Sajakku yang Hilang
Kemana hialngya sajak-sajak itu? Sudah
kucari di mana saja tak kutemukan. Sudah kutelusuri jalanan panjang namun tak
jua kuketahui keberadaannya. Kemana hilangnya sajak-sajak itu?
Telah kukumpulkan sajak-sajak cinta itu
sejak puluhan tahun lalu. ketika aku masih mengerti rasanya jatuh cinta. Ketika
aku masih merasakan nikmatnya rindu. Ketika aku masih mendengar bising rayuan setan
untuk menyentuh dirimu. Sajak yang aku tulis di setiap malam-malam panjang
sebari meneguk segelas kopi yang selalu ku sukai aromanya. Di bawah sinar lampu
yang kuredupkan, dan headset yang terpasang di telinga mengalunkan nada-nada
sendu menghidupkan kerinduan yang menggebu. Di sanalah sajak-sajak itu
terlahir. Dari embrio bernama cinta yang aku sendiri tak tahu siapa ayah dan
ibunya.
Kini, sajak-sajak itu hilang. Hanya tinggal
sederetan kata-kata yang tertuang dalam buku tebal berwarna coklat. Hanya tinggal
kalimat-kalimat panjang yang membentuk daratan kenangan. Aku mencari sajakku
yang hilang. Yang hendak kutulis dalam jatuh cintaku yang kedua. Tapi, aku
tidak menemukannya.
Aku mengingat keberadaannya sekali lagi.
Tetap nihil. Sajak itu tidak ketemu. Lalu, aku bercerita pada langit mendung
dan barisan-barisan awan yang kata dirinya adalah awan citrus. “Aku
mencintainya. Mungkin.” Aku membuka ceritaku dengan nada menggantung. “Yah,
mungkin. Bagaimana aku bisa jatuh cinta untuk kedua kalinya? Di saat dia
sendiri sudah tidak mungkin memilihku. Bagaimana bisa?” aku mengehntikan
kalimatku. Terlalu sulit untuk menceritakan semuanya. Bahkan pada awan yang tak
mungkin bisa mengadu padanya. “Aku kehilangan sajak untuk menceritakan tentangnya,
yang kedua kali. Bisakah Kau membatuku menemukannya?” aku gundah. Diam dan awan
menjawabnya dengan hujan. Hujan yang panjang dan membawa arus kejernihan.
Aku mengikuti air mengalir. Aku berharap
menemukan sajakku yang hilang, agar aku bisa menceritakan kisahku pada dunia.
Agar aku bisa dikenal menjadi penyair cinta yang paliing populer. Tapi, sekali
lagi aku tak menemukannya. Air hanya membawaku pada got-got rusuh yang sudah
lama tidak dibersihkan oleh para warga. Air membawaku pada laut asin yang
berisikan ikan-ikan yang sedang bercumbu rayu berangkulan, menghalau dingin
bersama kekasih mereka. Membuatku iri dan semakin ingin cepat menemukan sajakku
yang hilang.
Aku kembali menatap langit. Awan itu masih
ada. Mungkin menungguiku. Aku mencoba merangkai kaliimatku “Bagaimana aku bisa
mengatakan padanya bahwa aku mencintainya? Aku sudah tidak berumur muda lagi,
sisa hidupku hanya tinggal menghitung tahun dengan jari. Dia pun sudah tidak
mungkin berhasrat dengan wanita. Tidak lucu kan kalau kita dijuluki pasangan
terenta yang menikah di KUA. Hahaha” aku tertawa sendiri. menyadari betapa
bodonya mencintai lelaki yang pernah menolakku dimasa muda.
Aku diam lagi. Masih memikirkan sajakku
yang hilang. Aku mencarinya di sekitar rumah lelaki yang ak cintai itu. Dan
tetap tidak ada. Dirinya juga tidak ada. Entah kemana. Hanya dengan sajak itu
aku bisa menuliskan bahwa aku merindukannya. Agar ia kembali dan agar ia
mengerti bahwa aku mencintainya dua kali di dunia ini.
Kutanyai banyak orang, ku datangi banyak
penyair dimana aku bisa menemukan sajakku. Tapi, mereka malah memakiku dengan
berkata aku nenek tua yang gila. “Mana ada nenek-nenek mencari sajak cinta
kedua? Usia nenek itu sudah seharusnya berdzikir ingat pada yang kuasa. Bukan
malah mencari sajak.” Ada benarnya juga cacian mereka. Tapi, tidak. Aku bisa
bertasbih aku bisa memuji tuhanku jika aku menemukan sajakku itu. Sungguh. Aku
tidak penah menanggalkan tasbihku di setiap malam sebelum sajakku hilang. Tapi,
aku merasa tuhan tidak lagi ingin melihatku terus menerus duduk bersila
menghadap kiblat untuk bertasbih. Tuhan ingin aku bangkit dan ingin membuatku
bahagia dengan merasakan cinta di akhir-akhir usiaku. Sayangnya, sajak itu
hilang. Entah dibawa siapa.
Bertahun-tahun sajak itu aku cari. Tapi
tidak juga kutemukan. Hingga berganti-ganti presiden, aku tetap tidak
menemukannya. Hingga suatu surat muncul di depan rumahku. Seorang tukang pos
berjubah putih memberikannya padaku. Memang, dunia ini sudah aneh. Tukang pos
memakai jubbah. Batinku. Aku buka amplpp berwarna hijau daun itu. Pelan-pelan,
aku menybeknya. Kertas di dalamnya bersinar. Bukan kertas HVS putih yang baisa
dipakai oleh para pegawai itu. Tapi, sebuah daun mapel coklat yang indah. Aku
terpukau pada surat yang ada di tanganku ini. Sementara tukang pos itu
menungguiku. “Kenapa hanya berdiri di depan pintu, masuklah!” kataku.
Aku memboak-balik kertas mapel itu. Dan
baru aku sdari bahwa kertas itu bertuliskan sesuatu yang indah.
Undangan gala premier launching
sajak cinta kedua
“Sungguh? Apa ini sajak cinta kedua yang
selama ini aku cari?” tanyaku pda tukang pos yang bersahaja itu.
Tukang pos itu mengangguk. “Lalu, bagaimana aku bisa berangkat ke sana?
Tidak dituliskan tempat dan waktunya di surat ini.”
Tukang pos itu kembali tersenyum dan
mendekta. “Berbarignlah. Dirimu suda terlalu lelah mencari sajakmu yang
hilang.” Aku pun berbaring. Tanpa aku sadari, aku sudah terbang bersama tukang
pos itu. Aku melihat jasadku tersenyum di sofa, sendagkan aku bhagaia akan
menghadiri gala premier sajak cintaku yang hilang.
Di sana, di mihrab yang indah bernuansa
putih, aku melihat seorang lelaki berdiri dengan pakaiannya yang serba putih.
Lelaki itu sangat tampan. Sepertinya, aku pernah melihatnya. Batinku. Ketika
melewati cermin, aku mendapati diriku muda kembali. Ini seperti potongan
peristiwa masa lalu yang sangat ingin kuputar kembali. Seperti dalam drama
korea yang selalu berujung indah. “Kemarilah!” panggil lelaki itu.
“Aku telah menemukan sajakmu yang hilang.”
Katanya.
“Dimana?” tanyaku.
Dia mengelaurkan secarik kertas dan sebuah
pena emas, “Di sini” tunjuknya pada sebuah gambar warung yang ia lukis.
Aku tersenyum bingung, dia pun memberikan
kertas itu padaku “Sajakmu telah aku curi. Agar kau tidak pernah membagi rasa
rindu dan cintamu pada manusia di dunia sana. Karena mereka terlalu kejam.
Mereka terlalu pendengki untuk mengethaui betapa besar dan tulus perasaan yang bersemayam
dalam kalbumu itu.” Dia tersenyum, aku tersipu “Aku juga menyimpannya di hatiku
agar orang lain tak melihat bahwa aku yang mencuri sajak itu. Agar Kau selalu
berfikir tentangku ketika Kau mengingat sajakmu yang hilang itu. Cukup aku saja
yang mengetahui semua tentang itu.”
“Azwah, aku tahu kau mencintaiku sejak
dulu, bahkan hingga berkali-kali. Aku juga mencintaimu, tapi bukan dengan cara
kita bisa bersama seperti dau merpati yang selalu terbang bergandengan. Bukan
seperti nyamuk yang menempel dimanapun tempat. Aku mencintaimu dengan cara yang
berbeda. Aku curi sajak ini agar aku bisa melantunkan doa-doa pada tuhan agar
aku bisa disandingkan denganmu disini. Di surga. Bukan di dunia.” Aku meleleh.
Air mataku bercucuran. Sungguh telah kutemukan sajakku pada dirimu, tapi itu
tidak lagi penting. Yang terpenting adalah dirimu. Karena dirimulah sejatinya sajak
itu.”
***
Aku menutup diary milik kekasihku itu.
Secangkir kopi panas tadi telah habis sejak tadi. Tinggal cangkir putih yang menyisakan
serbuk rindu yang masih tersisa di sampingku. Dengan soundtrack alunan
musik jazz kesukaan kita. Yah, kesukaan kita. sudah lama kita tak
mendengarkannya. Lagu yang akhirnya membawa kita membina mahligai cinta yang
indah. Ku ambil pena dan ku buka lembaran kosong pada diary itu. Akan ku
tuliskan bagaimana aku mencintaimu, sejak pertama kali melihatmu hingga detik
ini. Aku mendaratkan pena itu. Namun, kemudian aku menyadari satu hal. Dimana
sajakku?
Comments
Post a Comment