Payung malaikat


Setelah menyelesaikan ujian terakhir siang itu, aku bergegas menuju sebuah warung lesehan sederhana di gang kecil yang tak jauh dari kampus. Kupesan segelas jus melon dan kentang goreng. Warung itu masih sepi ketika aku datang, tak lama kemudian, seluruh meja dipenuhi oleh muda-mudi yang datang bersama pasangan atau rekan-rekannya.
Hujan tiba-tiba mengguyur dengan derasnya. Aku yang tak membawa payung siang itu memutuskan untuk tetap di warung yang mulai padat pengunjung. Aku memesan lagi secangkir kopi susu panas. Sambil memandangi jalan aspal berlubang yang ditetesi hujan, aku juga menikmati alunan musik klasik yang diputar pemilik warung. Membuatku semakin kerasan ada di sini.
Kilat menyambar sebuah pohon di depan warung dan mengagetkan banyak orang, termasuk aku yang menjerit menyaksikan langsung kejadian itu. Tepat saat itu, seorang lelaki paruh baya memasuki warung dengan tubuhnya yang basah kuyup. Ia sampai meloncat kaget karena teriakanku. Buru-buru aku minta maaf padanya saat kesadaranku mulai kembali.
“Maaf, bukan maksudku mengagetkanmu!” kataku sambil mendekatinya.
“Iya nggak masalah.” jawabnya lembut.
Sesaat aku kembali ke tempat dudukku, sedang lelaki itu masih celingukan mencari meja kosong yang nyaman. Sayangnya, semua meja sudah penuh. Hanya ada satu meja kosong yang kebocoran.
“Sini, duduk sama aku!” aku menawarinya satu meja denganku.
Lalu ia duduk berhadapan denganku. “Tak mau pesan sesuatu?” tanyaku sambil tersenyum.
“Tidak, aku hanya ingin berteduh sebentar.”
“Kau bawa payung?” tanyaku heran saat aku menyadari ia menggenggam sebuah payung merah.
“Ya, aku membawanya.”
“Hanya orang bodoh yang membawah payung tapi, tidak dipakai dan memilih tubuhnya basah kuyup.” candaku padanya. Tawa kami pecah, seiring dengan bertambah derasnya hujan.
Setelah lama berbincang ringan dengannya, hujan mulai reda. Kami memutuskan untuk pulang.
“Kamu bisa bawa payung ini.” ucapnya sebelum berpisah.
“Untuk apa? Hujannya sudah hilang.”
“Mungkin Kamu bisa memakainya nanti, besok, atau kapanpun hujan datang lagi.” jelasnya sambil menyodorkan payung merah itu padaku.
“Kenapa tak Kau pakai sendiri?” lelaki itu menggeleng.
“Anggap saja aku meminjamimu.” payung itu kini sudah berpindah tangan padaku.
Lelaki itu buru-buru pergi sebelum aku sempat bertanya “Bagaimana aku mengembalikannya?”
***
Kegiatan di kampus masih memaksaku untuk masuk di hari libur itu. Siang yang terik itu tiba-tiba menjadi awan gelap yang siap mengguyur bumi dengan air yang dikandungnya.
Di tengah perjalanan, hujan benar-benar turun dengan derasnya. Aku berteduh di halte dekat kampus untuk sementara waktu. Untuk naik angkutan menuju tempat kos, keuanganku tidak memadai. Ini akhir bulan, dan bulan depan aku harus pulang kampung. Sedetik kemudian, aku ingat akan payung merah lelaki itu. Sengaja aku menaruhnya di dalam tas dan tak memindahkannya agar bisa ku pakai saat hujan turun secara tiba-tiba.
Tak akan kubiarkan dirimu terkena setetes hujan pun. Tanpa ku sadari, tulisan itu menggantung di gagang payung. Aku tersenyum kecil lalu melangkah pulang.
Aku menembus hujan dengan payung merah polos itu. Entah mengapa, ada kehangatan yang ku rasakan di sana. Juga wajah lelaki itu, pemilik payung ini yang tiba-tiba tergurat di ingatanku. Aku tersenyum sambil memgangi payung itu. Hujan semakin deras, tapi, aku tak merasakan cipratan air pada tubuhku. Payung itu bak payung ajaib yang bisa melebar ketika hujan semakin deras. Membuatku semakin nyaman dan merasa ada seseorang yang melindungiku. Ah lelaki itu.
Tempat kosku sudah di seberang jalan sana. Aku menunggu lampu merah untuk pejalan kaki berubah menjadi hijau. Jika aku sembarangan meyebrang dalam kondisi hujan begini, bisa-bisa nyawaku melayang. Pengendara jalan raya seringkali malah ugal-ugalan saat hujan turun. Mereka saling menyalip untuk sesegera mungkin sampai tujuan dan terbebas dari guyuran hujan.
Aku berjalan pelan dengan payung merah di depan antrian kendaraan yang berhenti karena lampu merah. Disaat bersamaan, sebuah mobil melaju kencang menerobos lampu merah dan menyenggol lengan kananku. Membuatku terpanting dan payung merah itu lepas dari genggamanku. Ia terbang saat lampu merah berubah menjadi hijau. Kendaraan-kendaraan yang sudah tak sabar untuk melaju kencang melindas begitu saja payung merahku.
Aku berusaha meraihnya kembali dengan rasa sakit di lenganku yang kucoba tahan. Payung itu kini sudah menjadi beberapa bagian. Besi-besinya patah, dan gagangnya menjadi dua.
“Bodoh! Apa yang harus aku katakan pada lelaki itu?” kutukku pada diri sendiri ketika sampai di kamar kos. “Lagi pula, dimana aku bisa menemukan lelaki misterius itu? Ia tidak meninggalkan namanya, alamatnya, atau kampusnya.” gumamku seorang diri.
Keesokan harinya, aku berkeliling kota mencari tukang servis payung. Sialnya aku tak menemukan seorang tukang servis payung pun. Hingga tiba hari dimana aku harus pulang kampung.
“Ini payung siapa sih? Kalau sudah rusak itu dijual aja di tukang rosokan. Daripada bikin rumah berantakan.” ibu kosku mengomel pagi itu melihat payungku tergeletak di meja ruang tamu.
“Ini punyaku, Bu.” kataku sambil berpamitan padanya.
“Bawa sekalian ini payungmu kalau mau pulang kampung.” mau tak mau, aku mengambilnya dan memasukkannya ke dalam tas. Payung tak berguna! Kalau pun turun hujan, percuma saja pakai payung ini. Pasti akan kehujanan juga. Kutukku dalam hati.
***
Siang itu dikampungku cuaca sedang terik-teriknya. Mumpung belum hujan, aku mempercepat langkahku. Rumahku tinggal satu kilo meter lagi. Sial juga karena tak ada angkutan umum yang lewat sini. Hanya ada ojek yang harganya selangit.
Tanpa diduga, hujan tiba-tiba turun. Aku langsung mencari tempat berteduh di latar toko yang sedang tutup. Payung merah itu sudah tidak berguna lagi. Umpatku.
Dari kejauhan, seorang lelaki berlari menuju padaku. Ia pasti sama ingin berteduhnya dengan diriku. Aku tak menghiraukannya sampai dia menepuk pundakku.
“Hai, Kamu cewek yang di warung lesehan itu kan?”
Aku mencoba mengingatnya lagi. “Oh ya, Kamu yang meminjamiku payung merah itu bukan?”
Dia menggangguk. Aku mengambil payung merah itu dari dalam tas.
“Ini payungmu. Terima kasih ya. Setelah hari itu, payung ini melindungiku selalu dari hujan. Tapi maaf, payung ini sekarang rusak, dan aku belum sempat memperbaikinya. Terima kasih juga untuk sebaris kalimat yang Kau gantungkan di gagang payung ini. Membuatku merasa nyaman dan terus mencarimu. Sekali lagi maafkan aku ya !”
Dia diam beberapa saat. Pasti dia kecewa. Batinku. “Aku memberimu payung dan Kau malah merusaknya?” tanyanya dengan nada tinggi. Aku hanya menunduk malu sekaligus merasa bersalah. Pasti dia menilaiku cewek tidak tahu terima kasih. “Dasar bodoh! Kamu harus bayar payung ini! Lima puluh ribu!”
“What? Lima puluh ribu? Kan Kamu yang maksa aku buat pakai payung ini.”
“Tapi, payung ini payung dagangan. Aku ini sales payung, dan Kamu harus beli payung ini Karena Kamu sudah memakainya dan merusakkannya pula.” ujarnya emosi.
“What?” aku melongo mendengar ucapannya. Tipuan macam apa ini?
“Aku nggak mau bayar. Seenaknya saja memeras orang!”
“Oke, kalau Kamu nggak mau bayar, aku akan jual gelang emas kamu.”
Gelang emas? Aku meraba pergelangan tangan kananku. Ya Tuhan. Gelang emasku? Dia mengambilnya saat menyodorkan payung saat itu.
“Gila ya! Ini namanya pemerasan! Aku akan laporin Kamu sama polisi!”
“Polisi itu bapak gue. Hahaha!” tawanya meledek. Terpaksa ku bayarkan lembaran rupiah biru satu-satunya pada lelaki brengsek itu.
“Ini gelang Kamu. Hati-hati ya kalau memakai perhiasan!” katanya sambil memasangkan gelang emas itu di tangan kananku.
“Bye!!!” dan dia langsung pergi begitu saja. Aku hanya bisa melihat punggungnya yang menembus hujan dengan perasaan dongkol. Ah, dasar lelaki itu!

30/12/15

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Resensi Novel “Hujan” Karangan Tere Liye

Perjuangan Tanpa Batas Sang Jenderal (Review Film Jenderal Soedirman)

Kirab Haul Mbah Sogol: Momentum Memutar Ulang Sejarah