Surga: Lurus Belok Kanan

Gambar: Google
“Kita hidup di neraka terus capai tahu. Apa Kamu nggak ingin ke surga?”
“Memangnya Kamu tau jalan ke surga, Nik?” yang ditanya menggeleng.
“No, Kamu harus cari tahu jalan ke surga. Secepatnya. Di neraka ini nggak enak tahu. Panas, gersang, tak ada makanan enak. Nggak ada tempat hiburan. Konon katanya, No di surga itu makanannya enak-enak. Banyak bidadari cantik, dan Kamu bisa melihat seluruh dunia dari sana.”
Nodi diam. Mereka sama-sama termenun dan berfikir bagamana caranya ke surga. “Tapi, bukannya surga itu hanya fiktif, Nik?”

Tetuah di tempat mereka tinggal mengatakan bahwa suga itu hanya imajinasi manusia yang ingin sellau hidup dalam kesenangan dan kenikmatan. Manusia bisa lupa segalanya ketika berada di surga. Mereka tidak akan ingat pada Sang Kuasa ketika mereka berada di sekarang, karena yang mereka ingat hanyalah kenikmatan dan kesenangan.
“Tapi, aku ingin membuktikan bahwa perkataan Tetua itu salah, No.” Nanik tetap ngotot sambil berdiri memutari tempat duduk mereka. “Okelah, kalau Kamu tidak hendak cari tahu dimana surga, aku sendiri akan cari tahu.”
Beberapa hari berlalu Nanik selalu bertanya pada tetua dan warga di kampungnya. Tak ada yang tahu surga. Bahkan, sebagian dari mereka mengatakan bahwa surga itu tidak lebih baik dari kampung mereka.
“Surga itu, ya kamung kita ini. Setiap kita melakukan upacara kematian untuk saudara ita, di sanalah surga. Saat kita melakukan upacara pemujaan pada tuhan kita, itulah surga. Saat kita melakukann perburuan untuk makan peringatan upacara keagamaan itulah surga. Kamu jangan mau diboongi oleh setan yang mencoba menipu daya pikiran Kamu.” Tetua justru semakin memperkeruh pikiran Nanik.
Hari berlalu, nanik semakin tidak menemukan jawaban. Setiap hari ia memutari desa tercintanya yang disebut sebagai neraka. Dari ujung ke ujung, dia hanya menemukan hutan yang gersang. Tanpa hijau daun sedikitpun. Semakin jauh, ia semakin melihat pohon tanpa daun yang sudah berangus.
“Apa itu merah-merah? Mngapa binatang-binatang ini lari?” Nanik melihat sebuah bara api yang menyulut-nyulut seolah mengejar binatang yang tunggang langgang berlarian ke arahnya. Nanik pun penasaran. Maka didekatinya api itu. Dan betapa terkejutnya ketka ia tahu sejatinya api yang disebut-sebut orang sebagai api neraka tu.  “Awwww tolong!!!!” jerit Nanik ketika api semakin dekat. Nanik menjerit kepanasan dan berlari secepatnya.
“Tuhan marah!!! Ayo kita pergi!!!” nanik kembali ke kampungnya dan menyuruh semua orang untuk pergi meninggakan rumah mereka.
“Apa makud Kamu, Nik?”
“Itu Tetua, di sana ada api membara. Sebentar lagi api itu akan membakar rumah kita. api neraka kita berkobar lagi. Tuhan marah karena Kalian tidak mempercayai adanya surga.”
Semua warga semakin bingung dan berkata bahwa Nanik ngaco. “Sudahlah, Nik. Simpan saja omong kosongmu itu. Kami tidak akan meninggalkan kampung ini bagaimanapun kondisinya.“ komentar salah seorang.
“Surga, surga, dan selalu surga yang Kamu bicarakan. Kita ini sudah hidup ratusan tahun di sini. Bagi kami inilah surga kami. Kalau kamu pernah mendengar bahwa  surga itu sejuk, maka kesejukan itu berasal dari persaudaraan kami.”
“Aduh, ini bukan tentang omong kosongku. Aku melihatnya sendri. Aku meihatnya sendiri. sungguh. Mengapa Kalian tidak percaya? Aku berkata jujur. Sungguh!”
Warga pun bubar tanpa menghiraukan peringatan Nanik. Hanya Nodi yang tinggal di sana.
“Nod, Kamu percaya pada perkataanku kan?” tanya Nanik panik.
Nodi diam. “Nod,,,” panggil nanik merengek. “Kamu harus pergi bersamaku, Nod. Kita harus menyelamatan diri. Tuhan marah, Nod.”
Setelah lama menunggu Nodi yang tidak meresponnya, Nanik langsung beranjak pergi meninggalkan kampung. “Nik tunggu! Aku ikut bersamamu!”
Baru sepuluh meter mereka berjalan, Nanik dan Nodi mendengar suara riuh dari kampung mereka. “Tolong!!! Tolong!!! Kebakaran!! Toln!!” Nanik dan Nodi panik.
Nank hampir saja berlari ke kampungnya, “Tidak, Nik. Jangan! Nanti Kamu yang mati.” Nodi pun membawa nanik berlari semakin jauh melewat hutan neraka mereka. Berlari tanpa tau hendak pergi kemana.
Mereka terus berlari. Kepanikan mereka bahwa api itu akan mengejar mereka menjadi bahan bakar mreka untuk terus berlari. Hingga tanpa terasa, hari pun telah berganti dan mereka belum beristirahat. Maka duduklah mereka di sebuah pohon yang tinggi.
Setelah merebahkan diri di dahn pohon yang tertinggi, nanik baru tersadar akan satu hal. “Nod.. Nod… Kita di surga! Kita di surga!” jerit nanik histeris. “Kita di sura, Nod!”
Nodi pun mengikuti kemana mata Nanik melhat takjb. Nodi pun membuka mulutnya terpesona. “Iya, Nik. Mungkin ini yang namanya surga.” Mereka melihat banyak orang berpakaian warna warni, membawa tas besar, memakai alas kaki, mengendarai kendaraan, hanya saja mereka tak mengenal istilah-istilah itu. Mereka hanya mengerti bahwa mereka tidak lagi berada di neraka mereka. Gedung-gedung yang menjulang tinggi semakin membuat mereka terpesona.
“Ayo kita segera ke sana, Nod. Surga sudah dekat.” Mereka pun berlari. Hampir saja tertabrak mobil yang berlalu lalang. Bahkan ulah mereka yang kebingungan d tengah jalan membuat lalu intas macet. Setelah menepi di sebuah toko, mereka menjumpai seseorang bernyanyi sambil memegangi botol bir “Lihat, Nod. Dia sedang bahagia. Pasti telah berlangsung pesta di surga ini. Ayo kita tanya dia dimana pusat surga.”
Nodi pun mendekati lelaki itu dan bertanya, “dimana srga?” lelaki yang ditnayai melotot sebentar, kemduian tertawa.
“Hhahaha, Kamu tanya surga? Tanya surga? S-U-R-G-A? hahahah,” lelaki itu tertawa lepas dan meneguk air minumnya. Nodi dan nanik tersenyum melihat tingkah orang itu. Merea pikir, mereka sedang melihat orang yang paling bahagia di surga ini.
“Ini ya, aku kasih tahu dimana surga. Kalian harus ke sana.” Lelaki itu kembali meneguk minumannya dan kemudian berkata. “Dari jalan ini, Kalian lurus, lalu belok kanan. Tepat di pojokan, itulah surga. Hahahha” lelaki itupun langsung berlalu sambil bernyanyi sempoyongan.
Mereka berda lalu mengikuti petunjuk pria tadi. “Mungkin memang benar, Nod kalau surga itu ditemput melalui jalan kanan.”
Nnik dan nodi menemukan tempat yang dimaksud lelaki itu. Dan mereka masuk dalam gedung berwarga putih nan megah dan berjajar puluhan mobil di sana. Bergitu mereka di dalam, terkejutlah mereka ada begitu bnyak wanita berpakaian mini dan lelaki berdasi dengan membawa minum-minuman, mereka mendengar kebisingan musik dan beberapa orang berjoget ria. Beberpa diantara mereka menyantap makanan. Namun, suasana remang-remang dan bau alkohol.
“Hai, Kalian berdua1” seorang satpam menghampiri Nanik dan Nodi dengan muka garang. “Apa yang Kalian lakukan di sini? Ini bukan untuk anak kecil.” Kata satpam itu bernada tinggi.
Nanik dan Nodi ketakutan “Kam… Kami… Kami ingin ke surga ini.” Jawab Nanik ragu.
“Surga. Surga. Surga mbahmu! Ini tempatnya orang dewasa. Lagi pula, pakaian itu kumuh, compang-camping, bau, Kalian itu gelandangan ya,” bentak satpam itu, “Pergi sekarang!”
Nanik dan Nodi diseret keluar oleh satpam itu. “Sudah, jangan kembali lagi ke sini!” Ujar satpam itu sambil mendorong Nanik dan Nodi. Mereka berdua masih memandangi gedung itu , “Sudah pergi sana! Masih lihat apa Kalian? Pergi!” satpam itu lalu menyeret Nanik dan Nodi ke seberang jalan. Dan klakson mobil bersahut-sahutan seolah ikut menghakimi mereka.

“Nik, kenapa surga seperti ini? Mungkin ini bukan surga kita. mungkin benar kata tetua, surga kita di kampung kita.” Nanik pun menangis, “Ayo kita kembali ke neraka saja…” tetapi, mereka lupa neraka harus belok kiri ataukah kanan. Karena keduanya sama-sama samar dan tidak mereka pahami kebenarannya. 

Comments

Popular posts from this blog

Resensi Novel “Hujan” Karangan Tere Liye

Perjuangan Tanpa Batas Sang Jenderal (Review Film Jenderal Soedirman)

Kirab Haul Mbah Sogol: Momentum Memutar Ulang Sejarah