Nurul Furqon Dalam Bingkai Mataku

Banyak kejadian dramatsi akhir-akhir ini membuatku ingin menuliskan banyak hal. Well, tapi bukan itu yang hendak aku tulis di sini. Sedikit aku akan bercerita tentang rumah kedua ku yang tersayang. Nurul furqon.

Siapapun yang baru mendengar Nurul Furqon, pasti akan bertanya-tanya “Ada tah pondok itu di malang?” tak heran jika  banyak orang yang berlum tahu. Aku pun dulu bertanya-tanya dimana pondok yang konon katanya cukup menggiurkan itu.
Lokasinya di wetan pasar besar, jika dari pasar besar kalian melihat menara masjid di sebelah timur, di dalam gang masjid, nah di situ kau akan menemukan dua pondok. Tak aka nada yang menyangka bahwa di gang sesempit itu ada pondok yang berdiri dengan gagahnya.
Saat pertama kali aku mengunjungi pondok ini aku cukup terkejut dengan bentuk bangunan yang serupa rumah biasa, hanya Nampak aula yang memanjang di tengah pemukiman yang padat penduduk. Tak pernah aaku menyangka bahwa di lantai atas bisa menampung banyak manusia. 140 orang (saat ini) hidup bersama di lantai dua dan tiga. Sedang lantai 4 adalah tempat menjemur baju.
Pondokku tak memiliki gerbang yang menahanku. Begitu istilahku. Nurul Furqon memang tidak punya gerbang, pagar sesenti pun tak ada. bangunan ini hanya memiliki kelebihan teras yang cukup luas dibanding rumah-rumah di kanan kirinya. Maka tak heran juga jika tetangga sering memakai teras pondok untuk hajatan. Dari balkon lantai dua dan tiga, jika menengok ke luar akan langsung tertuju pada pondok putra yang lokasinya berada di gang yang berbeda. Hanya saja, ada tirai yang dipakai untuk penutup. Malu juga kan kalau sampai santri putra ngawasin kegiatannya mbak-mbak saban hari. :D
Keunikan kedua, pondok ini mirip persis seperti asrama. Yang tinggal di sini hanya santri. Tak ada keluarga ndalem satu pun. Jika kebanyakan pondok lain satu mukim atau satu kompleks dengan keluarga ndalem, di sini kita benar-benar hidup hanya dengan sesama santri. Tak ada ustadzah, yang ada hanya ketua. Letak ndalem berada di gang yang berbeda dengan pondok, itu artinya apapun yang kita lakukan tak akan terdeteksi. Kita belajar hidup dengan masyarakat, anggap saja jauh dari ibu bapak. Jika kita melakukan kesalahan, tak jarang tetangga menegur. Namanya juga bermasyarakat, ada yang suka, ada yang tidak suka. Jika bel malam-malam berbunyi panjang atau telfon pondok tiba-tiba bordering, kemungkinannya hanya satu. Mbak-mbak guyon sampai terdengar di rumah para tetangga.
Lainnya, selayaknya pondok mahasiswa, kita bebas mengoperasikan elektronik 1x24 jam sepuasnya. Hp, laptop, taka da batasan untuk itu. Tv pun ada. Fasilitas di sini cukup menggiurkan memang. Setlika yang tersedia di setiap kamar, kulkas yang bebas diisi apa aja, koperasi dengan freezer yang selalu on, kamar mandi yang bahkan lebih bagus dari kamar mandi di rumahku sendiri, dapur yang bebas digunakan untuk memasak apa saja, computer, printer, kipas angina, masak dengan magic com, lengkap. Abah selalu menfasilitasi santrinya dengan baik, “Apapun yang kalian minta saya turuti. Saya hanya minta satu. Seng sregep ngaji!” begitu kata abah.
Setahun setengah di sini, aku belajar banyak hal. Dua hal terpenting yang harus dimiliki setiap orang di sini adalah Tanggung Jawab dan Sadar diri. Kita memiliki kebebasan yang plus plus disbanding pondok lain. Dekat dengan pusat perbelanjaan, fasilitas terpenuhi, bebas kemana saja hingga jam 9 malam (kecuali sabtu minggu), membawa pakaian sebanyak yang kalian mau (asal almarinya muat), dan tidak gampang mengeluarkan takziran. Semua kebebasan itu hanya dimintai balasan satu “Sregep ngaji”. Tujuan ke sini semuanya sama, litahfidzil quran. Siapapun dirimu, apapun kedudukanmu, taka da tawar menawar dalam urusan setoran. Sekalipun taka da catatan yang melaporkan sampai dimana hafalan kita, tapi abah selalu tau kita sampai mana. Abah sellau hafal apa yang kita setorkan tadi pagi, tadi sore, kemarin. Namun, abah nggak pernah memprotes jika kita mengulang bagian yang sama berkali-kali. Bagi abah, yang penting istiqomah dan rajin setoran. Jika rasa tanggung jawab dan kesadaran diri tidak dimiliki, sia-sia saja kau berada di sini.
Di pondok ini, jika kau mengikuti alur yang sudah dibuat abah, tak perlu waktu lama untuk bisa khatam. Tapi, kebanyakan manusia sering lalai. Mereka terlena oleh kenikmatan dunia. Termasuk juga aku. Kadang, tanpa sadar kita menyalahgunakan kebebasan dengan berbagai alas an. Kita terlalu menuntut hak tanpa pernah bertanya sejauh mana kita menjalani kewajiban. Terkadang, tugas kuliah menjadi alas an untuk absen setoran. Padahal ketika kita mendahulukan urusan kita dengan Allah, urusan dunia akan dibereskan oleh Allah. Ahhh, betapa iman ini masih sangat minim, ya Rabb.
Perjalananku baru setahun setengah. Masih  akan berlanjut ditahun-tahun berikutnya. Ini masih secuil kisah dari Nurul Furqon secara struktural. Lebih dari yang aku ceritakan ini, di Nurul Furqon kita disajikan banyak 'drama' kehidupan yang mungkin juga tak ada di pondok lain. Sungguh, aku bersyukur Tuhan mengirimku ke pondok yang menurut sebagian orang ‘tidak terkenal’ ini. Sekalipun aku masih harus menempuh perjalanan 15 menit untuk mencapai kampus dan berteman dengan angkot.

Comments

  1. Bagus mbak qolbi. Tulisan njenengan sanggup membuatku nostalgia dulu waktu masih mondok di sini๐Ÿ˜‚๐Ÿ˜‚๐Ÿ˜‚

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Resensi Novel “Hujan” Karangan Tere Liye

Perjuangan Tanpa Batas Sang Jenderal (Review Film Jenderal Soedirman)

Kirab Haul Mbah Sogol: Momentum Memutar Ulang Sejarah