Lensa Milikku
Ilustrasi (google) |
Menjadi
wartawan sekolah adalah salah satu caraku bisa mencapai cita-citaku. Sekaligus,
melebur kebosanan akan siklus pelajaran yang selalu rumit dan penuh tuntutan.
Berlaga eksis dan sok penting dalam setiap event
sekolah. Begitulah aku menyebutnya. Padahal, ada rasa bosan, capek, pegal yang
kerap kali muncul ketika meliput berita. Apalagi, kalau deadline sudah tinggal
menghitung hari sedang tugas belum semua selesai. Rasanya jungkir balik seperti
diterpa angin topan.
Kali
ini adalah tugas liputanku yang ketiga. Tiba giliranku untuk memotret.
Biasanya, Kak Marinka si redaktur pelaksana hanya memberiku tugas untuk
wawancara. Suatu kehormatan besar bagiku bisa men-shoot setiap detail dari event besar di sekolah ini. Because, ada kunjungan dari SMAN Cempaka
Putih. sekolah yang digembar-gemborkan dengan prestasinya yang sampai Asia-Pasifik
itu.
“Ambil
dari angle-angle terbaik ya! Aku
kasih reward kalau jepretanmu bagus!”
sebagai senior, tentulah Kak Marinka punya kekuasaan penuh memerintah
junior-juniornya. Tapi, dia tak pernah main-main dengan ucapannya.
Sejak
pagi, aku sudah menenteng kamera digital itu. ID card sudah terkalungkan dengan
tepat. Lengkap dengan jas kebanggaan redaktur. Serasa menjadi wartawan
profesional. Tapi, rupanya sia-sia semua usahaku untuk tampil perfect. Kamera yang aku pegang ini tak
semulus yang aku bayangkan. Entah angin apa yang membuat dia rewel dan tidak
mau fokus. Setiap jepretanku pasti meleset. Sialnya, tak ada lagi kamera
cadangan yang bisa aku pakai.
Aku
kembali ke kantor dengan perasaan getir. Pastilah aku dijadikan sambal penyet
oleh Mbak Marinka. Benar saja, ia mengomeliku sore itu.
“Kamu
itu apa-apaan sih? Kalau jepretan buruk kayak gini mana bisa dimasukkan
majalah? Udah nggak fokus, buram, obyeknya nggak jelas lagi. Kalau nggak
sanggup, harusnya kamu bilang dari awal! Jangan sok deh kamu!” wajahnya sampai
merah saking marahnya. Otot-otot lehernya seperti mau retak. Aku hanya
menundukkan kepala. Keringatku bercucuran deras. Antara takut dan ingin
menjelaskan kejadian yang sebenarnya.
“Kalau
sampai tugas kamu kayak gini lagi, aku bakalan ngasih kamu hukuman! Sekarang,
keluar dari kantor ini!”
Aku
berjalan lunglai ke gazebo sekolah. Sebagai junior, aku terpukul dan masih
belum terbiasa dengan omelan seganas itu. air mataku meleleh sambil
membodoh-bodohkan diriku sendiri. Aku menyandarkan tubuhku di tiang gazebo itu
saat seseorang menghampiriku sambil menyodorkan sebuah kamera padaku.
“Buat
apa sih nangis? Ambil ini!” aku mendongakkan kepala sambil mengusap air mata
yang berbanjiran di pipiku. “Wajarlah kalau marinka marah. Event seperti itu
nggak akan terjadi dua kali. Kesempatan kita meliput ya hanya sekali itu saja.
Kalau hasilnya jelek, ya... sia-sia kita capek meliput tapi nggak bakal dimuat.”
Kakak pimred itu mengambil posisi duduk di sampingku.
Aku
hanya tersenyum “Ini memang salahku, Kak. Harusnya aku bilang sama kak marinka
kalau aku nggak bisa motret.” Air mataku kembali pecah.
“Udah
dong! Ngapain nangis? Sekarang, ambil kamera ini dan kita belajar memotret
bersama!”
“Serius,
kak?” dia mengangguk mantap. Senyumku kembali merekah.
Sore
itu juga, kita menjepret apapun yang ada di hadapan kita. Mulai dari jepretan
terencana, hingga yang ala kadarnya.
“Kamu
itu punya potensi jadi fotografer sebenarnya. Tapi kurang terbiasa aja.”
Celetuknya sambil mengajakku duduk di tengah-tengah lapangan basket. Perlahan,
dia melepas jasnya dan memegang kamera yang ada di tanganku. “Mulai sekarang,
kamu bawa kameraku ini dan berikan aku jepretan terbaik kamu
sebanyak-banyaknya.”
“Serius,
kak? Aw Makasih!!!” pekikku girang sambil mencubit pipi cabinya.
“Masalah
foto tadi, kamu tenang saja. aku akan bantu ngomong ke marinka.” Ujarnya
menenangkan.
“Bukannya,
Kakak tadi ikut ngeliput? Pasti Kakak ngambil foto juga kan?” tebakku.
“Eh,
kok tahu sih? Iya. Makanya kamu tenang saja. liputanmu akan tetap dimuat!” aku
kembali tersenyum lega. Dia seperti menghancurkan perongkalan batu yang
menyesaki hatiku.
Berhari-hari
kulalui dengannya. Koleksi fotoku sudah hampir mencapai angka seribu. Dia tak
segan-segan memarahi kalau aku nggak fokus dan menshoot tidak pakai perasaan. Semakin lama, kita semakin seperti
sahabat. Bukan seorang adik dan kakak kelas lagi. Dia sering mengantarku
pulang, dan aku juga sering main ke rumahnya kalau lagi nggak ada kerjaan.
Tak
ada yang spesial diantara kita. We are
not a couple. Aku hanya ingin belajar, dan ia mengajarinya. Itu saja.
tuduhan para redaktur terkadang membuat aku emosi. Bahkan ada yang menuduhku
ingin tenar dengan memacari pimred. Tapi, ia kembali membuat aku tenang.
Kedewasaan dan kewibawaaannya menjadikan ia lebih bijaksana seribu kali dari
pada aku. Menurutnya, semua itu hanya isu-isu miring yang menguji ketangguhan
kita.
“Wartawan
itu harus tetap tenang menghadapi segala hal. Stay cool and keep calm!” saat itu, aku menjadi adik kelas
terberuntung karena bisa dekat dengannya. Karena jasanya padaku itulah yang
membuat aku lebih bersemangat untuk belajar fotografer. Bahkan, iseng-iseng aku
sering bermain ke kantor redaksi beberapa media masa ternama hanya untuk
mempersembahkan yang terbaik untuknya.
Tanpa
sadar, intensitas pertemuan kita berkurang, mungkin ia sedang ada kesibukan
lain.
“Kak
Marinka, kakak pimred kemana sih kok nggak pernah kelihatan?” tanyaku
disela-sela rapat redaksi yang dipimpin Kak Marinka.
“Lho?
Masa kamu nggak tahu sih? Dia kan udah pindah sekolah?”
“Hah?
Pindah sekolah?” tanyaku sekali lagi.
“Iyya!
Pindah rumah juga.” Aku kembali terkejut dengan jawaban Kak Marinka. Kok dia
nggak pernah memberitahu aku sebelumnya?
Menurut
berita yang Kak Marinka dapat, kakak pimred itu pindah ke ranah kelahiran
ayahnya di Kalimantan. “Katanya sih mau menetap di sana. Nggak tahu lagi deh.
Aku juga dapat berita itu dari pembina kita. Dia nggak pamitan sama aku!”
“Oh,
gitu ya, Kak?”
Kak
marinka kemudian bertolak dari ruang rapat. Aku terpekur sendiri di sana. Dalam
hati kecilku, terbesit firasat bahwa ia akan kembali. Entah itu kapan. “Aku
yakin, dia akan menaggih hutangku padanya.” Ujarku sendiri sambil memegangi
kamera yang diberikannya padaku.
Meski
demikian, aku tak pernah patah semangat. Keyakinanku akan tagihan dia membuatku
semakin semangat belajar. Tapi entah kapan ia akan kembali.
8
tahun kemudian...
Perjalananku
kini meruncing. Berkat kegigihan dan kerja kerasku, aku berhasil menembus berbagai
kompetisi fotografer bergengsi. Baik luar ataupun dalam negeri. Bahkan, aku
sudah punya galeri sendiri untuk memamerkan hasil jepretanku yang ku kumpulkan
sejak 8 tahun silam. Aku juga membuka kursus fotografer dan punya komunitas
“Pecinta Lensa” namanya.
Di
sore yang mendung, galeriku sedang sepi pengunjung. Tak ada kursus sore itu.
hanya beberapa temanku yang nongkrong sambil bakar-bakar jagung di halaman
belakang. Sebuah mobil jazz merah tiba-tiba mengambil parkir di teras galeriku.
“Selamat
sore!” seorang lelaki berjas hijau prusi memasuki pintu masuk kemudian
menyalamiku yang ada di meja depan.
“Selamat
sore!” aku masih tertegun. Aku kembali diam dan meneliti lelaki itu. memastikan
bahwa yang aku lihat adalah benar.
“Hei,
nggak usah segitu juga kali ngelihatnya! Aku ke sini mau ambil kameraku!”
candanya memecah keheningan.
“Awww!!!
Kakak pimred!!” aku berhambur memeluknya. Aku benar-benar merindukannya.
aku
mengajaknya bertemu dengan teman-teman “Pencinta Lensa”ku. Kita saling berbagi
cerita. Lalu, dia beranjak melihat koleksi foto-fotoku.
“Aku
nggak nyesel ngajarin Kamu!” dia berdiri tegak di hadapan foto kita sewaktu
SMA.
“Kak,
tanpa kamu aku nggak akan bisa punya galeri mewah ini.” Aku mendekatinya.
“Kepergianmu waktu itu membuat aku bersumpah akan menjadi fotografer terbaik.
Dan tidak perlu membuatmu menagih untuk meminta koleksi fotoku.” Aku menatap
matanya lekat. Meyakinkannya bahwa dia sangat berarti.
“Kalau
gitu, ayo kembaliin kameraku sekarang!!” teriaknya keras
“Kalau
kameranya diambil, gimana aku bisa jepret foto lagi?”
“Jadi,
selama ini...”
“Ya!
aku nggak pernah beli kamera. Karena bagiku, lensamulah yang memberikan aku
kepuasan dan menghidupkan setiap obyek yang ku potret!” ujarku sambil melet
padanya.
Seperti yang aku yakini, dia benar-benar
kembali. Karena lensanya tertinggal di sini.Tanpa lensanya, aku yakin ia tak
akan bisa melihat dunia lain. Aku empunya sekarang. Dan kini, aku bisa memegang
lensa itu selamanya. Lensa itu menjadi milikku.
Bee
28 Desember 2013
16:04
Comments
Post a Comment