Perenunganku yang Pernah Tersesat


Tuhan, terima kasih untuk dua tahun berharga yang Kau berikan padaku,
Aku sadar, tak semua kebahagiaan membuat hati nyaman, tenang. Tak semua prestasi dan aktualisasi diri membuat seseorang berarti.
Dua tahun, waktu yang singkat bagiku. Namun, aku mendapat banyak hal di sana. Teman baru, kehidupan yang baru, guru baru, dan pengalaman yang lebih menarik dari yang aku dapat sebelumnya. Juga kesadaran yang seringkali muncul tanpa ku sadari.
Aku telah meraih apa yang aku inginkan selama dua tahun yang singkat itu. Menjadi seorang pimred, memiliki piala, mengikuti LKTI Nasional, menerbitkan karya di media massa, menulis di blog, menjadi aktivis berbagai organisasi, menjadi juara kelas, dan masih banyak lagi. Semua itu nyatanya membuatku merasa hampa. Ada sesuatu yang aku lupakan dan tak sering ku banggakan.
Hafalan Al Qur’an. Sebuah mimpi mulia ibuku. Berkat do’anya setiap malam, akhirnya Allah memberiku hidayah untuk menghafalkan Kalam Suci itu. Aku tak tahu dari mana hidayah itu berasal. Tiba-tiba aku tertarik, dan aku mencoba menyelaminya. Mencoba, ya, awalnya aku hanya mencoba. Sebuah keputusan bodoh yang seharusnya tak ku ambil kala itu. Tapi, kemudian aku sadar. Bermain-main dengan kitab ini, sama saja mempermainkan Tuhan. Hingga suatu ketika, aku benar-benar bertekad untuk menghafalkannya. Barulah aku sadar, bahwa hanya ada dua pilihan ketika memulai semua itu. Meneruskan dan menjaga hafalannya, atau rela terjerat dosa besar. Na’udzubillah.
Mulanya, aku memiliki prinsip, “Tak ada halangan bagi seorang Hafidzah untuk menjadi aktivis dan meraih impian-impian besarnya.” Itu prinsipku. Ya, memang benar aku bisa melakukannya. Sekolahku berjalan lancar, organisasiku bisa dibilang sukses, dan hafalanku baik-baik saja. Aku menikmati semua itu sampai akhirnya, aku merasakan apa yang kulakukan selama ini salah.
Organisasi, tak selamanya aku bisa berada di sana. Jabatanku bermasa, pun dengan keberadaanku yang kian hari kian sia-sia. Saat satu demi satu atribut keorganisasianku aku lepas, barulah aku sadar, apa yang kuperjuangkan selama ini tidaklah abadi. Aku rela mengerjakan proposal, rapat berjam-jam, dan berkegitan siang malam tanpa kenal lelah. Aku menggadaikan hafalanku. Aku rela meninggalkannya untuk hal-hal yang aku sebut di atas. bagi kebanyakan orang, terlebih teman-temanku sesame hafidzah, mereka menganggapku hebat. Bisa berkiprah di sana-sini dengan result hafalan yang bisa dibilang memuaskan. Tapi, mereka tak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Aku sering lupa. Sering melupakannya tepatnya. Padahal, Al Qur’an itu pencemburu yang luar biasa. Kau lupakan sebentar saja, dia akan menghilang selama-lamanya jika kau tak membujuknya untuk kembali. Menangkapnya lebih sulit dari menangkap belut. Memegangnya harus dengan kehati-hatian dan kasih sayang yang dalam. Dulu, aku fikir aku bisa memenuhi target 1 tahun 10 juz. Tapi, hafalan itu tidak bisa ditarget sekehendak hati. Sang Penciptanyalah yang menentukan kau berhak atau tidak memegang juz sebanyak itu, dan aku tidak layak rupanya.
Sekarang, setelah aku menyadari apa yang terjadi, banyak hafalanku yang hilang, sedangkan kisah hidupku terus berlanjut. Seolah kehilangan itu tertutupi. Padahal, kehilangan itu membawa pula ketentraman hatiku. Kini, ketika ada tawaran bergabung di organisasi, aku memilih mundur. Bukan aku pengecut, bukan aku tak berani menerjang ombak. Tapi, aku masih ingin bermesraan dengan Qur’anku lagi. Aku ingin menariknya kembali. Untuk berapa lama? Entahlah. Sampai ia benar-benar menjadi kekasihku dan tak akan menjauh dariku. Beruntunglah ketika Kalian menjadi seorang aktivis dan hafalan kalian terjaga. Tapi, sekali lagi, ia tak bisa diduakan. Ibarat sebuah badai, qur’anku adalah badai yang harus aku taklukkan. Aku yakin, jika ia telah bersamaku, apapun yang aku mau akan mudah untuk ku dapatkan.

Comments

Popular posts from this blog

Resensi Novel “Hujan” Karangan Tere Liye

Perjuangan Tanpa Batas Sang Jenderal (Review Film Jenderal Soedirman)

Kirab Haul Mbah Sogol: Momentum Memutar Ulang Sejarah