Aku Naina, bukan Robiah



“Jangan-jangan kalau kamu dapat istri hafidzah dia ngaji terus, nggak gelem tandang gawe.” Perkataan itu menampar wajah Naina.
“Ibumu bilang begitu?” lelaki di depannya mengangguk.

Apa ini yang dikhawatirkan oleh sebagian besar orang di luar sana? gadis itu terdiam. Berpikir apa yang salah dengan dirinya.
***
Selama ini hidupnya baik-baik saja. Berada di pondok bersama teman-teman yang sama memperjuangkan 114 surat bersama dirinya membuat kehidupan tanpak selalu aman dan nyaman. Namun, semua berubah ketika dia mulai membuka diri. Mencoba berinteraksi dengan banyak orang, masuk ke sebuah organisasi di kampus, dan memberanikan diri menjalin hubungan dengan lawan jenis.
Agaknya, sore itu setelah mendegar jawaban lelaki yang sedang dekat dengannya membuat nyali Naina mengkerut. Dia jadi paham mengapa sebagian besar temannya menikah dengan santri putra yang sama-sama memperjuangkan 114 surat. Naina jadi tahu bahwa kesamaan visi antara dua pihak beserta keluarga besarnya yang menjadi penyebab mulusnya hubungan mereka.
Naina berbeda. Naina memiliki pandangan yang berbeda. Naina ingin sama dengan yang lainnya tanpa embel-embel ‘al-hafidzah’ di belakang namanya. Naina justru ingin menikah dengan orang yang tidak memiliki gelar ‘hafidz’. “Aku ingin agar keluargaku tidak jumud, kaya pandangan hidup, dan dia bisa mengajariku hal-hal yang belum bisa kuketahui.” Begitulah jelasnya setiap kali ada orang yang bertanya padanya.
Benar saja, Naina lahir dan tumbuh dalam lingkungan ‘pesantren’. Kedekatannya dengan pemilik pesantren tahfidz yang ada di sebelah rumahnya membuat Naina paham betul kultur hidup keluarga ‘ndalem’. Sejak bayik dia (semoga) ketrebesan barokah kyai dan bu nyai yang menggendonginya. Lagi pula, Naina lahir dari seorang ibu ‘hafidzah’ yang menyemai hidup bersama lelaki biasa yang dulu hanya jadi santri kalong di sebuah pondok kecil. Keluarga besarnya bukan tokoh masyarakat, tidak juga dieluh-eluhkan. Semua serba biasa di matanya.
***
“Tapi kamu nggak gitu kan, Naina?” lelaki itu membuyarkan lamunanya.
“Ha? Ya enggaklah. Ibumu berlebihan. Ibuku bisa tetap bekerja sekalipun dia hafidzah.” Naina memanyunkan bibirnya.
“Tapi aku bukan hafidz, lho. Aku suka jalan-jalan. Sedangkan kau harus banyak nderes.”
What … what… what… apa masalahnya????
Dari sini Naina mulai mengingat-ingat seberapa banyak sentimen yang dilontarkan orang-orang di sekitarnya.
Aku sungkan mau ngajak kamu makan di café, kamu kan hafidzah.
Aku nggak enak ngajak kamu ketemu temen lelakiku. Kamu kan hafidzah.
Kamu kan hafidzah. Pasti dengerinnya shalawatan terus.
Kamu kan hafidzah, kok naik ojol sih?
Kamu kan hafidzah, kok berteman sama cowok sih.
Semua perkataan itu pasti hanya akan dijawab dengan ‘keplongohan’ Naina. Sekali lagi Naina tidak habis pikir.
AKU NAINA, BUKAN ROBIAH ADAWIYAH.
Naina sadar betul eksistensi ‘hafidzah’ zaman now semakin diburu. Maksudnya, banyak orang memuji mendamba mengincar mengharapkan anak atau dirinya menjadi itu. Namun, mereka nggak tahu ‘yang menjalani lho biasa aja’. Dia dan teman-temannya menjalankan kehidupan yang ‘NORMAL’. Jalan, makan, kencan, *eh. Naina belajar benar dari sosok ibunya. Ibu yang bekerja, mengajar, bertetangga. Saatnya ngaji ya ngaji, saatnya tidur ya tidur, saatnya merwat anak dan suami ya dirawat, tapi kalau saatnya khataman ya ngewes gitu aja kalau baca tanpa buka Quran. Naina tahu betul bahwa sang ibu telah mempersiapkan dengan baik ketika dulu memilih langkah menjadi hafidzah agar tidak merugikan keluarganya di kemudian hari.
 Naina tidak ingin dianggap berbeda atau pun diistimewakan, meski hal itu istimewa. Meski tak semua orang diberi rezeki seperti itu. Bagi Naina, menjalani pertemanan dan pergi ke mana saja akan menambah tabungan pengalamannya. Dia tidak ingin anaknya nanti dididik dengan kebekuan berpikir. Naina, begitu pula dengan teman-temannya tahu kapan mereka harus mengaji, kapan mereka harus bekerja, kapan mereka harus ke mall *haha.
 ***
“Eh, tapi katanya kalau istrinya seorang hafidzah, suaminya harus bisa menjaga ya?”
Naina tertawa mendengar pertanyaan itu.
“Yang paling wajib menjaga itu ya dirinya sendirilah. Jangan sampai bertindak bodoh dengan beralasan menjaga hafalan lalu ingin hidupnya dimanja. No! Kita nggak boleh ‘njagakno’ sopo-sopo. Mangkane lek ngaji seng genah ben lancar tenanan sak durunge rabi.” Jelas Naina sambil tertawa.
“Kamu udah lancar kan, Nai? Bisa nikah cepet dong?”
“Halah opo maneh iki? Nggak segampang iku iso lancar, Kang. Nikah yo nggak iso ujug-ujug ngunu. Ojo ngatur Pengeran.”
“Lha terus rabimu kapan?”
“Mben lek wes wayahe.”
Wayaheee wayaheeee …
Mereka tertawa dan mengakhiri perbincangan sore itu. Senyum Naina tenggelam bersama matahari sore itu. Naina tahu, ia tidak boleh mengekang laku. Pranata ada untuk memayungi, melindungi, bukan memenjarakan diri.
Bersambung…

Comments

  1. Sejak kapan namamu jadi Naina ziz ?

    ReplyDelete
  2. Keren. Tulisannya ngena bgt.

    Kalau berkenan mohon krisannya dong kak untuk tulisanku di  Cerita Alister N. Makasih 🙏🙏

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Resensi Novel “Hujan” Karangan Tere Liye

Perjuangan Tanpa Batas Sang Jenderal (Review Film Jenderal Soedirman)

Kirab Haul Mbah Sogol: Momentum Memutar Ulang Sejarah