Kebenaran Terabaikan

Hujan sudah mulai reda. Hanya tinggal rintik-tintik kecil yang kasat mata. Setengah jam aku bermain di bawah hujan dengan gadis cilik itu.
“Kakak, siapa nama Kakak?” Tanya gadis kecil itu.
Aku tersenyum, lalu berjongkok menyamakan tinggiku dengannya. “Aku Bila.”
“Kakak wartawan ya?” tanyanya penuh selidik.
“Kok kamu tahu? Iya, kakak wartawan. Kenapa? Kamu juga ingin jadi wartawan?”
“Iya. Aku ingin jadi wartawan. Karena kalau aku jadi wartawan, aku bisa menyampaikan kebaikan kepada orang lain. Aku bisa menyiarkan kabar dari seluruh dunia. Aku bisa menolong ornag lain yang perlu pertolongan.” Jelasnya lugu. Aku tersenyum, dia belum tahu bahwa menjadi wartawan tak semudah yang ia pikirkan. Gadis itu lalu meninggalkanku dan masuk ke rumahnya yang sederhana.
***
Di sebuah gedung berlantai dua, seorang wanita tengah sibuk menghubungi seseorang. Berkali-kali ia memanggil tapi tak ada jawaban. Bahkan, sekarang nomor yang ia tuju tidak aktif.
“Kirimi dia pesan untuk menemui saya besok. Jam 7 pagi. Kalau dia besok tidak datang, dia harus siap resign dari sini.” Kata atasannya tegas. Sasa mendelik saking terkejutnya. Tak ada pilihan lain, ia hanya menggeleng, dan segera mengirimkan pesan untuk temannya sesuai perintah.
***
Aku langsung membaringkan tubuhku setelah sampai rumah dan membersihkan diri. Waktu sudah mulai malam. Sementara aku belum berminat untuk keluar kemanapun. Tidak juga ke kantor untuk mengantarkan berita hari ini. “Bisa aku kirim via email kan?” Pikirku.
Aku raih tas yang tergeletak di atas meja. Ku aktifkan ponselku. Tanpa menunggu lama, muncul 30 panggilan tak terjawab dari nomor yang sama. Sasa. Disusul dengan pesan baru darinya pula.
Bila, Bu Dewi mnt Kau mnemuinya di kantor bsk pg jam 7. Klo tdk dtg, bersiaplah utk diresign. D kntr sdg ada mslh Bil, jd aku mhon dtg ya!
***
“Tok tok tok” pintu kaca itu aku ketuk untuk ketiga kalinya. Tetapi, tidak ada jawaban dari orang yang ada di dalam. Kantor masih sepi.
“Masuk,” barulah sang empunya ruangan menyahut ketukanku.
“Selamat pagi, Bu!” sapaku pada Bu Dewi yang sudah memasang wajah sinis.
“Kamu tahu, gara-gara Kamu, kantor kita mau ditutup!” satu kalimat yang diucapkannya langsung menusuk jantungku. Aku sudah biasa menghadapi bentakan seperti ini di kantor jika telat mengumpulkan berita atau datang telat. Tapi, kali ini benar-benar mengejutkan. “Kamu tahu, Kau sudah menulis berita yang fatal tentang berita korupsi yang dilakukan wali kota kita.”
“Lho, itu kan sesuai fakta, Bu, dan berita itu sudah lolos edit.” Jawabku mengelak.
“Dengar ya! Tak ada yang berani memberitakan tentang masalah ini. Karena semua surat kabar di provinsi ini adalah di bawah kekuasaan dia. Dia bisa membeli semua surat kabar, dan mudah pula menjatuhkannya.”
“Ibu rela menjual surat kabar kita yang berisi kebohongan jika Ibu menutupi kebenaran hanya karena rupiah. Rendah! Saya menjadi wartawan untuk menyampaikan kebenaran. Bukan untuk berpolitik atau berkoalisi dengan siapapun. Profesi saya profesi independent.”
“Jangan sok mengajari saya Kamu ya! Saya lebih senior dari Kamu!” bentak bu Dewi. Aku diam saja, berdebat dengan orang ini sama saja dengan menantang maut. “Saya permisi, Bu! Masih ada tugas liputan yang harus saya kerjakan.” Kataku sambil berlalu keluar ruangan.
 Tak jauh dari kantor redaksi, ku lihat ada sedikit keributan. Tepatnya di depan café yang ku masuki kemarin. Aku membawa sepeda motorku untuk lebih mendekati tkp.
Petugas satpol pp menebas habis rumah-rumah gubuk dan warung kopi illegal di depan café itu. Isu ini memang sudah lama aku dengar, bahwa bangunan itu masih milik Negara dan mereka yang menempati di sana tidak ada dasar apapun. Menurut kabar yang aku dengar pula, lokasi itu akan dijadikan pertokohan megah seperti deretan café di depannya. Memang menguntungkan, tapi, bagaimana dengan para penduduk itu?
“Ibuk! Ibuk! Ibuk!” diantara kericuhan itu ku dengar suara anak menangis memanggil ibunya. Aku mencari-cari suara itu, suara yang taka sing lagi bagiku. Ku beranikan diri menerobos lokasi.
“Maaf, Anda dilarang masuk.” Cegah seorang polisi yang berjaga.
Lalu ku tunjukkan kartu persku, dan tak lama dia membukakan jalan untukku masuk.
Tak ku hiraukan keributan di kanan-kiriku yang meledak-ledak. Baik warga maupun satpol pp bersuara keras mempertahankan argument mereka. Masih ku cari suara anak kecil itu yang terus memanggil nama ibunya. Hingga ku dapati seorang gadis bergaun merah muda selutut duduk sambil menangis di pojok kampung ini.
Gadis itu? Batinku. Segera ku berlari dan meraihnya.
“Kamu kenapa menangis, Sayang?” Tanyaku sambil memeluknya. Aku ikutan panik. “Mana ibumu?”
Seorang warga mendekatiku. Dia bercerita bahwa ibu gadis cantik ini sudah meninggal satu tahun lalu. Bapaknya entah kemana, dan dia tinggal bersama neneknya. Bersamaan dengan penggusuran ini, neneknya wafat. “Neneknya sakit jantung, Mbak. Waktu tadi ada satpol pp ke sini sambil memberi tembakan peringatan, sakitnya kambuh, dan dia langsung meninggal.”
Aku terperangah. Malang nian nasib gadis ini. “Satpol pp tahu kalau ada orang yang meninggal?” tanyaku memastikan.
Orang tersebut mengangguk, dan memberi penjelasan kalau biarpun satpol pp tahu, tapi, mereka tetap melakukan penggusuran secara paksa. Aku semakin memeluk erat gadis kecil ini. Sekejap kemudian, aku meminta bapak itu untuk mengurusi jenazah neneknya, sementara aku membawa gadis ini pergi dari tempat ini.
“Kericuhan tidak baik untuk kejiwaannya.” Jelasku padanya. Bapak itu mengangguk, dan aku langsung membonceng gadis cilik itu. Tak lupa, aku mengambil gambar kericuhan suasana di sini.
Hari mulai malam. Aku masih memandangi monitor yang sedari tadi hanya terisi satu paragraf berita. Naluriku berkata ingin sekali membuat berita tentang ketidak berperikemanusiaan satpol pp tadi. Tapi, bagaimana jika hal itu menimbulkan konflik lagi?
“…Aku ingin jadi wartawan. Karena kalau aku jadi wartawan, aku bisa menyampaikan kebaikan kepada orang lain. Aku bisa menyiarkan kabar dari seluruh dunia. Aku bisa menolong ornag lain yang perlu pertolongan.” Tiba-tiba, aku teringat percakapnku dengan gadis cilik itu tempo hari. Mengapa harus takut? Aku bisa menolong ribuan orang jika aku menulis tentang hal ini. Jariku bergerak lincah sambil terus berpacu dengan waktu. Tanpa menunggu lama, kertas A4 di komputerku terisi penuh oleh tulisan.
SATPOL PP PERENGGUT NYAWA
Sebuah kisah mengharukan tentang seorang gadis kecil yang ditinggal mati neneknya akibat penggusuran yang dilakukan satpol pp. Pada saat saya tiba di lokasi, gadis ini tengah menangis di antara keributan yang terjadi. Padahal, secara psikologis, kericuhan dan keributan harus dihindarkan dari anak kecil. Ironisnya, meskipun tahu ada seorang nenek meninggal dunia, penggusuran tetap dilakukan dengan kerasnya. Gadis kecil yang menangis di pojok kampung tersebut juga dibiarkan tanpa ada yang peka untuk mengangkatnya dan menenangkannya. Blablabla.
Setelah membaca ulang tulisan tersebut, aku segera menyerahkan kepada editor dan pulang untuk menemani gadis kecil yang ku tinggal di rumah tadi.
***
Bil, cptn loe k kntor skrg. Ada mslh lg yg hrs loe slesaikan. Pesan singkat dari Sasa langsung merangsangku untuk bergegas ke kantor. Padahal, hari ini aku berencana menghabiskan waktu bersama gadis cilik itu.
“Kurang ajar Kamu, Bila! Kamu benar-benar mau menumbangkan majalah kita? gara-gara berita yang kamu tulis kemarin, Satpol pp datang ke sini dan tak terima dengan pemberitaan mereka.”
“Tapi, itu kebenarannya, Bu! Saya tidak mengada-ada.”
“Kamu tahu, itu adalah proyek pak wali, dan kalau sampai pak wali mendengar kabar ini, kita benar-benar akan ditutup!”
Aku diam. Membela diriku pun percuma. Kejujuran orang-orang di kantor ini telah dibeli oleh wali kota pengecut itu. Maunya citranya baik, tapi, kelakuannya seperti setan.
“Keluar Kamu dari ruangan saya!”
Di luar ruangan Bu Dewi, para wartawan lain sudah menyambutku dengan cemas. Mereka menanyaiku tentang kejadian yang kulihat kemarin.
“Sudahlah, Bil. Kamu kan tahu kalau kita harus mematuhi peraturan. Bahwa pemberitaan apapun tentang orang itu tidak boleh diberitakan secara mring.”
Andai Kamu tahu, Sa. Berita tentang penggusuran itu aku hadiahkan untuk gadis cilik yang sekarang berada di rumahku. Aku tak ingin ada korban lain seperti dirinya dalam penggusuran lain di negeri ini. Jika mereka harus menggusur, gusurlah dengan penuh kebijaksanaan.
 Dua hari setelah kejadian itu, aku resign dari kantor. Tak ada untungnya menjadi wartawan tanpa kejujuran. Aku juga menitipkan anak kecil malang itu di sebuah panti asuhan. Karena aku tak bisa merawatnya dengan baik. Aku memutuskan untuk blogging. Menjadi blogger tak lebih buruk daripada menjadi pengangguran. Aku masih bisa menyampaikan kebaikan kepada orang lain lewat tulisanku.
***
Kantor Majalah Ternama Ditutup Usai Pemilihan Wali Kota
Aku tersenyum membaca koran pagi itu. Kantor majalah itu ditutup. Dalam setiap perbuatan memang mengandung konsekuensi. Salah satunya adalah kehancuran. Tak ada yang tahu pasti alasan penutupan kantor itu. Tapi, yang jelas aku tahu. Kantor itu ditutup karena sudah tidak layak lagi menerbitkan berita dan isu yang mengandung kebohongan. Semua hanya untuk kepentingan politiknya saja.
“Maaf, Bu. Apa kita perlu meliput penutupan kantor majalah itu?” Tanya salah seorang pegawaiku.
“Tidak perlu.” Aku mendirikan sendiri perusahaan surat kabar. Memang lingkupnya masih kecil. Tapi, aku beruntung karena kita tak pernah memberitakan tentang kebohongan. Tapi, apakah surat kabar yang jujur dan tanpa ada unsur politik seperti ini tak akan berkembang? Akankah surat kabar ini tetap menjadi kecil seperti sekarang?

“Ah, biarlah saja. Yang penting aku bisa mendapatkan kepuasan batin dengan tidak membohongi orang lain melalui berita yang kita terbitkan.” Oh ya, gadis kecil itu kini sudah besar. Dialah salah satu alasanku mendirikan surat kabar ini. Dia bergabung di redaksiku, dan dia benar-benar menepati janjinya untuk menjadi wartawan penyampai kebenaran. 

Comments

Popular posts from this blog

Resensi Novel “Hujan” Karangan Tere Liye

Perjuangan Tanpa Batas Sang Jenderal (Review Film Jenderal Soedirman)

Kirab Haul Mbah Sogol: Momentum Memutar Ulang Sejarah