Cintaku dan Anjing Kurap yang Ku Bunuh


Still Love You (ilustrasi)

Akan lebih baik jika ku ceritakan ini pada anjing kurap di ujung sana itu, Bang. Dia tak akan peduli memang, dan aku tak akan mendengar tanggapannya. Tapi, setidaknya aku bisa meluapkan segalanya dan membunuhnya ketika aku telah benar-benar jenuh. Itu akan lebih baik bagi perasaanku.
Apa yang ku tunggu selama ini? Entahlah. Kita akan berbicara sebatas konteks antara aku, dan kamu yang sesama manusia. Yang tercipta dari sesuatu yang sama menjijikkannya. Ini bukan tentang kepemilikan atau dari mana kita tercipta. Tapi, ini tentang cerita yang ternyata belum ku tuntaskan sejak setahun lalu. Ah iya, mungkin sudah hampir dua tahun.
Biarlah kau tak mendengarnya. Aku bicara pada anjing kurap itu saja.
“Njing, apa Dirimu pernah jatuh cinta?” bodoh! Kau pasti pernah. Ketika kau melet dengan penuh nafsu dan matamu nanar juga nafasmu yang mengendus ingin menerkam betinamu, itu cinta, Njing namanya.
Kau, bisa saja mengawininya tanpa lamaran, ijab qobul, atau ritual lainnya. Kau bisa memerkosa betina lainnya kapanpun kau mau tanpa ada hukum yang menjeratmu. Tapi, manusia tak semudah itu, Njing.
Aku jatuh cinta pada sosok lelaki berkaos putih dengan rompi coklat dan sepatu putih yang membungkus rapat kakinya. Separas dengan ransel hitam dan kamera poket yang dibawanya saat itu. Bulshit! Aku mengutuk mataku yang memelototinya pada dua hari terakhir masa ospekku itu. “Anjing, apa kau tau bagaimana perasaanku saat itu?” aku menatap anjing yang mulai diam mendengar ceritaku itu.
Ruh jahatku langsung berbisik agar aku mencintainya saja. Karena saat itu, aku baru saja ditinggal oleh lelaki yang ku cintai.
Persetan dengan semua kisah masa lalu itu. Aku terlanjur jatuh hati padanya, Njing. Entah tulus entah tidak. Selebihnya, aku mencintainya, aku merindukannya, dan aku jatuh lagi. Bukan jatuh cinta yang seindah di FTV, namun, jatuh ke jurang yang tak mungkin ku menggapai daratan untuk menyelamatkan diri. Ah, aku benci kalimat melankolis itu.
Kau tau, Njing? Takdirku lebih sial lagi karena mempertemukanku di satu wadah yang benar-benar aku cintai. Wadah itu juga berisi dirinya. Untuk meninggalkan wadah itu sama dengan bunuh diri. Jadi, mau tak mau aku harus menjadi larutan bersama dirinya. Aku benci sekali, Njing dengan takdirku itu. Seperti yang kau tahu, Njing. Larutan air garam selamanya tak akan bisa dipisah kembali menjadi air murni dan garam murni. Selamanya mereka akan saling berkaitan.
“Kau mulai lelah rupanya, Njing. Duduklah sini!” aku menggeser tempat dudukku dan membiarkan anjing itu duduk manis di sampingku. Dia akan menikmati cerita ini hingga akhir hayatnya, pikirku.
Singkat cerita, aku berpikir bahwa aku tak akan lama menyayanginya. Aku menganggap ini fana, semu, dan sebangasanya. Tapi, Kau tahu, Njing? Dua tahun! Dalam kurun waktu itu, kau mungkin sudah membuntingi betinamu ribuan kali, tapi, aku masih memendam rasa ini tanpa kepastian. Membiarkannya berlarian ke positif-negatif seiring dengan informasi tentang dirinya yang ku cari setiap hari. Dia memang tak akan peduli padaku, Njing. Itulah kebodohan cinta, Njing!
Aku pernah kekeuh menyuruk kupu untuk membawa cinta ini pergi, tapi, ia kembali, kembali, kembali dan kembali lagi. Aku tak bisa membencinya, Njing. Karena aku terlahir dengan nama yang mulia. Kalau aku marah dan aku merasakan sesak di dada karena merindukannya hingga tersedak, ingin rasanya aku membunuh sesuatu. “Seperti yang telah ku lakukan baru saja. Maaf, aku telah membunuhmu, Njing!” kau membuatku iri karena kau tak punya hati. Kau tak bisa merasakan pedih. Aku iri! “Aku akan pergi ke tempat lain saja, Njing!”
Sial! Aku berjumpa deganmu.
“Hahahahaha. Kau pikir kau siapa? Kau seharusnya tak pantas ku cintai, Bulshit! Tidak sama sekali!” aku memelototi lelaki di depanku itu dengan garang. Tidak sama sekali! Kau tak pantas ku cintai. Kau semburkan sajak-sajakmu di media sosial pada wanita yang kau coba untuk menggodanya. Tapi, kau tuli untuk tidak mendengar kata hatiku. Kau tak mendengar sajak tulus dari hatiku, Tuli!
Kau beberkan senyummu pada wanita yang menyakitimu. Yang mencintaimu hanya untuk menyandang gelar sebagai kekasihmu. Kotoran macam apa itu? Kau tak pernah melihat sejatinya senyumku yang hambar sejak kepergianmu dan sejak aku memendam rasa ini tanpa pernah gamblang menceritakan padamu sedikitpun. Bulshit Kau, Buta!
Dan kau tiba-tiba datang di tengah kebingunganku. Kau pikir itu pantas? Kau datang meninggalkan bekas senyum yang tak bisa ku lupakan. Meninggalkan desah suara yang terus menggaung di telingaku. Kau guna-guna apa aku, ini? Lalu kenapa Kau pergi lagi dan tak hirau pada daku?
Seenaknya udel Kau bersikap demikian. Kau pikir Kau dewa yang bisa mengorat-arit hidupku? Oh iya, hidupku memang telah morat-marit sejak cinta ini tertanam di hatiku. Ah, cinta itu lagi!
Aku meracau di depan lelaki itu. Lelaki bergamis putih dan sorban hijau yang tersemat di pundaknya. Aku memang sudah gila, hidupku sudah tak semurni dulu lagi. Memendam lara yang tak sebentar membuatku seperti ingin mencabut semua orang di dunia ini. Agar mereka ikut merasakan pedihnya terluka. Bodoh!
Sekarang, kau belagak tuli, bisu, dan buta. Padahal aku tahu kau sejatinya tahu. “Baiklah, sekarang kau pilih, ku potong telingamu atau ku potong telingaku? Ku copot korneamu atau ku copot korneaku?” kau diam. Kau sedang berunding dengan khodammu yang sama bodohnya itu.
Aku ambil parang dan ku potong telingaku lantas milikmu. Ku copot korneamu lalu milikku. Dan aku mencabik hatimu seperti yang dilakukan pada Hamzah pada saat perang uhud itu. Kau mati! Tapi, aku tidak. Aku takut mati karena aku tak akan bisa menyanding nisanmu lagi. Aku sudah buta dan tuli. Kau telah mati. Spekulasi macam apa ini, Tuhan? Cerita cinta macam apa ini?
Aku tak peduli pada kata orang dan pada pendapat orang. Aku mencintainya. Titik. Karena aku tak bisa membencinya. Jangan ada yang bertanya padaku apa itu cinta. Karena aku hidup tanpa mata dan telinga dan cintanya yang ada dalam diriku. Tapi, sejati dirinya telah mati! Tak pernah ada di sisi. Itulah cintaku. Cinta yang tak seberuntung cinta Anjing kurap yang juga ku bunuh!
  

Comments

Popular posts from this blog

Resensi Novel “Hujan” Karangan Tere Liye

Perjuangan Tanpa Batas Sang Jenderal (Review Film Jenderal Soedirman)

Kirab Haul Mbah Sogol: Momentum Memutar Ulang Sejarah