogol: Momentum Memutar Ulang Sejarah