Dosa Tanpa Jeda #1
Pixabay |
“kalau abah
tidak mengizinkan saya jadi pelacur, baik! Arini akan pergi dari rumah!”
“Arini!!!”
bentak abah. “Silahkan keluar, dan jangan cari abah hingga di surga!!!” sambil
menunjuk pintu
Arini berlari
keluar, ia berhenti sejenak di depan pintu, menoleh kembali wajah abah yang
memerah memendam amarah, dan umi yang menangis tersed-sedu di samping suaminya.
Arini melihat lantai marmer itu sekali lagi, menamatkan pandangannya pada
dinding-dinding rumahnya yang hangat, menikmati aroma masakan umi, menatap
kenangan masa kecilnya yang berputar di rumah ini. Selangkah lagi dia akan
keluar dari rumahnya sendiri, dan tak akan mungkin pernah kembali. Sedang di
luar pintu, ratusan santrinya membungkam mulut mereka, ada yang sebagian menangis,
acuh, ada yang berbisik menghina. Mereka semua tabungan surganya abah,
kepergiannya tak akan menimbulkan deficit ganjaran abah sedikitpun.
Tekadnya bulat, tanpa
menghadap ke belakang, sambil menutup mata, ia tarik jilbabnya hingga terlepas.
Seluruh santrinya berteriak “Ning Arini jangan!!!!” air matanya meleleh,
hatinya tersayat. Dibuangnya kerudung merah marun yang selama ini tak pernah ia
tanggalkan sedetik pun. Dihapusnya air mata yang merembesi pipinya, seakan
berpamitan, arini mengawasi satu persatu santrinya. Kakinya sudah melangkah.
Jerit tangis menggema di telinaganya. Tapi Arini tak akan menelan ludahnya
kembali. Ia tetap pergi.
Gerbang kokoh
yang menandai batas penjara suci telah ia dobrak, dia dapat menghirup kerancuan
hidup di udara yang mulai pengap. Ia sungguh telah pergi. Keputusan terbesar
telah diambilnya tanpa tawar menawar terlebih dahulu.
**
Sejauh satu kilo
ia telah berjalan, tak ada aspal di desanya yang masih asri, hanya bisik-bisik
dedaunan yang menemani kepergiannya, di perempatan jalan ia berhenti. Tertunduk
malu dan menangis. Ia kedinginan. Telinganya terasa dimakan oleh angin,
rambutnya beterbangan, hidupnya sudha berubah. Pentup kepalanya tak akan lagi
melindungi. “Bangsat, Kau Tuhan! Aku gagal menjadi putri seorang kyai, apa Kau
juga akan menggagalkan rencanaku menjadi pelacur???” Teriaknya meluapkan emosi.
Ia bangkit,
sambil berjalan ia memutar kembali piringan hitam yang berisi kenangan pahit
penyebab kepergiannya kini.
“Aku hamil,
Arini!” Fatma, gadis belia itu menangis sambil memeluk Arini tepat di sepertiga
malam seusai shalat malam.
Arini yang masih
berdoa menghentikan doanya seketika. Ia meraih wajah Fatma dan menatapnya
dalam, “Ini bukan saatnya bercanda, Fatma!”
Isakan fatma
semakin menjadi, “Aku berkata haq,
Arini. Demi Allah!” Fatma tersungkur di pangkuan arini.
Fatma yang baik,
fatma yang taat, fatma yang tawadlu’, Fatma yang menjadi jelmaan Khodijah,
siapa yang berbuat demikian?
“Siapa yang
melakukannya Fatma? Siapa??!” emosi arini menyeruak. Tangisnya ikut pecah.
Fatma mendekat
ke telinga arini, seolah malaikat juga tak boleh mendengarnya, sambil mendekap
arini, fatma berbisik pelan, “Kak Fahmi, calon suamimu!”
bersambung...
Comments
Post a Comment