Kepada Temanku


Selamat pagi, Temanku…
Untukmu yang hari ini memulai langkah baru.
Apa kabar? Sudah lama rasanya aku tidak menyapamu dengan nada bicara yang ramah.
Mendengar dirimu sudah mulai menemukan kehidupanmu yang lebih baik, mataku berbinar-binar. Aku membayangkan dirimu berdiri dengan gagahnya sebagai seseorang yang memiliki kedudukan, berdiri dengan badan tegap penuh percaya diri.


Teman…  
Dalam setiap fase baru yang kau lalui, aku ingin menjadi orang yang pertama kali menyaksikan itu. Aku ingin menatap matamu yang berbinar, berharap bisa ikut menyiapkan keperluanmu sebelum memulai hari baru, memberimu sekotak susu dan sepotong roti pagi-pagi. Aku ingin mendengar cerita bahagiamu seketika kau pulang dari tempatmu bekerja.

Teman…
Tapi aku membuat kesalahan pagi ini. Aku tidak pernah jera melukaimu. Iya kan? Aku selalu membuatmu merasa bersalah dan membuat harimu buruk. Iya kan? Aku Selalu mengulang kesalahan dan kecerobohan yang sama. Berkali-kali aku ingin melakukan yang terbaik untuk dirimu, tapi berulang kali itu aku gagal. Bahkan berujung pada kemarahanmu. Seperti pagi ini. Ya, pagi ini. Betapa aku menyesali keteledoranku hingga semalam suntuk aku tidak bisa tidur nyenyak menunggu pagi tiba, tapi seketika pagi, aku pun tak bisa menyelesaikan janjiku tepat waktu. “Aku itu K**** P****** harus berangkat pagi. Sedangkan aku belum mandi.” katamu di telefon. Iya aku tahu itu, Teman. Kau harus berangkat pagi sedang baju yang hendak kau pakai masih ada di tanganku. Aku pun di sini tidak sekedar diam dan lari dari tanggung jawabku, aku mengusahakan untuk bisa selesai tepat waktu. Tapi apalah daya, langkah kakiku terbatas. Tapi, Aku bahagia akhirnya kau bisa menganggap dirimu berharga, walaupun kau mengakui itu dalam keadaan marah. Beribu maaf aku sampaikan padamu, Teman.

Teman…
Kadang aku berpikir, Untuk bisa menjadi teman baikmu, haruskah sepayah ini? Haruskah sebanyak ini aku gagal membuatmu bahagia? Aku mulai meraba diriku sendiri dan berpikiran bahwa memang mungkin sebaiknya aku tak perlu ada. Teman, tiap kali kau marah, jengkel padaku, sebenarnya setiap kali itu pula aku menangis dalam hati. Aku diam dan memilih untuk mengalah. Bukan karena dirimu benar, tapi karena aku merasa tak pernah berarti untukmu. Aku menangisi kebodohanku. Tiap itu pula aku menyalahkan takdir yang mempertemukan kita. Sebagai teman, ya sebagai teman.. haruskah sepayah ini untuk bisa berteman baik denganmu? Tidak sulit bagiku untuk memahami karaktermu, bagiku setiap kemarahan dan ucapan menyakitkan yang kau lontarkan adalah ketidaksengajaan. Aku memaklumi dan memaafkan. Namun, satu kalimatmu “Mungkin karena kau penulis kau jadi berlebihan menyikapi keadaan,” terlalu membuat hatiku sakit. Lalu tanganku pun lumpuh. Aku mulai merasa jera untuk menulis.

Teman…
Tak muda bagiku menerjemahkan rasa sayangku padamu selain melalui tulisan. Karena bersikap dan berbicara pun aku selalu salah. Jika aku tidak lagi bisa menulis, dengna apa kau akan tahu betapa aku menyayangimu? Mungkin memang lebih baik seperti itu. Lagipula, tidak ada satu kalimatpun yang dapat mewakili gambaran perasaanku padamu. Teman, satu hal yang harus kau tahu, di bulan ke-10 perkenalan kita ini, aku telah merasa gagal menjadi teman baikmu. Bolehkah aku menyalahkan diriku sendiri? Kau benar. Aku tidak pernah mikir.

Teman…
Aku menulis ini di pagi yang cerah, dengan membayangkan dirimu berdiri dengna penuh wibawa di sana, memegang kendali kegiatan yang telah kau rancanakan jauh-jauh hari, dengna senyummu yang mengembang, dengan sisa-sisa kemampuanku merangkai kalimat dan air mata yang tak berhenti mengalir.
Akan kau temui kehidupan yang lebih baik di depan sana. Aku selalu mengatakan itu padamu sejak pertama kali kita bertemu kan? Kau akan jadi ‘orang’ dan kehidupanmu akan menjadi lebih baik. Setidaknya, itulah yang menjadi doaku selama ini. Bersabarlah. Akan kau temui orang-orang yang akan menjegalmu dna membuat dirimu ‘down’. Mungkin akan kau temui banyak rintangan yang akan membuatmu terpuruk, tapi, aku yakin dirimu mampu menghadapinya. Selama ini kau kuat bertahan dalam kehidupan yang sadis, tinggal melanjutkan perjuangan. Impianmu akan bisa kau capai satu persatu. Kau hanya perlu bersabar dan sellau ingat ada Maha Cinta yang selalu memelukmu dalam kepayahanmu. Aku sering melihatmu dalam mimpi, aku sering mendengar suaramu dalam sepi, setiap aku mengingatmu semoga setiap itu pula doaku bisa turut memberimu ketenangan. Aku tak yakin tanganku bisa menjangkau dirimu lagi, aku tak yakin tulisanku bisa kau baca lagi, aku hanya yakin bahwa akan ada banyak orang yang bersedia menyediakan tangannya untuk memelukmu, menyediakan waktunya untuk menenangkanmu, mungkin aku salah satunya -sekalipun bagimu mungkin aku telah tiada-.

Teman…
Pagi ini adalah pagi yang sangat kusesali dan mungkin akan menjadi pagi paling buruk yang pernah aku lalui. Tapi tak masalah, biar ini jadi pagimu yang buruk. Cukup sekali ini. Pagimu kemudian hari akan menjadi pagi yang selalu istimewa. Percayalah. Aku minta maaf. Beribu maaf.

Teman… terimakasih…

Comments

Popular posts from this blog

Resensi Novel “Hujan” Karangan Tere Liye

Perjuangan Tanpa Batas Sang Jenderal (Review Film Jenderal Soedirman)

Kirab Haul Mbah Sogol: Momentum Memutar Ulang Sejarah