Gadis Pemadam Asap Rokok




“Hahaha... Hahaha... Hahahaha...” perempuan di sudut jalan itu masih tertawa sendiri dengan asyiknya. Sedang para penduduk terdekat mulai risau dengan keberadaannya. Dialah Nanik, wanita gila dari desa seberang. Tak ada yang tahu pasti penyebab kegilaannya. Hanya kasak-kusuk yang menyatakan ia mantan biduan yang dapat dijadikan tafsiran asal usulnya.
Berhari-hari ia duduk di perempatan dengan pandangan mata tajam ke setiap lelaki yang melintas di depannya. Bahkan, ia sering menangis ketika melihat lelaki alim yang mampir di hadapannya. Sungguh aneh, namun, siapa yang akan mengurus wanita gila itu?

Sudah sebulan lebih Nanik tak kunjung beranjak dari tempat itu. Baunya yang anyir sudah menyeruak ke setiap sudut kampung. Tawanya terus mengudara, bahkan semakin menjadi-jadi. Siang ini, seorang kyai dari daerah desa nun jauh di sana mendatangi Nanik dan memulai percakapan batin dengannya. Orang kampung yang melihatnya justru menilai kelakuan kyai itu adalah kesintingan, “Wong orang gila kok diajak bicara.”

Tak lama, Nanik menangis histeris. Semakin kencang tangisnya, semakin banyak warga yang berdatangan. Ingin melihat kegilaan apalagi yang dimunculkan Nanik. Pak Kyai yang masih di tempat, mencoba menenangkan Nanik dengan mengomat-ngamitkan do’a yang dia bisa. Sayang, bukan malah tenang, Nanik justru kalap.

“Ayo! Siapa yang berani menghina aku maju sini! Aku Nanik dari Desa Seberang, Peniup Asap Rokok para serigala berkepala manusia! Aku Nanik dari Desa Seberang, Pelacur penegak kebenaran!” warga semakin dibuat ketakutan dengan sikap Nanik, pun kyai yang sekarang sedikit menjauh darinya. Nanik tiba-tiba menjelma menjadi aktris horor bagi penontonnya.
Beberapa warga yang risih, mulai meninggalkan tempat. Dikiranya Nanik sudah semakin tidak waras. Sedangkan mereka yang masih ingin tahu, terus menyuruh Kyai untuk mengendalikan Nanik. Namun, kyai itu hanya menggeleng tak tahu bagaimana caranya.

Lama menunggu, Nanik akhirnya tenang, kyai segera membawanya ke mobil yang dinaikinya. Tak lupa, ia mengikatkan tali agar Nanik tidak sampai terjun dan melarikan diri.
***
Sore itu, seorang gadis berpakaian ketat sedang nangkring di halaman rumahnya dengan bedak yang dipoleskan tipis di pipinya, gincu merah marun, dan sepasang sandal japit di kakinya yang mulus. Tetangga yang lewat hanya memandang dengan sinis, kemudian berlalu sambil berkata, “Ya begitu anak muda zaman sekarang, berpakaian mini tapi mentereng di pinggir jalan.” Meskipun gadis cantik itu mendengar, ia hanya tersenyum, buat apa mendengar anjing menggonggong? Pikirnya.
Hari berganti hari, kecantikan gadis itu semakin menyebar luas. Kemolekannya membuat setiap telinga yang mendengar penasaran. Hingga akhirnya, terkenallah ia sebagai “Nanik, Pelacur Anyaran”. Sungguh, sedetik pun tak pernah ia berpikir untuk menyandang gelar itu. namun, waktu yang menentukannya. Ia menganggap dirinya adalah korban dari ketidak bebasan. Dia tidak bisa terus menerus melihat wanita berpura-pura baik, namun, kebanyakan dari mereka menyembunyikan identitas yang bobrok. Kebanyakan dari mereka menutup seluruh tubuhnya dengan kain mahal, namun, di dalamnya tersimpan jati diri murahan. Nanik yang geram, menghijrahkan dirinya pada jalan selama ini dianggap orang baik, ia ingin tahu seberapa burukkah rahasia di dalam diri wanita? Dan seberapa banyakkah wanita yang dicurangi oleh suaminya sendiri. Maka, jadilah ia terjun ke dalam dunia asusila itu dengan modal nekat.

Lewat karirnya yang dibenci tuhan itu, Nanik mulai mempelajari bagaimana kehidupan sesamanya. Mereka, yang sejatinya adalah para wanita tak berpengharapan, mereka yang sejatinya adalah penyambung kehidupan, yang disia-siakan oleh keadaan. Tak seluruhnya dari mereka adalah hina, namun, masa yang menghinakannya. 

Nanik tak ingin sekalipun melayani hidung belang itu. ia selalu punya alasan untuk menanggalkan perjanjian yang dibuatnya. Urusan rupiah, Nanik tak pernah memungutnya, baginya, berpaling pada rupiah dalam menjalankan misi kemanusiaan adalah perendahan diri saja. 

Setiap client yang mendatanginya, selalu ditanya kenapa ia memilih pelacur untuk melayaninya? Ada apa dengan istrinya? Apakah dia masih bujang? Atau sedang dalam masalah? ia tahu mana saja gelagat lelaki yang berbohong dan berkata jujur. Jika lelaki itu ketahuan berbohong, keesokan harinya Nanik langsung menyelidiki latar belakang penghianatan itu. 

Terus menerus ia tekuni kegiatan seperti itu, bukan bermaksud mencampuri urusan rumah tangga orang, ia hanya ingin tahu penyebab para lelaki bisa menghianati wanita yang telah dipilihnya untuk dinikahi. Hingga pada puncak kemarahan dan kedongkolannya atas penghianatan lelaki, Nanik membunuh satu demi satu para serigala berkepala manusia itu. agar segera lenyap penderitaan sang istri atas penghianatan suaminya.

Baginya, membunuh satu lelaki sama halnya dengan menyelamatkan banyak wanita. Namun, itu baginya. Tak ada yang tahu kejahatan sang gadis cantik ini. Semuanya berjalan dengan baik dan aman. Ironisnya lagi, semakin hari semakin banyak pula lelaki yang datang padanya, dan menambah daftar panjang hidung belang yang dibabatnya. 

Setahun, dua tahun, hingga tiga tahun sudah Nanik menggeluti profesi gila itu. masih dengan misi yang terjaga, ia tak pernah sekalipun tersentuh oleh nafsu lelaki murahan itu. bertambah tahun, semakin banyak pula kabar yang tersiar bahwa seorang bapak telah ditemukan meninggal di pekarangan rumah, pinggir jurang, pasar, hingga di tengah jalan. namun, tak ada satu pun yang tahu bahwa pembunuhnya adalah Nanik, pelacur cantik yang masih gadis.

Tak seperti wanita lain, Nanik kian tak tertarik pada lelaki manapun. Tak ada dalam hatinya hasrat untuk mencintai lawan jenis meskipun itu dari golongan bangsawan, kyai, ataupun pejabat sekalipun. Ia hanya tertarik untuk menghabisi para penghianat cinta.

Hingga suatu malam, bertemulah ia dengan seorang yang rupawan, harumnya semerbak, dan pakaiannya mengkilat emas.

“Siapa Kau? Sedang apa lelaki rupawan sepertimu mendatangiku?”
“Aku penjaga altar Tuhan. Aku diutus Tuhan untuk menjemputmu.”
“Tidak! Aku tidak ingin mati!”
“Aku bukan Izrail, aku Jibril.”
“Lantas, apa yang akan Kau lakukan padaku?”
“Kenapa Kau melakukan ini semua? Membunuh banyak pria?”
“Aku hanya ingin menghapus kesakitan hati para wanita. Aku hanya ingin mereka terjaga dari penghianatan suaminya.”
“Apakah Kau tahu bahwa wanita itu tahu jika suaminya menghianatinya?”
“Tidak. Makanya, sebelum mereka tahu dan semakin sakit hati, akulah yang mencegah rasa sakit itu.”
Jibril kemudian mengambil sekarung puting rokok.
“Kau tahu apa ini?” tanya Jibril kemudian.
“Ya. itu semua adalah puting rokok para lelaki hidung belang itu.”
“Kau tahu bagaiamana kepulan asap rokok ini sangat dirindukan mereka, para istri sholihah itu, Nanik?”
“Tidak. Mereka tak akan merindukannya.”

Tanpa banyak bicara lagi, Jibril menyalakan semua rokok itu dan asapnya mengepul-ngepul. Nanik mengenali semua bau asapnya. Seketika, dalam matanya ia melihat tangis seorang wanita, anak kecil, nenek tua, dan para malaikat seketika mengutuk Nanik, penyebab kemalangan itu. Air mata para wanita, anak-anak, dan ayah ibu dari orang-orang yang telah dibunuh Nanik, semuanya menetes dalam kuali yang besar. Semuanya menumpah di sana. Mereka yang sedih karena kehilangan separuh kehidupannya, mereka yang menjadi yatim, mereka yang merindukan pelukan anaknya, semuanya tergambar jelas dalam pandangan Nanik. Sedang kepulan asap rokok yang dinyalakan Jibril semakin lama semakin tercium tajam, setajam parang yang siap dihunuskan ke perut Nanik, membunuhnya sebagai imbalan atas kejahatannya. 

“Hentikan, Jibril! Hentikan!” Nanik berteriak histeris. Ia terus berjalan mundur tanpa sadar ia telah tersungkur ke dalam jurang. Dilihatnya banyak wanita dan anak-anak yang mencela Nanik, membawa sabit, parang, pedang, panah dan bersiap mengeroyok Nanik. Kepulan asap rokok, semakin lama semakin menyesakkan dada Nanik. Matanya juga dibuat pedih olehnya. Semua penderitaannya, semakin bertambah manakala sekuali air mata berubah mendidih ketika disiramkan ke tubuh Nanik. Penderitaan yang sempurna!

“Kau harus tobat, Nanik! Kau harus tobat!” Jibril meneriaki Nanik dengan mata melotot. Sekumpulan orang pembawa maut bagi Nanik tadi mulai mengambil ancang-ancang untuk mecabut nyawa Nanik.
Dan Nanik pun terbangun dari tidurnya.

Berhari-hari ia berdiam diri di rumah. Pasca mimpi itu, ia kehilangan semangat hidup. Bagaiamana ia bisa meminta maaf pada seluruh keluarga korbannya? Sedang ia lupa seberapa banyak lelaki yang ia bunuh.

Pikiran itulah yang kemudian membuat dia gila. Dia, Nanik si pelacur gadis yang kini telah gila. Yang diingatnya hanyalah mimpi itu, para wanita yang menghunus senjatanya, dan anak kecil yang merindukan bapaknya. Pun asap rokok yang kini tak lagi mengepul di rumah-rumah mereka.
***
Begitulah Nanik bercerita pada Kyai setelah entah bagaimana caranya Nanik berangsur sadar dari kegilaannya. Rona ketakuan masih tersirat jelas di wajahnya.

“Nanik, tak semua masalah itu lunas dengan kematian. Bayangkan betapa banyaknya wanita yang menjanda dan anak yang menjadi yatim akibat ulahmu. Bayangkan bagaimana menderitanya wanita tak bersuami ketika sebagian besar lelaki kau bunuh? Bagaimana bisa negara ini berdiri tanpa lelaki? Lelaki memang banyak yang tak baik, Nanik. Tapi, mereka adalah pondasi kehidupan. Jika tuhan telah menghendaki untuk menghancurkan para lelaki, Ia akan melakukannya, tanpa harus kau suruh.” nasihat kyai dengan halus.

Nanik menangis. 

“Urusan wanita yang direndahkan, dibuat sakit hati, dan dirusak emansipasinya. Itu adalah ujian untuk para wanita. Tuhan mengujinya agar dia bisa kuat, bisa sabar, dan bisa mencapai surgaNya. Kau harus tahu itu semua, Nanik.” 

Nanik sekali lagi menangis. Niat yang seharusnya benar menjadi berantakan karena perbuatannya. Semua telah terlambat. Nanik yang larut dalam penyesalannya kembali mencium bau asap rokok yang menyesakkan dadanya. Hingga akhirnya, dirinya tak bisa lagi menahan, dan hilanglah nyawanya dalam sengatan asap rokok. “Aku Nanik, dari desa seberang. Telah banyak memadamkan asap rokok, dan kini akulah yang dipadamkan oleh mereka.”

Oleh : Azizatul Qolbi (Siswi MAN Gondanglegi)

*Cerpen ini pernah dimuat di Ruang Scripta Radar Malang pada 23 Maret 2015

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Resensi Novel “Hujan” Karangan Tere Liye

Perjuangan Tanpa Batas Sang Jenderal (Review Film Jenderal Soedirman)

Kirab Haul Mbah Sogol: Momentum Memutar Ulang Sejarah