Wanita dan Kodratnya


Melihat film kartini, mmebuat saya ingin menuliskan beberapa uneg-uneg yang ada di hati saya, dengan membandingkan realita norma perilaku wanita modern saat ini. Meski eksistensi film ini kalah dengan film-film lain, namun, bagi saya film ini adalah film yang layak diperhitungkan untuk orang-orang yang mencintai budaya jawa.

Film Kartini yang rilis pada 19 April kemarin merupakan salah satu film wanita yang menginspirasi setiap penontonnya. Membuka wawasan pada wanita masa kini perihal unggah-ungguh wanita jaman dahulu. Berlatar belakang sebagai puteri bupati Jepara, membuat kartini remaja harus mengubah gaya hidupnya secara drastis. Era 1800-an, setiap anak bupati yang hendak menjadi Raden Ayu haruslah menjalani pingitan sejak menstruasi pertama hingga ada seorang bupati yang datang untuk meminangnya. Itulah yang dialami kartini, ia terpasung oleh segala macam peraturan dan tradisi. Wawasan kartini mulai terbuka ketika dirinya diberitahu oleh kakaknya, Kartono untuk membuka sebuah pintu di kamarnya yang akan membawa kartini ke dunia luas. Di sana, kartini menemukan buku-buku berbahasa belanda yang memgisahkan seorang pengacara handal pembela wanita dan orang tertindas di Eropa. Dari sana, kartini mulai gemar membaca dan berani membebaskan pikirannya.
Tak lama, kedua adik kartini ikut dipingit, dan mereka diajari membebaskan pikiran oleh kartini. Belajar membatik, dan mengeluarkan pendapatnya. Hidup kartini semakin menemukan kebebasan Ketika dirinya bertemu Ovink Soer Seorang penulis Belanda yang akhirnya membantu kartini mempublikasikan tulisan-tulisannya. Sekalipun awalnya sang ayah menentang hobi kartini itu, namun semakin lama ayahnya semakin kagum dan membebaskan dirinya. Bahkan artikel pertama Kartini yang diterbitkan Jurnal Etnografi Kerajaan Belanda memakai nama ayahnya.
Kartini, sekalipun ia harus berjuang sedemikian lama, pada akhirnya ia adalah wanita pertama yang mengenalkan ukiran jepara di negeri belanda. Saat itu, di Jepara masih kental dengan kepercayaan bahwa jika mengukir wayang akan terkena kualat. Namun, kartini berhasil meyakinkan para pengukir jika dirinya yang akan menanggung dosanya. Dengan tawaran itu pula, ia bisa membuka peluang kerja pengukirJ yang pada masa itu hampir gulung tikar. Kartini juga membuka kelas meenulis dan membaca di pendopo rumahnya bagi wanita dan anak-anak yang belum sempat mengenyam pendidikan. Kartini mengajari mereka huruf Belanda (latin). Tak jarang, perempuan-perempuan muda itu belajar sambil menggendong bayinya.
Keberhasilannya dalam banyak hal pada akhirnya membuat dirinya enggan untuk menikah, karena dalam benaknya, ketika ia diperistri oleh seorang bupati, hidupnya akan semakin penuh dengan peraturan dan pengabdian. Namun, kartini berhasil mengubah tradisi yang berada di lingkungannya. Sebelum menikah, Kartini mengajukan beberapa syarat kepada calonnya. Salah satunya, ketika menikah ia tidak ingin mencuci kaki suaminya. Ia juga meminta agar suaminya mendukungnya mendirikan sekolah di pendopo rumahnya. Maka setelah menikah, kartini mendirikan sekolah wanita di pendopo bupati Rembang.
Banyak hal dari masa lalu kartini yang tidak sempat dicicipi oleh wanita modern. Diantaranya adalah budaya memakai jarik. Jarik adalah simbol keanggunan wanita jawa. Budaya lain yang hilang adalah budaya kesopanan pada orang tua. Dulu, kartini harus belajar berjalan untuk menghadap kedua orangtuanya, dengan jalan jongkok dan tempo yang pelan. Selain itu, yang jelas hilang adalah budaya ngabdi. Inti dari seorang wanita adalah mengabdi. Mengabdi pada orangtuanya lalu pada suaminya. Mengabdi bukan berarti menyembah. Yang tak kalah sulitnya adalah budaya menulis. Kartini bisa terkenal hingga Den Hag, bahkan ia sempat akan menerima beasiswa ke Belanda karena tulisannya yang menceritakan budaya jawa yang ditemuinya. Namun, beasiswa itu tidak diterimanya karena ia sudah menerima pinangan bupati Rembang.
Kisah lain yang mencoba disampaikan sang pengarang adalah kehadiran ibu kandung kartini yang tidak dianggap sebagai anggota keluarga adipati. Saat kartini masih kecil, Ayahnya menikah lagi dengan seorang raden ayu untuk mendapatkan jabatan sebagai seorang adipati. Sosroaminoto, sang ayah awalnya menolak untuk menikah lagi. Namun, istrinya meyakinkan bahwa ia rela dimadu demi kebahagiaan suami dan kehormatan anak-anaknya. Akibatnya, setelah menikah lagi, darsih harus tinggal di rumah belakang dan tidak mendapat gelar sebagai Mas Ajeng. Sebagai anak yang berbakti, kartini Meminta kedudukan yang seharusnya dimiliki oleh ibunya.

Pada akhirnya, semua yang diceritakan dalam film ini mengansung pesan bahwa sebagai wanita, apapun kedudukannya ia tetap memiliki kewajiban untuk mengabdi. Ibunya Kartini bercerita alasan dibalik nama trinil yang menjadi nama kecil kartini "Kenapa la [lO] harus dipangku untuk menjadi il? Karena seseorang yang dipangku hidupnya akan tenang." saat ini, ketika budaya itu tidak ada, wanita semakin liar sikapnya. Banyak yang akhirnya tidak menyadari kedudukannya sebagai seorang wanita. Kesetaraan gender seolah disalahartikan untuk menindas laki-laki yang dianggapnya tidak berguna. Kartini mengajari pada kita bahwa wanita cukup mengangkat pena dan meliarkan pikirannya. Tentu dalam tempat dan konteks yang tepat. Ketika seorang wanita sudah memiliki kedudukan, ia tempat membutuhkan seorang pendamping hidup dan pada akhirnya pengabdian harus ia tunaikan. 

Comments

Popular posts from this blog

Resensi Novel “Hujan” Karangan Tere Liye

Perjuangan Tanpa Batas Sang Jenderal (Review Film Jenderal Soedirman)

Kirab Haul Mbah Sogol: Momentum Memutar Ulang Sejarah