Ma'had Aku Padamu !



Keheningan malam terasa menggugah kalbu. Tersirat dalam benak ini untuk mencari kebenaran tentang adanya pencipta dari semua ini. Ingin rasanya ku menggali ilmu lebih dalam untukku semakin dekat dengan-Nya. Terlihat olehku para santri di pesantren sebelah rumah berlalu lalang pulang dari masjid untuk mengaji. Ingin rasanya ku seperti mereka, menuntut ilmu tanpa dampingan dari kedua orang tuan. Tanpa mengenal waktu dan lelah.
“Mama, aku ingin mengaji.” Ungkapku kepada mama.
“Alhamdulillah… kalau gitu, ayo sekarang kita ke ruang shalat untuk mengaji!” ajak mama.
“Aku nggak mau, Ma. Aku ingin mengaji di pesantren.”
“Kalau begitu besok mama akan daftarkan Kamu di Pesantrennya Kyai Halqi. Pesantren di sebelah rumah kita itu!”
“Nggak mau. Aku tidak mau jika harus mengaji di pesantren sebelah rumah itu. Itu bukan pesantren, Mama. Itu asrama. Anak yang tinggal di pesantren itu sifatnya tidak seperti anak-anak yang mengaji di pesantrennya Kyai Halqi. Masak iya, anak pesantren berani tidak memakai kerudung? Memakai make up berlebihan, bahkan berani pacaran???”
“Hust. Ngawur Kamu kalau bicara! Ya sudah. Sekarang, Faiz mengaji bareng mama dulu saja ya, Sayang di ruang mengaji?” rayu mamanya.
“Hum…. Iya deh…” gerutu Faiz sambil menuju ruang mengaji.
Keesokan harinya saat jam istirahat…
“Hm, tahu nggak, kemarin di pesantren ada festival lho… acaranya seru… banget. Dengan acara itu, kita bisa mengenal banyak hal. Dan kita bisa mendapat banyak teman. Menambah banyak pengalaman, dan sebagai hibran yang bermakna buat kita.” Kata Anisa menceritakan panjang lebar.
“Wow… pasti acaranya seru banget tuh??? Orang luar pesantren boleh ikut berpartisipasi tidak?” tanyaku antusias.
“Ya tidak boleh donk, Iz. Makanya, Kamu cepetan minta mama Kamu buat memasukkan Kamu ke pesantren.” Sahut Furqon.
“Mauku sih gitu, tapi mau bagaimana lagi? Mama aku selalu melarangku buat mondok. Memangnya, apa sih salahnya mondok?” ujarku bertanya-tanya.
“Mungkin mama Kamu takut Kamu dijahilin kali di pesantren. Kamu kan anak mama satu-satunya. Jadi, wajar kalau mama Kamu takut kalau Kamu akan kenapa-napa kalau Kamu tinggal di pesantren. Nanti kalau Kamu sakit di pesantren, kan mama Kamu juga yang bakal repot.” Sambung Mira menebak.
“Hm, sok tahu Kamu, Mir.” Balas Faiz membantah.
Tak terasa kini sudah saatnya pulang sekolah. Semua murid kembali ke tempat tinggal mereka masing-masing. Tak terkecuali dengan anak yang tinggal di pesantren. Mereka berjalan kaki setiap pulang dan pergi ke sekolah, dengan menempuh jarak yang tidak terlalu jauh dari sekolahanku.
Melihat semua itu, aku merasa iri pada mereka. Aku ingin mandiri seperti mereka. Pergi ke sekolah sendiri, pulang sendiri, bahkan jalan kaki. Itu adalah hal yang tak pernah aku lakukan selama hidupku. Kemana-mana selalu diantarkan sama mama, atau sama papa. Kemana-mana selalu disediakan snack di mobil, dibawakan obat, dibawakan buku, dan barang-barangku lainnya yang seharusnya tak pernah ada selama perjalanan. Memangnya aku anak TK yang harus dilayani seperti itu??? Aku ingin mandiri mama, papa. Andai saja kalian tahu betapa tersiksanya aku, apa kalian akan tetap memperlakukanku seperti ini???
Sesampainya di rumah, aku langsung ganti baju dan makan bersama mama. Setelah itu, aku tidur siang.
Pagi berganti siang, siang berganti sore, dan akhirnya, sore pun berganti malam. Setelah shalat maghrib, seperti biasanya, aku dan mama beserta papaku berkumpul bersama di ruang keluarga sambil menemaniku belajar. Dengan segala keberanianku, aku mencoba berbicara dengan mama papa tentang keinginanku untuk tinggal di pesantren. “Mama, Papa, boleh tidak kalau aku tinggal di pesantren?”
“Aduh, Iz, apa sih yang kurang di rumah ini? Apa kasih sayang mama dan papa sama Kamu kurang?” jawab Mama sedikit sinis.
“Bukan begitu, Mama. Faiz ingin belajar hidup mandiri, Faiz ingin menjadi anak yang sholeh, dan Faiz ingin membuktikan sama teman-teman kalau Faiz bukan anak laki-laki mama papa yang manja. Mama harusnya mengerti bagaimana perasaan Faiz. Faiz juga ingin merasakan bagaimana menuntut ilmu dengan harus jauh  keduajauh orang tua. Faiz juga ingin hidup bebas tanpa harus ada kekangan dari Mama dan Papa.” Kataku mencoba menjelaskan.
“Iya, Ma. Faiz benar. Tidak seharusnya kita itu melarang Faiz tinggal di pesantren, lagi pula kan jarang ada anak laki-laki yang meminta untuk dipondokkan. Harusnya kita itu bersyukur karena Faiz punya niat untuk mondok. Apa Mama tidak senang jika mempunyai anak yang bisa mendoakan kita kalau kita telah tiada nanti? Dan anak kita menjadi seorang suri tauladan yang baik bagi semua orang?” bantah papa membelaku.
“Bukan begitu, Pa. nanti kalau Faiz mondok, Faiz akan mudah terpengaruh dengan pergaulan teman-temannya yang di pondok. Lagi pula, setiap hari ia harus jalan kaki, makan makanan yang kurang mengandung gizi, nggak steril, dan kalau dia mandi, dia pasti akan tertular penyakit-penyakit yang diderita teman-temannya. Dan mama nggak mau kalau hal itu terjadi pada anak kita satu-satunya. Faiz itu mutiara kita satu-satunya, Pa. dan mama nggak mau kalau mutiara itu rusak.” Balas mama.
“Jadi itu alasan Mama tidak pernah mengizinkan Faiz untuk mondok? Sadar, Ma. Kalau Faiz mondok, mutiara itu nggak akan rusak, ia justru akan lebih bersinar. Lagi pula, apa Mama tidak senang kalau anak kita menjadi anak yang berbudi pekerti baik, berakhlak mulia? Mama tolong pahami keinginan Faiz, Ma. Kasihan dia kalau Mama terus mengandalkan ego Mama.” Nasihat papa bijak.
“Nggak, Pa. pokoknya mama nggak akan mengizinkan Faiz untuk mondok.” Tegas mama sambil beranjak pergi.
“Pa, mama nggak marah kan sama Faiz gara-gara masalah ini?” tanyaku pada papa penuh ketakutan selepas beranjaknya mama dari hadapanku dan papa.
“Nggak kok, Nak. Kamu tenang saja. Sebentar lagi, keinginan Kamu akan terwujud. Kalau begitu bagaimana kalau sekarang Kamu belajar mengaji bareng papa? Nanti, papa akan ajarkan pada Kamu bagaimana tata cara mengaji yang benar. Oke?” jawab papa menenangkanku. Lalu, aku dan papa pun memulai mengaji.
Tak terasa, hari pun sudah mulai berganti, matahari tampak bersinar terang ditemani birunya langit yang masih steril dari polusi. Suasana di sekolahanku begitu damai, siswa-siswi masih bergantian membersihkan  kelasnya. Begitu pula anak yang di pesantren, mereka silih berganti berpasang-pasangan memasuki gerbang sekolah dengan canda tawa dan cerita yang mereka bawa sejak masih di pesantren. Namun, beda denganku, pagi hariku selalu disambut dengan rasa bosan yang tiada henti setiap hari. Aku capek hidup mewah. Aku capek diatur terus. Aku ingin hidup sederhana, bisa bebas berjalan, bebas melakukan aktivitas dan bebas bergaul dengan siapapun tanpa harus diawasi.
“Ma, nanti aku akan pulang dijemput papa. Jadi Mama tidak perlu menjemput aku.” Ungkapku pada mama saat akan turun dari mobil.
“Oh, iya. Tapi jangan pulang sebelum dijemput ya, Nak!” setelah itu, aku pun langsung menuju ke gerbang sekolah.
Sesampainya di kelas, teman-temanku always membicarakan tentang pesantren. Mereka seolah-seolah membuatku semakin ingin tinggal di pesantren. Hari ini, mereka membicarakan tentang ujian di pesantren. Atau biasa disebut dengan tamrinan. Aku sendiri juga tidak begitu mengerti dengan istilah itu. Tapi, hal itu semakin membuatku penasaran dan semakin ingin untuk tinggal di pesantren.
“Faiz, kenapa Kamu diam saja?” sapa Mira membuyarkan imajinasiku.
“Em, nggak papa kok. Eh, Mir. Tamrinan itu apa sih?” tanyaku mencari tahu.
“Oh, tamrinan itu seperti ujian semester kalau di sekolah. Tapi itu dilaksanakan di pesantren. Materinya tentang pelajaran yang sudah diajarkan di kitab-kitab yang dipelajari setiap hari. Memangnya Kamu ingin tinggal di pesantren beneran?” jawab Mira menjelaskan.
“Iya, tapi aku bingung. Mamaku selalu melarangku tinggal di pesantren. Kamu tahu nggak caranya supaya aku bisa masuk pesantren?” ungkapku.
“Aku tahu, Sob. Nanti, Kamu langsung ikut aku saja ke pesantren. Tapi, jangan memberitahu mama papa Kamu.  Kalau Kamu ketahuan, pasti kedua orang tuamu akan dipanggil. Dan mereka pasti akan menyerah pada keinginan Kamu itu.” Jawab Furqon menyela pembicaraanku dan Mira.
Tanpa berfikir panjang, aku langsung mengiyakan saran dari Furqon. Entah berhasil atau tidak, tapi aku percaya jika Allah akan memberikan jalan yang terbaik untukku jika aku benar-benar niat.
Sepulang sekolah, aku langsung menuju ke pesantren. Aku menghindari papa yang saat itu telah menantiku di depan pintu gerbang sekolah. Dan aku langsung berjalan kaki menuju pesantren dengan anak-anak pesantren lainnya. inilah hal yang paling aku nantikan. Bisa hidup bebas tanpa harus selalu diatur. Sesampainya di pesantren, aku terpenjarat kagum dengan tulisan ayat-ayat Alquran yang terpajang di setiap sudut pesantren dan dengan ramainya santri berlalu lalang membuatku semakin merasa bahagia. Setelah memandangi setiap sudut pesantren, aku langsung mengikuti Furqon menuju kamarnya dan langsung berganti baju untuk persiapan mengaji. Aku sendiri juga tidak tahu kitab apa yang aku bawa dan akan mengaji apakah aku nanti. Tapi aku bahagia berada di sana.
Setelah sampai di musholla tempat mengaji, aku langsung membuka kitab yang dipinjami Furqon. Di sana, semua santri membacanya dengan lancer dank eras. Tapi aku hanya menggerakkan bibirku saja tanpa kumengerti apa yang mereka baca. Tak lama kemudian, ada sebatang kayu yang bersarang di punggungku. “Hei, Kamu siapa? Kok tiba-tiba berani masuk pesantren ini dan ikut mengaji?” Tanya seorang laki-laki setengah baya itu.
“Saya, saya ikut teman saya. Saya ingin sekali mengaji di pesantren, tapi mama saya tidak mengizinkan saya mengaji di pesantren. Akhirnya, saya nekat langsung menuju ke pesantren ini tanpa sepengetahuan mama papa saya.” Jawabku menunduk.
“Ayo ikut saya!” laki-laki tadi langsung membawaku ke kantor. Seluruh isi pesantren dibuat kacau olehku, semua santri melihatku dengan wajah heran. Sedangkan aku di introgasi di dalam kantor, sampai akhirnya mereka menelfonkan papaku.
Tak lama setelah itu, mama dan papa dating dengan wajah yang memerah.
“Faiz, apa yang Kamu lakukan? Kamu sangat memalukan.” Ucap mama memarahiku.
“Ma, tenang dulu, bari kesempatan pada Faiz untuk bicara!” bela papa.
“Maaf Pak, Bu. Bukannya saya mau ikut campur, tapi menurut keterangan dari Faiz, dia ingin tinggal di pesantren ini. Tapi oleh orang tuanya tidak boleh. Apakah itu benar?” sahut salah seorang dari pengurus pesantren.
“Bukan begitu maksud saya, Pak. Saya hanya tidak ingin kalau anak kesayangan saya kurang mendapat perhatian. Saya tidak ingin jika prestasi nilai dan non akademik di sekolahanya menurun karena ia terbebani oleh kegiatan yang sebegitu padatnya di pesantren.” Bantah mamaku sedikit mengotot.
“Bu, Pak. Perlu saya sampaikan pada Bapak dan Ibu, kalau anak yang tinggal di pesantren tidak selalu anak yang bodoh dan miskin prestasi. Justru karena ia terpisah dari orang tuanya, ia akan berfikir untuk bisa membahagiakan kedua orang tuanya melalui prestasinya di sekolah maupun di pesantren. Dia jadi bisa merasakan bagaimana perjuangan orang tuanya dalam membiayai hidupnya sampai ia dewasa. Menuntut ilmu di pesantren bukan berarti melupakan ilmu untuk bekal di dunia. Justru dengan ilmu di pesantren, ia akan mendapat kesuksesan di dunia dan di akhirat melebihi anak-anak yang tidak tinggal di pesantren, asalkan dia benar-benar niat.” Jelas pengurus tadi member pengertian.
Setelah mendengar penjelasan dari Bapak pengurus, mama diam sesaat untuk berfikir. Dan papa hanya tersenyum padaku sambil mengacungkan jari jempolnya sebagai penghargaan buatku atas kegigihan dan perjuanganku untuk bisa tinggal di pesantren.
“Ma, aku boleh ya tinggal di sini?” mohonku merengek pada mama.
“Tidak. Mama tetap tidak mengizinkan Kamu untuk tinggal di pesantren. Memangnya, kenapa Kamu selalu mengotot ingin tinggal di pesantren?” jawab mama marah.
“Ma, Pa. Aku ingin membuat Mama dan Papa bangga. Aku juga ingin menuntut ilmu lebih banyak lagi. Terutama ilmu pengetahuan agama islam. Ma, Pa, aku ingin menjadi anak yang sholeh, aku ingin menjadi anak yang bisa menjaga nama baik Papa Mama. Aku ingin menjadi anak yang bisa membawa sesuatu yang baru bagi keluarga kita. Karena, selama ini yang kutahu, keluarga kita kurang akan pengetahuan syariat islam. Aku ingin menjadi seorang imam yang baik ketika aku besar nanti, aku ingin menjadi pemuda masa depan yang berakhlak mulia. Ma, Pa, tolong turuti keinginan Faiz kali ini saja! Faiz janji sama Mama dan Papa kalau Faiz nggak akan membuat Mama dan Papa kecewa karena telah mengizinkan Faiz tinggal di pesantren.” Ujarku sambil menangis berlutut di hadapan mama dan papa.
“Ayolah, Ma. Izinkan Faiz! Kasihan dia, Ma. Masak iya, anak kita satu-satunya ingin tinggal di pesantren, ingin menjadi anak yang sholeh dan ia mempunyai niat setulus itu tidak kita izinkan untuk tinggal di pesantren?” rayu papa membujuk mama.
“Baik, mama akan izinkan. Tapi mama tidak akan menjenguk Kamu selama Kamu tinggal di sini. Dan selama Kamu belum pulang dari pesantren, maka, mama anggap mama dan papa tidak punya seorang pura.” Ujar mama sambil beranjak meninggalkanku.
Aku hanya bisa menangis melewati semua ini. Dilemaku semakin membuat pikiranku kacau. Ingin rasanya aku membuat mama mengerti apa yang ada didalam hatiku saat ini. Ditengah derain air mata dengan derasnya itu, sosok sang papa selalu membuatku tenang. Beliau menenangkanku dan menghapus semua air mata kepedihanku.
“Sayang, Kamu tenang saja ya! mama Kamu terlalu sayang sama Kamu. Mungkin dia tidak siap jika dia harus tinggal di rumah tanpa Kamu. Lambat laun, papa yakin kalau mama Kamu akan bisa mengertikanmu suatu saat nanti. Kamu sabar ya, Sayang! Papa janji akan membuat mama Kamu bisa mengerti kemauanmu. Besarkan hati Kamu! Berjuanglah Kamu dalam menuntut ilmu di temat impianmu ini, Nak! Doa papa selalu menyertaimu.” Ucap papa menenagkanku.
“Terima kasih, Papa. Doakan yang terbaik buat Faiz ya! supaya semua impianku bisa menjadi kenyataan!” permohonan terakhirku pada papa sebelum akhirnya papa kembali ke rumah tanpa aku.
Setelah papa pulang, aku menuju ke kamar baruku dan menjalani kehidupanku selanjutnya di sana sekitar 3 tahun kemudian. Selama tiga tahun itu, aku berjuang keras untuk membuat mama dan papa bangga. Hingga akhirnya, aku menjadi seorang qari’ terkenal dan meraih berbagai prestasi, baik di sekolah maupun di pesantren. Alhamdulillah setelah sekian lama aku menunggu kesadaran mama, akhirnya mama aku sadar dan ia kembali menyayangiku seperti dulu dan ia berjanji akan selalu setia menjenguk, mendoakan dan mensupportku selama aku menuntut ilmu di pesantren, sampai kapanpun….
Satu ucapan mama yang tak akan pernah aku lupakan. “Mama bangga memiliki anak seperti Kamu! Yang tak pernah berhenti berjuang untuk kebaikan. Teruslah berjuang, Nak! Perjalananmu masih panjang. Mama akan selalu ada untuk Kamu! I love you, Baby!!!”
The end….
                                                                                                   (2011)
*Cerpen ini pernah dimuat di M_Magz (Majalah Sekolah MTsN Malang III). Sebuah cerpen yang sempat dipuji oleh seorang penulis ternama karena ceritanya yang hidup dan mampu menggait hati pembaca, meski saat itu hanya ditulis oleh seorang wartawan sekolah yang masih 13 tahun. 

Comments

Popular posts from this blog

Resensi Novel “Hujan” Karangan Tere Liye

Perjuangan Tanpa Batas Sang Jenderal (Review Film Jenderal Soedirman)

Kirab Haul Mbah Sogol: Momentum Memutar Ulang Sejarah