Seperti Bukan Mimpi



Ini seperti bukan mimpi, tapi ini mimpi, bukan mimpi dalam tidur, ini mimpi dalam bangunku. Kejadian yang sungguh tak ingin ku bahas lagi dalam masa indah setelah menerjang ribuan badai kehidupan. Tawa yang berhamburan dari mulutku, bak wujud kelegaan atas tangis yang dulu ku keluarkan hingga membentuk lautan beku di sudut hidupku.
Dia yang aku suka baru saja menjadi milikku. Namun, semakin dia di dekatku, semakin kisah itu terlukis nyata dalam ketidak tenangan jiwa. Ingin rasanya ku buang saja di jamban. Andai semudah itu. Andai.
Aku mencintainya sejak kita sama-sama belum lahir ke dunia ini. Aku pernah ingat bahwa rohku sering mengajak cintaku itu berkeliling surga. Mendiami tempat-tempat indah di sana. Bercanda dan menumpahkan kasih sayang di sana. Kelak, ketika aku telah terlahir di dunia dan memiliki raga, aku ingin mengatakan padanya. Bahwa aku mencintainya sejak aku di perantauan surga. Entah Tuhanku mengizinkan atau tidak. Aku tetap mencintainya.
Suatu malam setelah aku mendiami dunia bersama ragaku selama puluhan tahun, aku baru bisa mengingatnya kembali. Sayang, aku tak tahu rupa cintaku itu sekarang. Mustahil jika aku menanyai semua makhluk di dunia ini. “Siapa yang pernah berkencan denganku di surga?” cinta memang bisa melakukan hal-hal abnormal. Namun, aku tidak! Aku masih normal.
Rindu terus mencerna kebahagiaanku. Dalam diam, aku sering menyalahkan Tuhan karena telah mengirimku ke dunia. Ku ingat saat perpisahan itu, dia menangis karena dia lebih dulu ditiupkan ke perut seorang ibu yang kaya tapi fakir hatinya. Baginya, hidup di surga dengan bidadari dan malaikat lebih menyenangkan. Dia menangis setiap hari dan bernegosiasi dengan Tuhan. Sayang, dia tetap ditiupkan ke sana. Sementara aku, ditiupkan pada seorang ibu yang miskin dan kaya kebaikan hatinya. Kita telah berbeda sejak itu, kita berpisah untuk waktu yang tidak kita tahu.
Hingga aku menemukan seorang lelaki tergeletak di pinggiran Ijen Boulevard pada suatu malam. Dirinya mati! Seperti ada malaikat yang sengaja mencabutnya agar aku bisa bertemu dengan cintaku itu. Rohnya yang berwarna putih bak asap pagi itu keluar dari raganya, tepat di saat aku menunggu tukang bakso malam itu..
Roh itu menggeliat manja sambil berjalan mendekatiku.
“Kau kah itu?” aku pun bertanya padanya, berharap roh itu bisa bicara meski mustahil. Benar saja, malaikat ikut pula mencabut rohku. Membawa aku dan cintaku kembali ke alam yang tak bisa ku deskripsikan dalam alam sadarku.
“Kau mengenalku?” roh cintaku pun berbicara.
“Iya. Kau yang dulu sering berjalan-jalan denganku di surga?” cintaku mengangguk.
“Apa Kau ingat berapa lama kita tidak bertemu setelah di dunia?” tanyaku kembali. Cintaku menggeleng. Kita sama-sama tidak tahu. Karena tak pernah ada peringatan ulang tahun roh kita. Hanya umat-umat dunialah yang melakukannya. Kita di surga tak pernah mengingatnya. Karena kita diciptakan untuk keabadian. Akan sia-sia saja. Toh, usia kita akan mencapai hitungan ‘Tak terhingga’ seperti pada bilangan matematika yang ku pelajari di dunia.
Kita kembali diam. Sibuk pada pikiran masing-masing. Kita sama-sama rindu surga. Sama-sama benci hidup di dunia. Apalah daya, kontrak kita dengan Tuhan di dunia masih belum habis.
Terlebih aku. Aku rindu membagi cinta dengan cintaku itu. Tak ada lagi yang aku cintai selain dirinya. Tak ada. Bahkan untuk menantikan aku bisa bertemu lagi dengannya hari ini, aku harus menunggu dirinya mati. Matikah ia? Ku harap tidak.
“Aku merindukanmu! Tak inginkah kau bermain-main denganku sebentar di sini?” sebelum sempat menjawab, malaikat kembali mengambil roh itu dan mengembalikannya ke raga yang tergeletak lemah di Ijen Boulevard. “TUNGGUU!” teriakku. Pun diriku kembali ke ragaku semula.
Aku seperti orang baru bangun yang limbung dan pandangan samar-samar. Aku sadar apa yang barusan terjadi. Segera ku cari sosok lelaki yang tergeletak lagi. Sayang, dia telah pergi. Melangkah ke utara, menembus Malang di tengah malam dengan lampu berbentuk pohon yang warna-warni di sana.
Tubuhku yang masih lemah hendak menyusul, sayang sekali tak sampai. Aku tak bisa meraihnya kembali. Sejak malam itu, aku yakin dan hatiku sangat yakin. Cintaku masih ada di dunia ini.
###
Seabad sudah setelah pertemuan di alam roh itu, aku tak lagi melihat lelaki itu. Dia orang Malang. Aku yakin, tapi entah dimana. Maka dengan bodoh aku nomaden dari satu desa ke desa lain. Dari satu kelurahan ke kelurahan lain. Dari satu RT ke RT lain. Sia-sia! Aku berjalan seratus tahun lamanya. Tak ada hasil! Aku tetap terlihat muda seperti aku seratus tahun lalu. Hanya aku lebih emosional. Karena hatiku sudah lelah menanti. Memendam rindu yang terus saja menggulung kedamaian dan ketenangan jiwaku. Aku lelah! Sungguh! Lantas, kapan kita bertemu cintaku?
Maka malam itu, aku meminta pada Tuhan untuk mencabut lagi rohku. Aku terlalu lelah berjalan, aku ingin kembali ke dunia roh lagi. Tuhanku mengiyakan pintaku. Rohku kembali diangkat ke langit.
Tak ada yang menyambut kehadiranku. Hanya aku melihat cintaku sedang duduk di tepian sungai di bawah firdaus. Dia menoleh saat aku datang. “Kau merindukanku?” tanyanya kemudian. Aku mengangguk. Senyumnya menyimpul sesaat bersamaan dengan datangnya seorang malaikat.
“Sekarang Tuhan telah mempertemukan rohmu dan roh cintamu di sini. Lantas, apa yang ingin kau perbuat?” tanya malaikat itu.
Aku gemas sekali dengan pertanyaannya, “Tentu saja aku minta satukan kami! Aku mencintainya dan jadikan aku dan dirinya pasangan dunia dan surga.”
“Permintaanmu ditolak! Dia telah memiliki seorang jodoh dan itu bukan dirimu!” betapa terkejutnya aku mendengar jawaban itu. Aku menangis, mana mungkin dia yang sejak kecil bersamaku tak bisa menjadi jodohku? Tak adil!
“Kau bisa memilikinya sebagai anakmu!”
“Kenapa harus anak? Jadikan kita sama-sama lahir ke dunia ini dan menjadi sepasang kekasih!”
“Ini keputusan Tuhanmu. Kau tak bisa menolaknya.”
Aku memandangi cintaku yang tampak pasrah. Dia pasti juga sama geramnya dengan aku.
“Ikatan batin seorang ibu dan anak itu lebih abadi dari ikatan seorang kekasih. Ketika kau mati, kau masih bisa mendapat kasih sayang dan doa anakmu. Anakmu masih akan mencarimu di akhirat ketika dia merindukanmu. Tapi, kekasihmu? Belum tentu! Kau akan lebih mencintai anakmu keitmbang mencintai pasanganmu. Percayalah itu!” aku menyerah! Aku pun mengiyakan keputusan itu. Malaikat itu benar. Akan lebih baik jika aku memilikinya sebagai anak.
Maka, semenjak saat itu, rohku kembali ditiup ke ragaku yang berusia seabad lebih, dan kehidupanku bergulir. Hingga akhirnya, aku melahirkan seorang anak lelaki yang sangat ku rindukan selama ini, seorang anak lelaki yang benar-benar aku cintai. Anak laki-laki yang aku beri nama Fikry. 






 Mei 2015

Comments

Popular posts from this blog

Resensi Novel “Hujan” Karangan Tere Liye

Perjuangan Tanpa Batas Sang Jenderal (Review Film Jenderal Soedirman)

Kirab Haul Mbah Sogol: Momentum Memutar Ulang Sejarah