Bola Mata di Ruang Redaksi



Ilustrasi from google
Ada rasa senang yang luar biasa saat aku mulai mengenalmu. Rasa itu muncul sejak pertama kali aku menatapmu. Tapi jujur, aku belum tahu kalau kamu pimred saat itu. hanya saja, penampilanmu yang keren dengan rompi coklat, sepatu putih, tas ransel di pundak, dan mengalungi canon membuat aku merinding.
Sejak pertemuan singkat itu, aku tak lagi melihatmu. Hingga suatu ketika, kasus mading membawaku kembali menatap kamu. Bahkan lebih lama.
“Mading apaan ini? Jelek banget sih?” aku bergumam miring di depan papan berkaca yang ada di lorong sekolah itu. Tanpa aku sadari, seseorang menguping celotehanku.
“Kalau jelek, perbaiki dong! Jangan hanya bisa ngomong!” sindirmu. Aku gelagapan bingung. Saat itu, aku tahu persis kalau kamu pimred di sekolah yang megah ini. Aku hanya tersenyum. Senyum yang malu-maluin. Dan semenjak itu, aku dan kamu adalah partner yang baik untuk menghidupkan mading itu. Bahkan, kamu tak segan-segan memilihku sebagai ketua mading.
Masih ku ingat aksi pertama kita. Di sore yang gerimis, aku, kamu dan teman-teman seperjuangan berjubelan di dalam ruang redaksi. Tujuannya, buat perenovasian mading tentunya. Entah mengapa, liukan tanganku melembut, tutur kataku melemah. Untuk pertama kali, rasa itu muncul. Di ruang redaksi, untuk pertama kalinya aku benar-benar ada bersamamu.
Tak disangka, ruang redaksi kembali menyeret kita berdua untuk masuk ke sana. Pagi itu, hanya ada aku dan kamu di sana. Hanya kita! Peristiwa itu masih melekat di memoriku. Lelaki sopan itu memintaku untuk membersihkan ruang redaksi. Jaket coklat yang membungkus badanmu bergumpalan debu. Hidungmu mengeluarkan cairan yang menggelikan. Hingga matamu memerah, dan wajahmu memucat.
“Kamu kenapa? Sakit?” tanyaku khawatir.
Kamu menggeleng. Aku kembali memastikanmu “Are you okay?” aku menatap matamu lekat-lekat. Mata yang bulat, lebar, dan tajam. Kamu pasti kelelahan. Batinku bersimpati.
“Nggak papa kok. Tenang aja!” jawabmu lembut. Suaramu berat. Aku yakin kamu sakit. Tapi, sebagai lelaki tangguh, pantang bagimu mengumbar rasa sakitmu. Belakangan, baru aku ketahui kalau kamu alergi debu.
Sore yang diguyur hujan, seorang lelaki memojokkan kita. Yah, dia pembina kita. Kesalahan berita yang aku tulis dan aku tempelkan di mading membuatku tak bergerak. Payahnya, aku dan kamu disidang bersama. Aku hanya menopangkan tangan di atas meja. Menundukkan kepala dengan rasa bersalah. Ruang redaksi itu serasa menyempit. Saat ku angkat kepalaku, tanpa rencana, mata kita kembali beradu. Dengan seulas senyum yang kau pasang di sana. Aku kebingungan mengartikan senyum itu. senyum kasihankah, atau senyum kebahagiaankah.
Di sore yang berbeda, dengan hujan yang berbeda. Di ruang redaksi yang masih sama. Aku kembali mendapati binaran matamu. Tapi, kali ini penuh dengan cinta.
“Aku ingin menembak dia. Bagaimana menurutmu?” tamumu sambil menunjukkan foto seorang gadis cantik padaku. Aku melemas. Tak ada jawaban. Aku mencari pegangan jika sewaktu-waktu tubuhku tumbang. Kemudian aku tersenyum sambil menganggukkan kepala. Hatiku yang tadi mendesir damai, kini berkecamuk tak karuan. Dan kamu benar-benar menembak dambaan hatimu itu.
Selepas sore itu, aku tak berani lagi mendatangi ruang redaksi. Karena bagiku, ruangan itu terlalu panas dan memilukan untuk ku diami. Karena tanpa ku sadari, hatiku telah tertambat di sana. Di hatimu. Dan berakhir kandas di ruang redaksi.
Hingga suatu sore di ujung tahun akademi, kamu memaksaku kembali ke sana. Kau benar-benar mentap mataku lekat. Sangat dalam dan penuh makna. Aku tak berani mengangkat kepalaku. Bagiku, memandangmu adalah sebuah kesalahan.
“Aku akan kuliah di Australia. Tiga hari lagi aku berangkat.” Kini, tubuhku melumpuh. Pamitmu padaku sore itu benar-benar menggoreskan luka yang berdarah-darah.
Aku hanya bisa berkata “Doaku menyertaimu.” Aku tak mungkin membuntutimu hingga ke sana. Kewajiban sekolahku masih tinggal setahun lagi. Dan aku benar-benar tak berminat untuk berkelana jauh. Meski di hati aku belum siap melepasmu, tapi aku kembali menimbang. Siapa aku? Aku tak berhak mencegah niat baikmu. Lama sekali perbincangan kita di ruang redaksi sore itu. dan kau buka semua tentangmu padaku.
“Aku sudah putus satu minggu yang lalu.”
“Hah? Putus? Kenapa?” tanggapku memastikan kalau aku tak salah dengar.
Kamu menggeleng. “Karena dia nggak jago nulis kayak Kamu!” jawabmu sambil tersenyum lebar. Aku tahu itu hanya candaanmu. Kalau kamu mencari yang sepertiku, kau pacaran saja denganku. Ternyata, kau bisa bercanda juga. Aku pikir, kau hanya bisa serius dua rius.
“Aku pulang dulu ya!” katamu sambil beranjak. Aku mengikutimu.
“Kalau sudah di Australia, jangan lupa kabari aku ya!” oh tuhan, mengapa serasa berat sekali melepasmu?
Kamu mengangguk. “Nggak usah kangen aku ya!” celetukmu sambil mengelus kepalaku. “Aku pasti akan merindukanmu! Jangan berhenti untuk belajar nulis. Dan jangan takut bermimpi.” Ohhh.... aku terbang melayang sore itu!
Bagaimana aku tidak merindukanmu? Ku beranikan diri menatap bola matamu lebih lama. Di sanalah ku simpan kristalku yang paling berharga. Ku resapi setiap nyalanya. Tak berkedip sedikitpun, kau juga menatapku. Yang tanpa ku duga, itu adalah bola mata terakhirmu yang bisa kulihat. Sebulan sebelum kamu pergi untuk selamanya. 
Sidorejo, 3 Januari 2014
 *Alay banget nih cerpen.. Tapi gpp lah.. mohon dimaklumi ya, dulu waktu aku bikin ini masih labil.. sekarang? Sekarang tambah labil! :D

Comments

Popular posts from this blog

Resensi Novel “Hujan” Karangan Tere Liye

Perjuangan Tanpa Batas Sang Jenderal (Review Film Jenderal Soedirman)

Kirab Haul Mbah Sogol: Momentum Memutar Ulang Sejarah