Aswe, Malaikat Mikail
“Teruntukmu,
Sayang. Balaslah suratku ini dengan hatimu!” Sepertinya, aku akan terlihat
keren jika aku bisa menulis kalimat seperti itu. “SURAT” nama yang baru ku baca
di usiaku yang menginjak delapan tahun. Mungkin, karena aku memang malas
membaca, jadi, aku hanya mengetahui kata yang biasa diucapkan emakku. Kertas
itu, yang kutemukan di jalan, sangaja aku bawa pulang untuk ku tanyakan lebih
lanjut pada emak. Orang yang selalu setia mengajariku dan meladeni banyak
pertanyaan dari bibir cerewetku.
“Lina,
ayo cepat! Kita bisa kehujanan nanti!”
Kami,
anak dari emak dan bapak yang tak berpendidikan tinggi. Harus mengayuh pedal
puluhan meter untuk bisa sampai di depan kelas kami. Jujur saja, aku malas jika
disuruh sekolah. Tapi, emakku selalu berkata bahwa sekolah itu bisa menyejahterakan
kita dimasa mendatang. Jangan dibayangkan sekolahku sama dengan Kalian. Seragam
kami turun temurun warisan dari kakak kelas kami yang sudah lulus. Sepatu? Kami
memakainya juga, tapi, saat bersepeda kami melepasnya agar sepatu kami awet.
Buku? Tenang saja, kami selalu membelinya di pasar loak. Semua asupan ilmu kami
tercukupi dengan baik. Namun, sayang sekali minat baca anak-anak di desa ini
melebihi kapasitas buku yang ada, kecuali AKU. Gedung sekolah? Gedung itu
adalah bekas balai desa sejak lima puluh tahun yang lalu. Hanya ada tiga
ruangan. Ruang guru, dan dua kelas. Tidak mengherankan jika kami harus bergantian
masuk kelas. Namun, semua itu adalah kebanggaan kami, kebanggaan karena kami
masih bisa bersekolah saat ini.
“Mak..
Mak...” segera aku berlari menemui emak dengan secarik kertas yang kutemu di
jalan tadi.
“Apa,
Nduk? Datang bukannya salam malah teriak-teriak.” emak menyambutku dengan
sepiring nasi di tangannya.
“Tadi,
aku nemu kertas ini di jalan. Kalimatnya bagus, Mak. Tapi, aku tidak mengerti
salah satu kata dalam surat ini. Kalau nggak salah kata itu adalah SURAT!”
sengaja ku beri penekanan pada kata itu agar emak bisa segera menjelaskannya
padaku.
Emak
tersenyum sebelum menanggapi curhatanku. Setelah selesai menyantap nasinya yang
terakhir ia baru menjelaskannya. “Surat itu adalah pembicaraan yang ditulis di
atas kertas. Kalau kau ingin berbicara dengan temanmu yang jauh kau bisa
mengiriminya surat. Kau bisa ceritakan semuanya di atas kertas itu.” aku mulai
paham dengan penjelasan emak. Sejak saat itulah aku mengenal surat, dan aku
mulai merepotkan emak dan teman-teman dengan berbagai surat yang aku tujukan
pada mereka. Melalui pengetahuan awwamku tentang surat itulah aku bisa merajut
impianku bersekolah di kota.
###
Surat
pertamaku pada emak membuatku ketagihan. Sengaja aku menulis segala
permasalahanku dan mengirimnya pada emak. Aku punya tukang pos pribadi. Arif
namanya. Ia adalah teman lelakiku yang sudah dianggap emak seperti anaknya
sendiri. Aku pura-pura tidak tahu ketika Arif menjalankan tugasnya untuk
memberikan surat itu pada emak. Emak selalu tersenyum membacanya dan selalu
membalas suratku keesokan harinya.
Bosan
surat-suratan dengan emak, aku mengirim surat untuk seluruh temanku di kelas.
Dengan tukang pos yang tetap sama. Mereka menanggapinya dengan positif. Ku
mulai keusilanku dengan mengirim surat pada kakak kelasku. Kala itu, aku naik
kelas 4 SD, aku mulai mendengar slentingan tentang surat kaleng, surat yang tak
ada nama pengirimnya. Aku sangat puas karena bisa mengerjai mereka seolah-olah
aku adalah preman yang menakutkan. Semua dibuat takut oleh suratku. Sayangnya,
aksi terorisme itu terhenti ketika Bu Laila, guru Bahasa Indonesiaku
memergokiku dan Arif ketika menjalankan aksi gila kami.
“Oh,
jadi Kalian berdua biang keonaran sekolah ini?” Bu Laila mendelik sambil
meninggikan nada bicaranya. Wajah syahdunya berubah menjadi monster saat itu.
Arif
menggeleng ketakutan “Tidak, Bu! Lina yang punya ide dan menulisnya!” ia
langsung lari saking takutnya pada Bu Laila. Tinggallah aku berdiri gemetaran
di depan moster cantik itu.
“Anu,
Bu. Anu. Saya kan hanya ingin belajar menulis surat. Kata emak dengan menulis
surat aku bisa berbicara dengan seseorang yang jauh. Makanya saya mengirim
surat dulu pada orang-orang terdekatku. Agar aku bisa pandai merangkai kata
saat berkirim surat dengan seseorang yang jauh.” Bu Laila langsung paham dengan
maksudku. Tak ambil pusing, Bu Laila mencarikanku sahabat pena agar aku tidak
berbuat keonaran lagi di sekolah ini.
Sahabat
pena pertamaku, Bu Laila memberitahuku bahwa temanku itu bernama Aswe. Kami
sama-sama belum tahu rupanya, hanya teman Bu Laila yang tahu, karena dia yang
memberikan alamat itu. Lelaki itu dari Jakarta yang sepertinya lebih tua
dariku. Tugasku hanya menulis surat, selebihnya Bu Laila yang membantuku.
Teruntukmu
sahabat penaku, Aswe.
Salam
kenal dariku Lina. Gadis dari Desa Kendayaan yang hobi menulis surat. Kamu
adalah sahabat pena pertamaku. Besar harapanku untuk bisa berbagi cerita
padamu. Kau bisa ceritakan keindahan sekolah di kota, keramaian jalan di depan
rumahmu, dan aku akan ceritakan kepadamu tentang tetangga hutanku dan sekolah
lusuhku.
Sekian dulu perkenalan kita. Ku
tunggu balasanmu.
Lina,
Selang
dua hari, balasan suratnya sampai di tanganku. Aku terkejut melihat tulisannya
yang rapi dan kalimatnya yang terstruktur dengan baik.
Salam
kenal pula dariku,
Lina,
aku senang membaca suratku. Aku akan bercerita padamu bahwa sekolahku sangat
bagus. Aku nyaman di sana. Aku bisa mendapatkan banyak ilmu dan teman. Aku
bercita-cita ingin membantumu sekolah suatu saat nanti. Lina, aku ingin kau
terbuka padaku, menceritakan segala keluh kesahmu. Anggap saja aku adalah
kakakmu. Sedangkan aku, hanya akan menanggapi ceritamu saja, karena tak ada
kebaikan di kota ini yang bisa aku bagi kepadamu.
Aswe.
Aku mulai bercerita pada Aswe
tentang sekolahku yang seperti tempat penampungan. Kian hari, sekolahku itu
semakin banyak siswanya. Aku sudah kelas 6 dan akan segera melanjutkan ke SMP.
Tapi, di desa ini tidak ada sekolah semacam itu. Untuk pergi lebih jauh lagi,
ibu tak sanggup membiayaiku. Konon, di kota-kota yang lebih maju dari desa ini,
telah banyak sekolah gratis. Begitu pula Aswe. Ia sempat bertanya apakah
sekolahku sudah terdaftar di negara apa belum. Kemudian aku bertanya pada Bu
Laila. Beliau menjawab bahwa sekolah kami sudah terdaftar. Namun, statusnya
masih DIAKUI. Aku yang bodoh tak mempermasalahkan itu. Toh, aku juga tidak
mengerti apa maksud semua itu. berkali-kali Aswe menjelaskan tapi aku tetap
tidak paham. Aku baru paham ketika aku harus menanggung beban berat akibat
sekolah yang telah mendapat izin itu.
Beberapa bulan setelah Bu Laila
memberitahuku tentang status sekolah itu, kami punya gedung baru berjumlah 7
ruangan. Pemerintah yang membangungnnya. Pun perpustakaan yang dibangung di
depan sekolah kami. Lokasinya tetap jauh, namun, pembangunan itu tidak rampung
100%. Kata Bu Laila pembangunan sekolah itu terhenti karena menteri pendidikan
dan presidennya ganti. Alhasil, seluruh wali murid dikenai biaya Rp 30.000
setiap bulannya. Jumlah yang fantastis bagi kami penduduk desa. Jika
pembangunan ini dihentikan, kami terancam tidak lagi sekolah karena gedung bisa
roboh sewaktu-waktu. Sedangkan balai desa yang dulu kami tempati terlanjur
dibongkar total.
Aku menceritakan semuanya pada
Aswe. Ia meyakinkanku bahwa pemerintah pasti akan meneruskan pembangunannya.
Dia bilang, saat ini di Jakarta, pemerintah baru saja mendapat banyak uang dari
Malaikat Mikail untuk membangun sekolah kami. Sayangnya, itu hanya kata Aswe.
Nyatanya, kami tetap tercekik dengan biaya besar setiap bulan itu. Dampaknya,
kami tidak bisa membeli buku sesering dulu, kami minim asupan ilmu, buku tulis
saja, hanya sepuluh yang ku miliki. Untuk satu tahun. Belum kering keringat ibu
mencarikan biaya bulanan, kabar buruk justru kembali menerpa kami. Ujian
Nasional.
Apa itu Ujian Nasional? Lagi-lagi
aku bodoh karena tidak mengerti maksudnya sedikit pun. Ibu hanya bilang, kalau
aku ikut ujian nasional aku bisa meneruskan sekolah di SMP. Itu saja. aku
melihat nanar harapan di mata ibu, aku hanya yakin kalau ibu akan mengikutkanku
dalam ujian itu. Meski aku tahu, biaya ujian itu banyak kali lipat dari
bulananku. Sejumlah angka 35 yang ditambah nol sebanyak empat kali. Sedangkan tenggang
waktu membayarnya 2 bulan lagi. Aku kembali menceritakannya pada Aswe. Ia
kembali berkata bahwa Malaikat Mikail sedang membagikan uangnya untuk ujian
nasional bagi anak-anak kota. Sebentar lagi ia akan sampai di desamu.
Tunggulah. Yakinlah bahwa kau akan ikut ujian. Begitu kalimatnya di surat
yang ia kirim untukku. Aku kembali mempercayainya.
Tinggal satu buku tulisku yang
masil belum aku gunakan. Aku meminta lagi pada emak agar aku bisa tetap
mengirim surat pada Aswe. Tapi emak justru memarahiku. “Kau ini masih saja
memikirkan sahabat penamu itu. Kamu kira mencari uang itu gampang? Emak masih
susah payah mengumpulkan uang untuk biaya ujianmu. Lalu kau seenaknya sendiri
membuang-buang kertas untuk hal yang tidak berguna. Kau harus pilih, ikut ujian
atau membeli buku untuk mengirim surat pada Aswe!” aku terkejut mendengar ucapannya.
Emak terlalu payah mencarikan uang untukku. Meskipun aku bodoh, aku tetap
memilih ikut ujian.
Ku tulis suratku ada Aswe di kertas
bekas surat-surat balasannya yang masih kosong. Surat itu surat terakhir
untuknya, jadi aku bercerita panjang kali lebar kali tinggi. Selebihnya, aku
tak berharap bisa mengirimi dia surat lagi.
Aku fokus pada belajarku, emak
fokus pada misinya mengumpulkan uang, pun teman-temanku dan Bu Laila. Mereka
mempersiapkan diri menyambut ujian. Aku tak memerdulikan Aswe lagi. Dia juga
tidak membalas surat terakhirku itu. Kami seluruhnya sibuk, hingga ujian
nasional itu terhitung sebulan lagi. Namun, emakku dan para emak dari
teman-temanku belum juga mendapatkan uang sebesar itu, ditambah lagi, desa kami
gagal panen dan kebutuhan pokok semakin banyak. Semua siswa di Sekolahku
terpuruk, tak ada jalan lain selain melepaskan impian kami untuk ikut ujian.
Sekolah tak dapat lagi mendaftarkan kami ke Jakarta untuk mengikuti UN. Dalam
keputus asaan itu, tiba-tiba sebuah surat datang lagi kepadaku. Bu Laila
mengatakan bahwa surat itu dari Aswe, Sahabat penaku yang sempat terlupakan.
Lina, semoga kau senantiasa
bahagia.
Aku membaca suratmu sambil
menguraikan air mata. Aku juga terharu karena kau masih berusaha
menceritakannya kepadaku dengan sisa kertas suratku, dan aku mengerti bahwa
saat itu uang emakmu sedang dihemat untuk membiayai ujianmu. Bukannya aku
merendahkan kau dan teman-temanmu, Lina. Tapi, aku yakin Kalian tidak akan bisa
mengumpulkan biaya sebesar itu dalam tempo singkat. Namun, aku salut pada
perjuangan Kalian dan orang tua Kalian. Sedangkan di sini, Lina. Para siswa di
kota sedang gencar-gencarnya melayangkan aksi ‘Menolak UN’.
Beserta surat ini, Lina. Aku
mengutus tukang pos untuk mengirimi kepala sekolahmu surat resmi. Aku memberitahunya
bahwa kau dan teman-temanmu bisa mengikuti UN dengan gratis. Aku telah membayar
biaya Kalian semua. Aku juga telah mengajukan pada pemerintah untuk meneruskan
pembangunan sekolah Kalian. Sebagai apresiasiku pada kesungguhanmu dan
teman-temanmu dalam sekolah, aku juga akan menyekolahkan Kalian di SMPN di
Jakarta. Bicarakan ini pada emak dan kawanmu. Aku tunggu balasanmu.
Sahabat penamu, Anies Baswedan
Oh, mungkin ini
Malaikat Mikail yang dimaksud Aswe. Nama lainnya Anies Baswedan. Pikirku sambil
berlalu, akan ku ceritakan ini semua pada emak.
good..
ReplyDeleteHaha.. :D makacih udah mw baca dan mengunjungi blog saya.. :) nantikan tulisan-tulisan saya di edisi berikutnya.. :D
ReplyDelete