Pasukan Ratu Kidul yang Mati Diracuni


Sebenarnya sudah lama kudengar tahayul tentang penunggu-penunggu air itu, dan aku sudah sering menceritakannya pula pada bapak. Tapi, aku malah diketawainya sambil berlalu. bapak bilang, tahayul hanya berlaku bagi orang-orang yang memercayainya, dan dia tidak. Makanya dia santai saja berbuat kejahatan di laut tanpa harus takut dikutuk oleh makhluk halus itu.
“Bapak sepagi ini mau mencari ikan?” tanyaku heran melihat bapak sudah menyiapkan jala dan perlengkapan mencari ikan.
Bapak diam saja, nelayan yang satu itu memang aneh. Nelayan pada umumnya mencari ikan pada malam hari, dan pulang pagi hari. Mereka memanfaatkan angin darat dan angin laut dengan baik. Berbeda dengan ayah yang melawan arah angin. Tak wajar!
“Sudahlah, Kau terus menanyaiku setiap pagi, seolah-olah baru kenal aku saja.” Aku hanya diam dan langsung berlalu meninggalkannya.
Tujuh belas tahun aku menjadi anak garam. Lahir dizaman nelayan masih menggunakan perahu gethek, tumbuh dizaman orang-orang sudah mengenal perahu layar, dan sial sekali karena aku besar dizaman nelayan mencari ikan tanpa menggunakan perahu. Dan tentang tahayul penunggu laut itu, orang-orang selalu membicarakannya setiap hari sampai sekarang.
“Dimana bapakmu?” Tanya tetanggaku dengan nada sengau.
Aku menggeleng. Aku memang selalu tidak tahu dimana lelaki berusia 35 tahun itu berada.
“Kata nelayan dari kampung sebelah, ratu kidul sedang kalap. Dia ngamuk karena banyak ikan yang menjadi pasukannya ditangkap secara tidak manusiawi.” lelaki sepantaran bapak itu cerita panjang lebar.
“Memangnya, ada pengaruhnya sama kita?” tanggapku asal. Cerita seperti ini sudah sangat sering ku dengar. Tapi, tak pernah ku lihat kenyataannya. Namanya juga mitos, pastilah itu hanya karangan orang-orang belaka.
Lelaki itu justru melotot ke arahku, “Ya jelas ada!” bentaknya membuatku terlonjak kaget. “Bapakmu itu, musuhnya ratu kidul!”
“Apa???”
“Dia itu menantang ratu kidul dengan memborbardir pasukannya.” aku semakin bingung dengan obrolan ini.
“Ngomong apa sih, Pak? Ngawur deh!”
Wajah lelaki itu merah padam. “Selama ini, yang bikin orang sekampung kelaparan nggak dapat ikan ya bapakmu itu! Yang bikin ombak laut gulung-gulung ngawur itu ya bapakmu!” blablabla.
Orang itu terus mengumpat bapak dengan sumpah serapahnya. “Pokoknya, kalau sampai ratu kidul murka dan menggerus habis kampung ini, bapakmulah yang harus mati duluan!” kalimat serapah terakhirnya itu membuatku bangkit dan ingin memakinya balik. Beruntung, orang itu langsung balik ke rumahnya masih dengan perasaan jengkel pada bapak.
***
Ucapan tetanggaku yang datang ke rumah seminggu lalu masih melekat dan menghantuiku siang malam. Akhir-akhir ini, aku semakin curiga pada bapak yang sering membawa pulang ikan melebihi batas kewajaran. Terakhir, ia membawa sepuluh karung ikan segar yang besar-besar.  
“Bapak dapat ikan dari mana? Banyak banget?” ku beranikan diri untuk bertanya.
Bukannya menjawab, bapak justru berlalu dan kembali menyabet jalanya. Dia pergi ke laut lagi. Hari sudah malam, bapak seolah enggan di rumah. Sehari-harinya bapak pergi dini hari dan pulang tengah malam.
Malam itu gelap, tak ada cahaya bulan, hanya cahaya-cahaya petromax yang menggantung di depan rumah-rumah penduduk. Warung kopi di seberang rumah juga sepi. Tak biasanya seperti ini. Apa mungkin akan hujan? Ah sepertinya tidak. Ini baru Agustus. Aku putuskan untuk masuk kembali, kututup pintu depan dan meringkuk di kamar dengan cahaya petromax yang redup dan keheningan malam yang menegangkan.
“Hai Ifa, bangunlah! Kau memiliki urusan denganku! Bangunlah, Ifa, bangun!” aku segera beranjak dari kamarku. Kudapati sosok wanita cantik dengan mahkota emas di kepalanya dan wangi bunga yang menyengat. Wanita yang berpakaian layaknya kemanten itu berdiri di tengah pintu, matanya mendelik ke arahku.
“Si… Siapa Kamu?” badanku gemetar, bulu kudukku berdiri. Saat aku ingin menjerit memanggil bapak, aku ingat dia sedang tidak da di rumah.
“Panggil aku Nyai Kidul. Aku pemilik wilayah laut kidul ini. Hahahha.” Suaranya sungguh mengerikan. Aku bergerak mundur.
“A… Ada apa Nyai datang ke sini?” tanyaku ragu. Kumohon Tuhan, buat dia pergi dari sini.
“Kamu harus ikut bertanggung jawab atas kesalahan bapakmu, Ifa. Kamu harus jadi pengikut saya. Pasukan saya telah dibunuh oleh bapakmu. Saya butuh pasukan yang bisa membunuh nelayan seperti bapakmu, dan salah satunya adalah Kamu.” Nyai kidul itu semakin mendekat kepadaku.
“Saya tidak mau jadi pengikutmu!”
“PLAKKK!!!” sebuah tamparan keras mendarat di pipiku. Aku tersungkur ke lantai. Hidugku berdarah. “Itu masih belum seberapa sakitnya, Ifa. Kalau Kamu menolak, akan saya bunuh Kamu secara mengerikan!” ancamnya. Aku semakin bergeming,
“Ayo ikut aku sekarang juga!” bentaknya sambil menyeret tubuh mungilku. Kakiku tergores lantai tanah yang keras, tak menunggu lama, darah mengalir dari kakiku. Aku mencoba melepaskan genggamannya. Tapi, dia terlalu kuat untuk kukalahkan.
Sejenak kemudian, Nyai itu menjadi besar. Seolah menjadi raksasa cantik yang mengerikan. Tak ada warga yang melihat kejadian ini. Biar pun aku berteriak tak akan ada yang menolongku.
Aku langsung menghilang bersamanya. Seperti di film ultramen yang bisa menghilang dna muncul dengan sekali kedipan mata. Tanpa aku sadar, aku telah mendarat di tempat indah namun asing. Tak pernah aku jumpai tempat seindah itu selain di tivi tentanggaku.
Tapi, aku mencium bau anyir dan amis yang menyengat, dan banyak ikan dan manusia yang terkapar di sana. Meskipun tak ada darah yang bercipratan, kematian mereka seolah menandakan mereka telah berperang, dan mereka kalah.
“Ini ulah bapakmu! Lihat! Semua pasukan dan pengikutku mati! Sebentar lagi, istana ini juga akan dibombardir olehnya.” Pekik Nyai kidul tepat di telingaku. Lalu, dia menyeretku lagi ke tempat yang gelap, menuruni banyak anak tangga. Aku diseret seperti binatang.
“Bapak!” aku terkejut melihat bapak di penjara itu. Dia baik-baik saja, bahkan tertawa melihat kedatanganku dan nyai kidul.
“Kau bawa anakku untuk menakut-nakutiku? Aku tidak takut, roro kidul!” berani sekali bapak mengajak bercanda nyai ini.
Nyai kidul yang tersulut emosinya langsung memegangkan tongkatnya di tanganku. Tongkat itu menyala dan tanpa sadar, aku langsung menggerakkannya ke arah bapak. Cahaya merah keluar dari tongkat emas itu, aku tak bisa melihat apa-apa, setelah cahayanya hilang, aku melihat lelaki tergeletak tak berdaya di dalam penjara, itu bapakku. “Bapak! Bapak! Maafkan Ifa, Bapak!” jeritku, dan nyai kidul menyeretku kembali ke istananya.
“Ifa! Ifa! Ifa!” aku terlonjak dari tempat tidurku, dengan nafas yang tersengal-sengal dan keringat dingin yang mengucur deras. Beruntung hanya mimpi.
“Ifa! Ifa! Ifa!” terdengar suara warga memanggilku kedua kali. Suara mereka memecah keheningan malam, aku segera berlari dan membukakan pintu untuk mereka.
Segerombolan warga telah menunggu dibalik pintu, aku semakin bingung, mereka menggotong lelaki setengah pinsan, dan langsung memasukkannya ke rumah tanpa permisi. Itu bapakku.
“Bapak! Bapak kenapa?” tangisku pecah. Bapak terbaring di sofa reot dengan nafas megap-megap. Tak ada jawaban. Matanya seolah ingin terpejam, dan mulutnya seolah ingin mengatakan sesuatu.
“Kami tadi menemukan bapakmu di tepi pantai dengan keadaan seperti itu.” Ucap salah satu warga yang ikut menggotong bapak.
Warga yang lain masih ikut menunggui bapak. Bahkan banyak dari tetangga jauh yang mulai berdatangan. Mereka seolah bersimpati atas kondisi bapak.
“I…Ifa, maafkan bapak, Nduk. Terima kasih Ifa sudah memberikan peringatan pada, Bapak. Bukan karena Ifa jika bapak mati, tapi ini karena karma bapak.”
“Maksud Bapak apa sih? Bapak akan terus hidup dan menangkap seluruh ikan di laut.” Jawabku menenangkan. Bukan salahku? Apa mimpi tadi? Jangan-jangan itu kenyataan. Dalam keadaanku yang masih bingung, tiba-tiba bapak bernafas panjang dan itu adalah nafas terakhirnya. Bapak mati. “Bapak! Bapak! Bapak bangun!” tangisku meledak. Kupeluk erat tubuh bapak yang masih bau ikan itu.
Seketika itu, warga bergegas merawat jenazah bapak, dan memakamkannya malam itu juga.
Tujuh hari setelah kematian bapak, seorang dukun datang ke rumah dan mengatakan bahwa kematian bapak adalah akibat dari kemarahan Nyi Roro Kidul karena bapak banyak membunuh pasukannya. Aku menertawai dukun berambut botak itu. Meski aku percaya takhayul, tapi, bodoh jika aku sampai percaya padanya. Di sisi lain, aku berfikir kembali tentang kejadian malam itu. Aku yang dibawa oleh ratu kidul, dan menembak bapak dengan tongkat emas milik tokoh mistis itu.
Hingga tiba-tiba seseorang membuyarkan lamunanku. “Permisi, Mbak. Dengan Mbak Ifa ya?” Tanya seorang wanita paruh baya yang menghampiriku setelah kepergian si dukun botak.
“ Iya, saya Ifa. Anda siapa?” sambutku ramah.
“Saya Susi, peneliti dari Kota Malang. Saya sengaja mengusut kematian bapaknya Ifa diam-diam. Saya penasaran kenapa nelayan handal seperti dia bisa terdampar di pinggir pantai secara mengenaskan seperti itu.
Wanita bernama Susi itu mengatakan bapak meninggal karena meminum air laut yang tercampur racun. “Saya tak tahu pasti racunnya berjenis apa. Dugaan sementara saya, bapaknya Ifa meminum air itu setelah meledakkan zat kimia di dalam laut untuk mendapatkan ikan. Seharusnya air laut itu tidak boleh dikonsumsi dulu selama satu minggu.” Jelasnya panjang lebar.
“Apa selama ini bapak Ifa sering mendapatkan ikan dalam jumlah banyak?” aku mengangguk. “Mungkin, bapak Ifa selama  ini menuangkan racun ke dalam air laut agar ikan-ikan itu mati dan mengapung, sehingga mudah ditangkap.” Aku hanya tersenyum. Mungkin iya.
“Ifa yang sabar ya,” ujar Susi sambil menepuk pundakku.
Aku tersenyum, “Terima kasih, Susi. Anda sudah mau menyampaikan kabar ini kepada saya.”
“Senang bisa membantu. Oh ya, kalau boleh saya sarankan, lebih baik ikan yang terakhir ditangkap oleh bapakmu jika masih ada jangan dijual ke pasar. Karena ikan itu membahayakan kesehatan, Ifa.”
Aku mengangguk. “Ikan-ikan itu sudah saya kubur disamping makam bapak saya.”
Setelah berpamitan, Susi meninggalkanku sendiri yang termenung memikirkan ulah kejam bapak selama ini. Mungkin, yang dimaksud tetanggaku tentang pasukan ratu kidul itu adalah ikan-ikan yang diracuni oleh bapak. Ini kehendak Tuhan. Bapakku, nelayan yang mati akibat ulahnya mencari ikan secara rakus dan menyakiti ekosistem laut. Entah dia mati teracuni atau setelah dikerjai oleh penunggu laut-laut itu.

Comments

Popular posts from this blog

Resensi Novel “Hujan” Karangan Tere Liye

Perjuangan Tanpa Batas Sang Jenderal (Review Film Jenderal Soedirman)

Kirab Haul Mbah Sogol: Momentum Memutar Ulang Sejarah