Ayat-Ayat Cinta (Semesta) 2: Sebuah Kritik
Cover AAC 2 (Google) |
Kehadiran film ayat-ayat cinta memang sudah lama
dinantikan penontonnya. Terbukti, dalam beberapa hari saja sudah jutaan orang
yang menonton. Bahkan hingga tayang di Malaysia dan Singapura. Keberhasilan
penulis dan tim penggarap film ini patut diapresiasi, namun, ada beberapa
komentar penonton yang sedikit mengecewakan.
Seperti pernyataan “Kurang greget
soalnya yang jadi Aisyah ganti, bukan Rianti.” Pergantian pemain ini tentu
bukan sebuah alasan. Beberapa media menyebutkan alasan tidak dipilihnya Rianti sebagai
pemeran Aisyah karena dia sudah berpindah agama, ada juga yang menyebutkan
bahwa sang suami melarangnya. Kekecewaan penonton itu saya rasa hal yang wajar.
Jika Anda sudah menyaksikan AAC 1, pasti image
Rianti sebagai Aisyah itu sudah melekat kuat, maka ketika AAC 2 memilih Dewi
Sandra sebagai pemeran Aisyah tentu akan berbeda. Namun, saya rasa Dewi Sandra
bisa memerankan tokoh Aisyah ini dengan baik.
beberapa hal dalam film ini juga menjadi sorotan menarik,
keresahan saya ketika menonton bukan pada permasalahan Rianti atau Dewi Sandra
yang menjadi Aisyah, namun pada pertanyaan “Siapa tokoh utama wanita yang
sebenarnya?” jika dianalisa dari film (tanpa mempertimbangkan cerita dalam
novel) tentu penonton akan sepakat bahwa sebenarnya cerita ini didominasi oleh
cerita percintaan Fahri yang diperankan Fedi Nuril dan Hulya yang diperankan
Tatjana Saphira. Penderitaan Aisyah sebagai seorang istri yang tidak bisa
menemui suaminya sebagai Aisyah kurang terekpos, dan bahkan menurut saya tidak
menjadi alur sentral. Dewi Sandra hadir sebagai Sabrina sang pedagang asongan
yang ditolong Fahri saat dimarahi oleh Takmir Masjid. Alasan dia merubah nama
dan cerita Aisyah yang tertangkap, dipenjara, kemudian menusuk kelaminnya,
merusak wajahnya dan menggoreskannya ke dinding justru baru diceritakan di
akhir cerita. Mungkin maksud sang sutradara atau penulis agar membuat cerita
yang tidak bisa ditebak oleh penontonnya. Tapi, hal ini menjadikan rasa hambar
pada awal-awal cerita. Seolah Sabrina bukan menjadi toko sentral dalam film
ini. Seolah Sabrina tidak ada hubungannya dengan Fahri ataupun Hulya.
Keganjilan lain yang mungkin juga dipertanyakan oleh
sebagian orang adalah keputusan Fahri menampung Sabrina di rumahnya, padahal di
rumah tersebut tidak ada perempuan. sekalipun Sabrina adalah seorang janda dan
bercadar, namun kecantikan dapat dilihat dari sorot matanya. Rasanya, tetap
tidak pantas seorang lelaki menampung seorang perempuan muda di rumah yang
semua penghuninya laki-laki, sekalipun niatnya hanya menolong. Bukankah ada
dinas sosial yang tentu dapat menampung Sabrina? Namun kembali lagi, ini hanya
masalah persepsi masyarakat. Dalam film ini tentu ada pertimbangan lain.
Kok ada adegan gandengan tangan sih? Kok ada adegan
cium kening sih? Kok Hulya nggak disuruh pake kerudung sih? Memangnya film
religi harus melulu isinya ibadah ya? :D sebagian orang tidak setuju dengan
hal-hal di atas. Memang nampaknya aneh ketika didapuk menjadi film religi namun
ada beberapa adegan gandengan tangan, cium kening, tapi itu bukan masalah.
Kedatangan ayat-ayat cinta 1 kala itu mennggebrak perfilman Indonesia,
disamping saat itu film pertama bertajuk religi yang lahir, film itu juga
mengilhami genre film religi lain bermunculan hingga saat itu. Jika AAC 1 bisa
bercerita tentang asmara beda agama, mengapa saat ini adegan seperti itu tidak
bisa? Memang terlihat tabuh, tapi menurut saya itu masih bisa dimaklumi, toh
AAC 2 sepertinya lebih berat ke sisi percintaan dan kemanusiaan daripada
religi.
Mengapa tokoh Fahri yang digambarkan sebagai lelaki
religius yang taat tidak menyuruh Hulya menutup aurat secara rapat saat telah
menjadi istrinya? sepertinya jawaban yang tepat adalah karena menutup aurat itu
tidak bisa serta merta. Bertahap. Seorang pemeluk agama dan orang yang paham
agama tidak selamanya kolot. Fahri bisa menyadari bahwa Hulya yang semula tidak
berhijab memerlukan waktu untuk menutup auratnya dengan sempurna. Namun, fahri
sudah memintanya berhijab, bukan? Dia sudah menunaikkan kewajibannya sebagai
suami, dan dia membimbing istrinya sedikit demi sedikit. Bukan memaksa.
Bukankah sesuatu yang dilakukan dari hati akan lebih meresap dan membuatnya
lebih istiqomah daripada memakai hijab karena paksaan?
Terlepas dari beberapa komentar di atas, bagi saya
film AAC 2 sukses menghibur para penontonnya. Dari sekian banyak penonton tentu
meneteskan air mata, entah di adegan yang mana. Setiap orang yang keluar dari
bioskop tentu akan merasakan ada suatu kesan yang melekat dalam hatinya. Lalu
dia akan mengobrolkan film itu dengan teman-temannya. Beberapa orang yang belum
membaca novelnya tentu tidak akan menduga cerita tentang Aisyah dalam film ini,
namun bagi yang sudah mengkhatamkan novelnya, wajar jika mereka dihinggapi rasa
kecewa.
Hal menarik lainnya yang patut disoroti adalah perihal
tanggapan masyarakat dunia terhadap Islam. Dimanapun tempatnya, Fahri seperti
mendapat perlawanan dari orang-orang yang anti terhadap islam, orang-orang yang
menganggap orang Islam sebagai teroris, pembunuh, dan pengacau. Padahal, Islam
datang sebagai rahmat lil alamin. Mungkin salah satu pesan moral dalam film ini
untuk menunjukkan bahwa Islam agama yang damai, sekalipun banyak oknum yang
mengatasnamakan islam atau jihad untuk berbuat kehancuran. Tokoh Fahri adalah
cerminan bagaimana seharusnya umat islam berlaku terhadap orang lain, bagaimana
seharusnya keberadaan orang islam untuk menjadi rahmat bagi sesama. Bukan hanya
dari sisi perilaku, tapi juga harus dibarengi dengan usaha yang ulet guna
memperbaiki kehidupan, dan ilmu yang tinggi.
Selain kelebihan dari sisi pemain yang memang sudah
punya reputasi baik, kesuksesan film ini juga didukung oleh soundtrack dan latar tempat yang
memukau. Rosa yang pernah mengisi soundtrack AAC 1 kembali ditarik menjadi
pengisi soundtrack AAC 2 bersama KD, Raisa, dan Isyana. Keempat penyanyi yang
sudah punya nama ini berhasil membawakan lagu dengan penghayatan luar biasa,
mewakili perasaan satu persatu pemain. Saya kira hanya Rosa dan KD yang akan
mengisi soundtrack, ternyata menjelang pemutaran film muncul nama Isyana dan
kemudian Raisa. Rasanya, pemilihan Isyana dan Raisa juga sebagai salah satu
langkah untuk melambungkan film ini di pasaran. Mengingat, kedua penyanyi muda
itu saat ini sedang banyak diperbincangkan.
Pemilihan Edinburgh sebagai lokasi syuting dengan
pemangan kota yang indah dan cerita bahwa Fahri hidup di tengah masyarakat yang
heterogen membuat film ini menjadi sangat menarik. Penonton tidak melulu
dihanyutkan pada kisah cinta pada kekasih, namun juga kisah cinta pada sesama,
pada tetangga, pada teman beda agama, bahkan pada orang nakal sekalipun. Sesuai
judulnya, AYAT-AYAT CINTA, cinta kepada siapa saja yang bisa kau temukan dimana
saja.
Mengutip kalimat yang diucapkan Fahri, “Cintai cinta
itu sendiri, dan bencilah kebencian itu sendiri.”
Comments
Post a Comment