Sekolah Untuk Si Kembar


Andai pendidikan dan Ujian Nasional di negeri pertiwi ini tidak menyedot biaya selangit kepada rakyat, mungkin akan banyak anak-anak desa yang senasib denganku yang menjadi pemuda intelek. Tapi itu hanya andai, andai negeri ini mendengar, andai negeri ini tahu, seberapa ia tertinggal dari para tetangganya. Andai negeri ini melihat, betapa banyak bocah harapan bangsa yang belajar di pinggiran kali karena tak sanggup membayar administrasi.” dalam wisudah yang penuh haru dan isak tangis itu, adik bungsu Sholeh membacakan tulisan terakhir kakaknya. Betapa sang kakak peduli terhadap pendidikan. Betapa sang kakak ingin memiliki ijazah SMP.
***
 “Nak, sudah pulang? Laku berapa gorengannya?” ibu menyambut kedatangan Sholeh diambang pintu. Diciumnya tangan ibu sambil memberikan uang hasil jualannya.
“Maaf, Bu. Sholeh ndak bisa keliling jauh. Jadinya, gorengan kita Cuma laku sedikit.” Tuturnya lembut. Ibu hanya tersenyum sebari mengelus lembut kepala putra sulungnya. “Ayo sarapan! Adik-adik Kamu sudah menunggu.” ujar ibu mengalihkan pembicaraan.
Begitulah kehidupannya. Saat anak-anak seusianya menggeliat manja di atas kasur, ia sudah mengukur kampung ini dengan kaki mungilnya. Sepulang sekolah, ia berburu rumput untuk dijual ke tetangganya yang punya hewan peliharaan. Kala matahari mulai lelah bersinar, Sholeh pergi ke masjid, mengaji, lalu belajar. Begitu seterusnya hingga ia lupa kapan terakhir kali ia punya waktu istirahat.
***
 Tak terasa waktu begitu cepat bergulir. Sepuluh tahun sudah ia tinggal di tanah jawa, setelah sebelumnya ia lahir dan menetap di Sulawesi. Selama itu pula ia berjuang keras mencari biaya untuk sekolahnya dan kedua adiknya yang sekarang kelas 5 SD.
“Ibu, tadi Sholeh dapat ini dari Pak Guru.” katanya sambil menyodorkan selembaran pada ibunya. Sebentar saja ibu membaca selebaran itu. lalu tersenyum dengan lapis bening dimatanya yang hampir tumpah. “Sholeh, dari mana ibu dapat uang sebanyak ini untuk biaya ujian Kamu?” Sholeh diam. Wajahnya semakin tenggelam dalam kerah seragam biru putihnya. Hatinya bergeming, ia terancam tidak ikut UN yang biayanya selangit.
 “Ibu, Sholeh tak minta apa-apa dari ibu. Sholeh hanya minta do’a dari ibu. Doakan Sholeh bisa ikut UN ya, Bu!” ucap Sholeh memohon.
Ujian Nasional tinggal tiga bulan lagi, Sholeh tak kunjung mendapatkan jalan keluar. Padahal teman-temannya sudah mulai melaksanakan try out. Rasanya, semakin jauh mimpinya itu. harapannya pun kian merapuh.
Suatu malam usai mengaji...
“Leh, alhamdulillah kambing Pak Ustadz beranak banyak.” “Alhamdulillah Ustadz!” Sholeh turut bahagia. “Karena itu, Ustadz mau memberikan satu buat Kamu.” Sholeh langsung menganga tak percaya. Ustadz berkata sangat yakin dan mantap. Tak pernah sedikitpun terlintas di benaknya mendapat kabar sebahagia ini.
“Benar Ustadz? Alhamdulillah... terima kasih banyak, Tadz!” Sholeh menyalami ustadznya dengan penuh rasa syukur. Sholeh pulang dengan  kambingnya yang gemuk pemberian ustadz. “Besok, Sholeh akan jual kambing itu untuk biaya UN.” ujarnya mengakhiri cerita bahagia hari ini.
“Ini, Leh. Kambing Kamu laku satu juta setengah.” penjual kambing itu memberikan uang seratus ribuan pada Sholeh. Inilah pertama kalinya Sholeh memegang uang berjumlah jutaan. Wajahnya berseri-seri. “Terima kasih, Cak!” Sholeh pun berlalu dari pasar hewan dan berlari riang ke sekolah.
Siapa yang menyangka, di tengah jalan, dua orang preman menghadangnya dan merampok uang yang ada di tasnya. “Rampok! Rampok! Tolong ada rampok!” Sholeh berteriak sekencang-kencangnya sambil berlari mengejar si rampok. Percuma saja, kawasan itu sepi penduduk dan jarang ada orang yang lewat. Air mata yang selama ini tegar bersembunyi itu pun menetes juga. Hatinya hancur seiring dengan mimpinya untuk ikut UN yang semakin jauh... jauh sekali...
Dengan tekad yang bulat, dan keberanian yang ia adopsi dari singa, ia menemui kepala sekolah untuk meminta keringanan. “Permisi, Pak! Maaf saya mengganggu. Saya berniat meminta dispensasi biaya ujian nasional, Pak! Ibu saya nggak punya biaya, saya baru saja kerampokan. Saya janji akan membayar biaya itu setelah saya bisa lulus nanti.” wajahnya menunduk penuh harap.
“Enak saja Kau ini! Kau pikir ini sekolah Mbahmu apa? Apa yang mau kau bayarkan untuk melunasi biaya UN setelah lulus nanti? Hah! Pikir pakai otakmu! Kalau Kamu siswa berprestasi, mungkin saya akan berpikir dua kali, lha Kamu masuk sepuluh besar saja tidak pernah, berani-beraninya minta dispensasi. Kalau nggak kuat bayar, ya sudah nggak usah ikut UN. Beres kan?” kepala sekolah berumpat ganas dengan wajah yang memerah pertanda bahwa ia marah. Tak ada lagi yang ia harapkan dari pemegang jabatan tertinggi di sekolahnya itu. dengan membawaa rasa kecewanya, ia pun pulang.
“Sholeh, aku bilangin ya! Anak miskin itu nggak usah mimpi untuk bisa ikut UN! Kamu tahu kan, UN itu nggak gratis. Bangun Sholeh, bangun! Haha...” Doni, teman yang selalu mencemooh Sholeh sebagai anak miskin ikut serta menambah rumit hati Sholeh. Ia hanya membalas celaan Doni dengan untaian senyum. Betapa besar hati anak itu.
Ketika semua anak bermunajat kepada Allah dengan istighosah, Sholeh pun turut serta. Sudah bisa dipastikan ia tak akan ikut UN. Karena ujian tinggal 5 hari lagi. Ia tetap mengulur senyum dalam pedih hatinya.
Ditinggalkannya angan-angan UN yang menggelayut di pikirannya. Ia semakin rajin beribadah kepada Allah, siang sore dan malam hampir tak pernah absen dari rumah Sang Maha Kuasa.
“BRUAKKK!” tiba-tiba terdengar suara sepeda yang bertabrakan dahsyat dari dalam masjid. Buru-buru Sholeh bangkit dan melihat insiden itu.
“Doni!” Sholeh terkejut bukan main. Teman menyebalkannya yang tak lain adalah anak pak camat itu telah terkulai lemas. Dari kepalanya, bercucuran darah. Sepedanya remuk, dan ia tak sadarkan diri. Segera Sholeh meminta bantuan warga untuk membawanya ke rumah sakit. Sholeh ikut serta mengantarkan Doni. Bagaimanapun jeleknya perlakuan Doni kepada Sholeh, ia tetap manusia yang saat ini sedang membutuhkan pertolongan. Namun sayang, takdir berkata lain, Izrail telah mengambil ruh Doni sebelum sempat ditangani oleh dokter.
“Nak Sholeh, bagaimana keadaan Doni?” Ayah Doni menghampiri Sholeh yang bersandaran lemas di tembok. Sholeh hanya geleng-geleng kepala. Butiran bening menetes dari matanya yang teduh. “Doni sudah berpulang, Pak!” seketika itu pula, pak camat langsung menangis histeris sambil memeluk jasad Doni yang memucat.
UN tinggal menghitung waktu. Sholeh diam saja di rumah. Ibu tak berani menyinggung sedikit pun tentang UN. Takut jikalau hati putra sulungnya kembali tergores perih.
“Assalamualaikum...” terdengar suara Pak Camat yang datang bertamu sekalian istrinya ke rumah kecil Sholeh.
“Waalaikumsalam, Pak Camat! Silahkan masuk!” ibu mempersilahkan tamunya lalu mengambilkan minum seadanya.
Setelah sedikit lama berbincang ngalor-ngidul, Pak Camat pun mengungkapkan maksud hatinya. “Jadi begitulah, Bu. Doni telah tiada, namun biaya ujian telah terlunasi. Saya dengar, Sholeh tidak bisa ikut UN karena.. maaf, nggak kuat bayar biaya. Oleh sebab itu, saya berniat menawari Sholeh untuk bersedia menggantikan Doni.” terkejut bukan kepalang Sholeh dan ibu. Tanpa basa-basi, Sholeh langsung mengangguk dan bersujud syukur kepada tuhannya. Inilah jawaban dari mimpinya.
***
UN berjalan lancar. Tak ada kesulitan bagi Sholeh, karena ia juga tekun belajar. Namun sayang beribu sayang, di hari terakhir ujian nasional, Allah memperkenankan Izrail menjemput nyawa Sholeh. Sholeh berpulang secara tiba-tiba seusai melakukan shalat dhuhur di rumahnya. Ia sempat memohon maaf pada ibunya dan berpesan, “Bu, nanti kalau Sholeh udah nggak ada, rezeki Sholeh buat sekolahnya si kembar ya! Sholeh mohon sama ibu untuk sebisa mungkin menyekolahkan si kembar setidaknya sampai lulus SMA. Dan buat Kalian, adik-adik kembarku, jangan lelah belajar dan berdoa. Yakinlah bahwa kerja keras tak akan mengkhianati. Allah nggak pernah tidur, Dik. Kalian harus bisa memiliki ijazah SMA. Dan kakak mengikhlaskan rezeki kakak untuk kalian. Selagi kalian sekolah yang benar.”

Benar saja, saat pengumuman kelulusan, Sholeh yang memakai nama Doni Dewantoro saat UN, ternobatkan sebagai Lulusan Terbaik se-Indonesia dengan nilai UN tertinggi. Inilah yang dimaksud rezeki itu. Sholeh melihat kebanggaan, kesedihan, kebahagiaan yang campur aduk saat pengumuman itu dari alam sana. Di alam yang berbeda dimensi dengan ibu dan kedua adik kembarnya. Tak henti-hentinya air mata menetes haru dari semua civitas SMPnya. Termasuk kepala sekolah yang kini dilanda penyesalan.
Malang, 25 September 2014

Comments

Popular posts from this blog

Resensi Novel “Hujan” Karangan Tere Liye

Perjuangan Tanpa Batas Sang Jenderal (Review Film Jenderal Soedirman)

Kirab Haul Mbah Sogol: Momentum Memutar Ulang Sejarah