Bekal Kehiudupan Adalah Doa
“Bayarane tukang iso
tah gawe nguliahno arek?” perkataan
itu sering kali menusuk telingaku hingga menghujam jantungku. Aku akui, aku
memang anak seorang tukang batu dan penjual bakso kecil-kecilan. Hidup kami
serba nge-pas. Tapi, meskipun demikian, orang tuaku memiliki kesadaran yang
tinggi akan pendidikan anak semata wayangnya ini. Bagi orang tuaku, tidak
penting mereka lulusan apa, asal anaknya bisa menjadi sarjana, bahkan profesor
kalau bisa. Mereka juga memiliki pedoman bahwa “Sekolah itu tidak untuk mencari
kerja, tapi untuk mencari ilmu. Kalau ingin mencari kerja, tidak usah sekolah.
Carilah saja pekerjaan.” Hal itulah yang kemudian memacu semangatku untuk
melanjutkan pendidikan. Kalau pun ingin bekerja, rasanya percuma. Aku lulusan
aliyah yang tidak mengerti seluk-beluk dunia kerja.
Cemoohan orang yang meragukan orang tuaku untuk
menguliahkanku sering menimbulkan keraguan pula pada ibu bapakku. Namun, pada
suatu ketika, datanglah informasi bidikmisi yang disosialisasikan oleh guru BK
ku. Beliau pun akhirnya merekomendasikanku untuk mengikuti seleksi bidikmisi.
“Ndak papa, dicoba saja. Kamu itu juga berprestasi lho, Nak.” Begitu nasihat
guruku. Aku pun memantapkan hati untuk mengikuti seleksi tersebut.
Bersamaan
dengan itu, orang tuaku dinasihati oleh Nyaiku, “Jika ingin menyekolahkan anak,
jangan bekali mereka dengan uang atau harta. Tapi, dengan doa.” Begitulah
nasihatnya. Setelah mendengar nasihat itu, bapak dan ibu langsung menghapus segala keraguan
dari dalam hatinya. Mereka berdoa siang malam. Bahkan aku sering melihat mereka
bangun di tengah malam sambil menengadahkan tanggannya ke langit. Saat itulah
aku yakin, bahwa doa mereka yang diiringi pengharapan luar biasa kepada Tuhan
mendapatkan jawabannya.
Setelah pengumuman SNMPTN, begitu bersykurnya aku bisa menjadi satu
dari sekian ribu calon mahasiswa yang lolos seleksi. Namun, aku begitu terkejut
ketika aku melihat pengumuman di BK, “Lho, Bu. Ini yang tidak ada keterangan
bidikmisinya berarti tidak lolos bidikmisi?” tanyaku pada suatu pagi. Di daftar
pengumuman peserta dari sekolahku yang lolos, hanya Rosi dan Asmariah yang
diberi keterangan lolos bidikmisi.
“Iya, kalau yang tidak ada keterangan lolos bidikmisi berarti tidak
mendapatkan bidikmisi.”
“Berarti saya harus membayar uang kuliah saya saat daftar ulang
nanti?”
“Iya, tentunya. Nanti sambil verifikasi sambil bayar UKT dan
administrasi yang lain.” Jawab guruku dengan santainya. Aku begitu kalut.
Bagaimana aku bisa membayar uang kuliahku? Pikirku saat itu.
Sesampainya di rumah, aku sampaikan kabar itu kepada bapak dan ibu.
Wajah mereka langsung memucat. Hanya diam sambil berfikir. Mungkin yang kami
fikirkan sama, “Mau dibayar pakai apa ini kuliahnya?” wajah yang amat
kebingungan jelas bapakku. Sebagai kepala keluarga yang penghasilannya tidak
lebih dari satu juta per bulan, tentu saja untuk membayar UKT belum cukup.
“Kapan mbayarnya?” tanya ibu.
“Tanggal 20 Mei, Buk.” Sebenarnya aku tidak tega menjawab demikian.
Andai saja aku punya waktu setahun lagi untuk membayar UKT. Aku tahu, ibu dan
bapak tidak memiliki tabungan seribu rupiah pun. Tabungan kami selalu saja ikut
terbawa kebutuhan lain. Bagaimana kami bisa membayar uang kuliahku? Berulang
kali pertanyaan itu bersahut-sahutan di pikirna kami.
Nyatanya, tidak hanya aku saja yang kebingungan. Temanku pendaftar
bidikmisi yang lain juga pasti gelabakan. Bahkan, salah satu temanku ada yang
bilang akan mundur dari SNMPTN karena dia tidak lolos bidikmisi. Namun, aku
tidak berfikir demikian. Aku hanya meyakini satu hal. TUHAN PASTI MEMBERIKAN
JALAN, ENTAH BAGAIMANA CARANYA. Kita makhluk bertuhan bukan? Sejak MTs, aku
beruntung bisa masuk di MTs favorit di kabupaten Malang. Meski aku tahu saat
itu ibu dan bapakku harus berhutang sana sini. Saat itu aku hanya dengan
keegoisanku ingin masuk ke sana. Tapi, Tuhan memberikan jalannya. Begitupun ketika
aku masuk MAN, kedua orang tuaku sama sekali tidak memiliki uang ketika
waktunya daftar ulang. Namun, sekolah bisa memberikan keleluasaan untuk
menyicil. Saat itu, aku yakin pasti ada jalan lain untuk aku bisa menjadi
mahasiswa UM meski bukan dengan bidikmisi.
Dalam kekalutan kami, kami hanya menyerahkan diri kepada Tuhan.
Karena hanya kepada Tuhan tempat kembalinya segala sesuatu. Aku hanya berdoa
“Ya Rabb, jika memang takdirku berada di UM, maka mudahkanlah jalanku dan
bukakan pintu rezekiMu dari arah mana saja yang tak terduga. Sungguh, orang
tuaku bukan orang yang berharta, mudahkanlah mereka dalam pekerjaan mereka, dan
beri mereka rezeki berlebih untuk membayar kuliahku.” Tetangga dna keluargaku
sebagian mensupport kami. Ikut mendoakan kami, tapi, sebagian yang lain justru
lebih lantang menyuarakan cibiran mereka.
Di detik-detik kepasrahan itulah Tuhan membuka rahasianya. Ketika
mendaftar ID pendaftaran online, aku kebingunga dengan status pelamar bidikmisi
yang tertera di akunku. Aku berfikir dan semakin bingung. Aku termasuk
pelamar bidikmisi. Itu artinya aku masih berkesempatan menjadi penerima.
Berarti bidikmisi itu belum pengumuman. Aku langsung menghubungi Rosi,
temanku yang ‘katanya sudah lolos bidikmisi’ ternyata miliknya juga tertera
status pelamar bidikmisi. Akhirnya, setelah diskusi dan berbingungan bersama,
kami pun menyimpulkan bahwa BK salah informasi. Entah informasi darimana yang
didapat BK. Walhasil, aku langsung menyampaikan kabar gembira itu pada ibu
bapak. Betapa senangya aku melihat wajah mereka yang masih memiliki harapan.
Setelah itu, aku langsung mengurus semua berkas yang dibutuhkan.
Meskipun harus rela ngantre berjam-jam di kantor desa untuk minta surat
keternagan tidak mampu. Ditambah lagi, sekdesnya salah paham. Aku baru tahu
ketika sudah ditandatangani kepala desa bahwa statusku di sana sebagai calon
penerima beassiwa s2. Padahal aku sudah menjelaskan panjang lebar sebelumnya.
Aku pun harus balik minta dibuatkan surat dan mengantre lebih lama.
Setelah pengumpulan berkas selesai, tinggal menunggu survey. Jadwal
survey yang dijadwalkan Juni ternyata mundur hingga Juli. Di akhri-akhir
Ramadhan. Waktu itu aku sedang sendiri di rumah, ibu tadarus di mushalla dan
bapak pergi ke rumah nenek. Saat itulah aku ditelfon petugas survey bahwa
mereka sudah di sekitar rumahku. Langsung aku keluar dan tidak menghiraukan
rumahku yang berantakan. Oleh mereka, aku diberi waktu untuk menjemput ibu, aku
pun berlari ke mushalla dan membawa ibu pulang. Setelah diwawancarai ini itu,
panjang lebar, keliling rumah, mereka pun pamit pulang. Namun, ada satu hal
yang sempat ditanyakan oleh slah satu petugas saat melihat banyak tumpukan Al
Quran yang ada di rumah. “Lho, di sini dibuat mengaji juga?”
“Iya,” jawab ibuku.
“Yang ngajar siapa? Adeknya ikut mbantu ngajar juga?”
“Saya sama bapaknya yang ngajar. Kadnag ini juga bantu kalau pulang
sekolahnya tidak sore.”
“Oh iya, iya. Pokoknya kalau nanti sudah lolos bidikmisi, kuliahnya
yang bener ya, Dek.” Sambil menepuk pundakku. Aku hanya tersenyum dan mengangguk.
Tibalah saat pengumuman
Aku sengaja mengulur waktu untuk ke warnet. Meskipun aku tahu
pengumuman sudah dibuka. Ya, karena saking khawatirnya. Tapi, setelah ibu
bilang “Lolos kok. Pasti lolos. Weslah buka saja. Nanti lak ada keternagan
lolos.” Aku pun berangkat ke warnet. And so surprised karena perkataan ibuku
selalu mujarab. AKU LOLOS MENJADI MAHASISWA BIDIKMISI. Tak terhingga rasa
syukurku dalam hati. Aku bisa melihat kebahagiaan di wajah ibu dan bapakku.
Terima kasih sudah mengabulkan doaku, Ya Rabb. Aku mengabari guru-guruku dan
teman-temanku. Menyampaikan kabar gembira itu. Mereka menghujaniku dengan
ucapan selamat. Terima kasih sekali lagi, dan untuk yang ke sekian kali, Tuhan.
Comments
Post a Comment