Kekuatan Tekad Seorang Abah
Bagi
sebagian orang, hanya mengenyam pendidikan hingga bangku SMP akan menjadikan
dirinya merasa kecil dan beranggapan akan memiliki masa depan yang gelap, penuh
kesusahan dalam kemiskinan. Namun tidak halnya dengan KH. Muhammad Chusaini.
Lelaki yang akrab disapa Abah Chusaini justru menuai kebrhasilan dalam hidupnya
sekalipun hanya lulus SMP. Terlahir sebagai salah satu putra dari dua belas
bersaudara menjadikan dirinya mengalami kekurangan dari segi ekonomi. Setelah
lulus SMP NU Malang, beliau membantu orang tuanya berjualan di pasar. Tetapi,
kebosanan yang melanda dirinya akhirnya menjadi sebuah batu loncatan untuk
memilih mondok dan melanjutkan hidup. “Saya pikir, kalau begini terus saya
tidak akan bisa maju.”
Saat
berusia 19 tahun, suami dari Nyai Hj. Dewi Wardah ini memutuskan untuk nyantri
di pondok pesantren Tahfidzil Quran Asy-Syadzili, Pakis. Usahanya dalam menghafal
alquran tidaklah main-main sekalipun saat itu usia beliau sudah 19 tahun dan
hanya bondo nekat ngapalno. Terbukti, hanya dalam kurun waktu 15 bulan,
beliau sudah bisa mengkhatamkan hafalannya 30 juz. Untuk memperlancar
hafalannya, beliau seringkali ikut serta atau menggantikan kyainya menghadiri
khataman ketika beliau berhalangna hadir. Setelah lulus dari asy-syadzili,
kemudian beliau melakukan tabarukan ke beberapa pesantren, yakni di Jampes,
pondok Al Ihsan Pakisaji, dan pondok pesantren Mojosari, Nganjuk. selama enam
tahun lamanya.
Beberapa
tahun kemudian, beliau merintis pondok pesantren yang diberi nama riyadhus
sholihin. Pesantren tersebut berada di kelurahan Sukoharjo, Klojen. Tak lama
berselang, berdirilah pondok pesantren putri yang diberi nama nurul furqon.
Meski perjalanannya penuh liku, namun pada akhirnya beliau bisa menuai
kebahagiaan melalui santri-santri yang lahir dari pondok pesantren yang beliau
asuh sampai sekrang.
Pondok
pesantren putra maupun putri adalah pondok pesantren khusus hafalan alquran
yang santrinya minimal berusia SMA. Banyak cerita kesuksesan yang lahir dari
alumni. “Di sini tidak semua kuliah, tapi, ada juga yang lama-kelamaan ingin
kuliah karena melihat teman-temannya yang kuliah.” Sebagai seorang ayah, abah
pun mencarikan beasiswa yang bisa membiayai kuliah para sntrinya itu. “Ada yang
sampai lulus menjadi dokter dan mendirikan pesantren sekembalinya mereka ke
daerahnya masing-masing.” Tutur abah.
Keberhasilan
beliau menjadi seorang kyai dalam mendidik santrinya tak lepas dari pengajaran
yang ditanamkan oleh kedua orang tuanya. Sejak kecil abah dididik dengan
ketegasan dan kedisiplinan. Orangtuanya sangat keras dalam mendidik anaknya,
terutama dalam hal mengaji. Sebelum mengaji di pondok pesantren, abah sudah
menerima pengajaran alquran dari beberapa kyai di Malang. ketegasan inilah yang
juga diajarkan abah kepada putra-putrinya. Ketiga putranya dipondokkan setelah
lulus dari madrasah ibtida’iyah dan diharuskan menghafal, hingga ketiganya bisa
mengkhatamkan hafalannya saat lulus SMA. “Alhamdulillah ketiganya bisa dapat
beasiswa kuliah hingga S2 berkat hafalannya.”
Abah
seringkali mengatakan bahwa siapapun bisa menghafalkan alquran asalkan dia mau
dan berusaha dengan sekuat tenaga. Tak peduli anak itu berasal dari keluarga
kaya ataupun miskin, yatim ataupun tidak. Semuanya bisa menghafalkan Alquran.
Kepada santrinya abah selalu berpesan untuk selalu menjaga istiqomahnya dalam
setoran, harus seimbang antara nambah dan murajaah. “Quran iku lek dideleh
ndek ngarep, wes talah kabeh katut.” Alquran itu ketika ditaruh dimuka
(diutamakan) semuanya akan ikut (berhasil).
Bagi
abah, sebagai seorang guru, tidak ada yang lebih membahagiakan selain melihat
santrinya bisa keluar dari pondok dengan membawa hafalannya yang lancar,
terlebih jika di rumahnya ia bisa mendirikan pondok pesantren tahfidzil quran
juga.
Comments
Post a Comment